Share

5. Salah Sasaran

"Bowo! Gue pulang dulu, ya. Tiba-tiba ada urusan mendadak ... kalau nggak balik lagi handle aja sama lo. Ntar kasih laporan aja lewat WA," ucap Erick pada mandor proyeknya di daerah Menteng, Bogor.

Dia melepas helm orange itu, lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir.

Pria itu duduk di balik kemudi, sejenak ia menggeram. "Diana ... Diana ... siapa ntu cewek? Gue inget pernah pergi liburan ke puncak sama temen-temen. Tapi perasaan nggak ngapa-ngapain. Atau gue lupa? Ah, kampret. Berabe kalau bener tuh cewek bunting!" Erick memukul stir, wajahnya tampak frustrasi. Ia masih ingat suara lirih Lani dari ujung telepon. Bagaimana tanggapan gadis itu kalau benar ia menghamili perempuan lain?

Habis dia digorok kakeknya!

Mobil melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Melesat membelah kepadatan di Kota hujan ini. Beberapa kali Erick menarik napas. Namun, tak bisa mengurangi rasa geramnya.

Erick sampai di pelataran rumah. Pria itu berjalan menghampiri dua orang yang berdiri di depan pintu. Entah apa yang tengah mereka bicarakan. Yang pasti ia melihat ekspresi kesedihan yang tidak bisa disembunyikan dari wajah istrinya.

"Mas, tolong jelasin semua ini ... maksudnya apa?" Lani menatap Erick yang baru saja sampai dengan mata sayu.

"Nggak, Lan ... dia pasti bohong!"

"Gue nggak bohong, Erick. Kita bisa periksa sekarang. Gue bener-bener hamil!" perempuan itu menyela, tangisnya tak bisa terbendung lagi, karena masa depan yang sudah ia rangkai sedemikian rupa, hancur begitu saja di tangan seorang lelaki.

Erick mengalihkan pandangan, menatap perempuan bernama Diana itu tajam.

"Lo cewek halu tau, Neng ... nggak mungkin gue sampe ngebuntingin elo karena selama ini selalu main cantik. Nggak akan sampe kebobolan. Ini, nih ... gue yakin lo mau minta tanggung jawab terus meras harta gue 'kan? Hellow ... ini bukan sinetron, ini cerbungnya dwrite. Jadi please nggak usah ngedrama karena gue bukan cowok bego!"

"Masuk mas--" Lani menarik ujung kemeja yang Erick kenakan.

"Eh, Lan. Dia bohong jangan percaya."

"Masuk!"

Pada akhirnya Erick menurut juga.

"Kalau memang benar janin yang mbak kandung adalah anak Mas Erick. Saya akan pastikan dia tanggung jawab. Tapi, kalau misalnya bukan ... mbak tanggung sendiri akibatnya, memfitnah orang itu lebih kejam dari pada membunuh. Jadi pikirkan baik-baik ucapan saya."

Brak!

Pintu terbanting tepat di hadapan perempuan itu, setelahnya Lani menatap Erick dengan wajah yang berusaha ia kontrol setenang mungkin.

"Mas tahu, 'kan dosa berzinah itu sangat besar. Apalagi sampai hamil. Kalau sudah seperti ini apa yang bisa dilakuin? Mas harus tanggung jawab!"

"Gue tahu, Lan. Nggak usah  nyeramahin. Gini-gini waktu kecil gue juga pernah ikut pengajian. Tapi bukan fokus sama materinya, tapi sama kopiah miring pak Ustadz yang sering kali bikin galpok!"

"Mas ...."

"Iya, iya, Alani. Gue tanggung jawab kalau itu emang bener anak gue. Tapi kalau bukan ... gue pastiin tuh cewek tinggal nama!"

"Astagfirullah ...."

"Zaman sekarang banyak banget orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, Lani. Apa lagi dengan kondisi gue yang banyak orang cap buaya darat. Gue akuin itu. Tapi, memanfaatkan hal itu untuk menjebak gue rasanya agak nggak beradab. Please pake otak lo sebelum judge gue!"

Lani tertegun menatap Erick. Tampak rahang pria itu mengeras menahan kesal.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu mengiterupsi mereka. Erick dan Lani berpandangan. Tak lama pintu kembali dibuka.

"Sekarang lo mau ngomong apa lagi, hah? Kalau mau semuanya jelas kita tes DNA sekarang!"

"Mas, tes DNA cuma bisa dilakuin kalau bayinya udah lahir." Lani menyela.

"Oh, iya juga ya."

"Rick ...."

"Ape, lu?!" Mata Erick melotot, Lani menyentuh lengan Erick agar pria itu bisa sedikit tenang.

"Tolong dengerin gue dulu ... gue dateng ke sini buat nyari Panji, kenapa kalian salah paham terus berantem."

"Hah?!"

"Ini anak Panji, Rick. Udah dua bulan sejak pulang dari Puncak nombernya nggak bisa dihubungin. Gue bingung minta tolong sama siapa karena cuma elo temen deketnya yang gue kenal."

"Bangsat emang setan ntu si Panjul!"

"Mas, tenang!" Lani menggenggam kembali lengan Erick yang langsung pria itu tepis.

"Mana bisa gue tenang , Lan. Coba Lo bayangin ada cewek dateng ke rumah gue terus ngaku hamil. Dan ternyata yang ngebuntinginnya orang lain. Siapa yang nggak kesel coba?!"

"Maaf Rick, gue ngerepotin. Gue nggak tahu harus ngelakuin apa lagi, gue nggak berani pulang kampung, orang tua gue pasti kecewa banget."

Erick menghela napas panjang. Ia melirik Lani sekilas, gadis itu tampak menautkan kedua jemarinya.

"Oke, ikut gue sekarang. Kita temuin si Panjul setan. Lo juga ikut, Lan!"

* * *

Brak!

Erick membuka pintu ruang Icy dengan kasar, setibanya di rumah sakit. Sementara Lani dan Diana mengekor di belakangnya. Kedua perempuan itu yangampak memberi jarak karena Erick mulai diliputi amarah.

"Lo buntingin si Diana setan!" Erick berteriak di hadapan Panji yang terbaring di brangkar. Kepala pria itu tampak diperban. Namun, kondisinya sudah mulai membaik.

"Diana mana? Lo dateng marah-marah nggak jelas. Udah bikin gue babak-belur kayak gini juga." Panji berusaha bangkit dibantu seorang perawat yang berada satu ruangan dengannya sebelum mereka tiba.

"Diana yang lo bawa ke puncak, Panjul. Cewek semok ntu!" Erick sudah kehilangan kesabaran. Beberapa kali dia menoyor kepala Panji yang diperban.

"Aw ... sakit anjir!"

Panji melihat Lani dan Diana memasuki ruang rawatnya. Mata pria itu pun terbelalak seketika.

"Bodo amat! Tanggung jawab g*bl*k, jangan lari. Tunjukin kalo lo laki-laki sejati. Anak orang lo buat nangis-nangis."

"Mas tenang, ini rumah sakit!" Lani berusaha menenangkan Erick yang mulai kehilangan kendali.

"Diem, Lan, laki model begini kudu di kasih pelajaran. Gue tahu gue juga bukan laki-laki bener. Tapi setidaknya gue ngakuin apa yang udah dilakuin terus pastiin tanggung jawab. Lah, si Panjul, mau enak aja terus lari dari tanggung jawab. Pantesan aja waktu itu lo tiba-tiba ganti nomber ... dasar banci!"

"Rick--"

"Apa setan?!" Erick menatap nyalang. "Makanya gue udah bilang berkali-kali sama lo, Panjul ... main cantik. Kayak gue, dong. Amatiran emang lo, ya!"

Panji terlihat menghela napas panjang.

"Gue emang nggak bisa jadi Buaya Darat kelas kakap kayak elo, Rick. Makanya gue takut selalu takut," ucap Panji lirih seraya melindungi kepalanya dari toyoran Erick.

"Jadi laki ntu jangan cemen! Lo dilahirin ber-otong buat jadi pemimpin sama Tuhan. Nggak usah lembek cuma karena takut kawin dan nggak bisa biayain bini dan anak lo, Njul."

Panji tertunduk, ia seolah tak tak mampu menyusun kata untuk menimpali sahabat karibnya sejak zaman kuliah itu. Benar apa yang Erick katakan. Jadi lelaki harus bisa mengambil keputusan yang tegas. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Itu kuncinya!

"Oke, Rick. Gue bakal tanggung jawab sepenuhnya atas bayi yang dikandung Diana." Dia beralih pada wanita di samping Lani. "Dan buat lo, Di ... maafin gue karena sempet lari. Sekarang lo tahu ke mana cari gue. Lo bisa dateng kapan pun lo butuh!" Diana terisak, perempuan berambut cokelat itu mulai berjalan menghampiri Panji, lalu memeluknya.

Lirih, Diana bergumam. "Gue takut, Panji. Gimana masa depan gue nanti. Gue masih pengen kuliah!"

"Ssstt ... ada gue di sini. Lo nggak perlu takut. Gue janji bakal nikahin lo setelah bayi itu lahir. Kasih gue waktu buat ngumpulin duit. Kalau boleh jujur sebenarnya gue sayang banget sama, lo, Di!" Diana terisak semakin kencang. Perempuan itu tampak membenamkan wajahnya di dada Panji.

"Ck, elah, gue paling geli kalau liat yang beginian. Ayo pulang, Lan--" Sebelum sempat meraih tangan Lani, sudut mata Erick melirik perawat yang berdiri di samping istrinya. "Eh, tunggu-- loh, Kok Suster masih ada di sini?" Dia baru sadar kalau perawat berwajah oriental itu ada di sini, sepanjang percakapan mereka. Ia tampak menatap sekelilingnya dengan kerutan di kening.

Seketika perawat itu mulai gelagapan. Ia merasa bersalah, karena menguping pembicaraan pasien dan kerabatnya tanpa persetujuan.

"Eh, oh, ng ... maafkan saya, Pak. Saya sedang menunggu karena tuan Panji harus mandi!" ucapnya canggung.

"Oh, nggak apa-apa, kok. Di sini aja, kebetulan kita juga udah mau pulang. Um ... anu, sebelum ntu ...." Erick menghampiri perawat tersebut, melewati Lani yang berdiri di sisinya begitu saja. Ia tampak menyisir rambut ke belakang, lalu mulai tebar pesona, "Boleh minta nomber WA-nya?" Matanya pun mengerling nakal.

"Woy ... masih aja usaha, ada bini lo di sini, Kampret!" Panji mencibir.

Sekali lagi Lani hanya bisa mengelus dada, entah berapa kali ia mengucapkan istigfar dalam hati. Namun, tiba-tiba sebuah ide tercetus di benaknya.

"Mas, Kakek telepon!"

Seketika air muka Erick berubah. Dia mondar-mandir di tempat tak tentu arah.

"Jangan diangkat, Lan!"

"Hah?"

"Iya, nggak usah dianggap. Entar dia ngomel-ngomel lagi."

Tanpa sadar sudut bibir Lani terangkat naik, perempuan itu tersenyum geli.

"Katanya dia udah nunggu di rumah."

"What? Kagak mungkin."

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status