Home / Rumah Tangga / Playboy in Love / 7. Perasaan Sebenarnya

Share

7. Perasaan Sebenarnya

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2022-12-08 09:43:40

Cinta adalah suatu hal yang mutlak. Kita tak bisa menyangkal, maupun menghindarinya.

Begitu pun dengan perasaan Lani kepada Erick. Perasaan yang awalnya tak ia sadari. Bahkan perempuan itu hanya berpikir hanya perasaan yang timbul sesaat, lalu hilang perlahan. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya ia mulai sadar. Perasaannya kepada Erick semakin dalam. Tak peduli seberapa banyak pria itu menyakiti perasaannya.

Lani tahu cinta itu datangnya dari Tuhan. Jadi tak mungkin bila Tuhan meniupkan sebuah perasaan yang salah di hatinya. Perempuan itu yakin, cepat atau lambat suaminya akan berubah. Itu doa yang selalu ia sematkan di setiap sujudnya.

Dia percaya Tuhan Maha membolak-balikan perasaan. Dia juga Maha tahu akan segala hal yang akan terjadi. Hanya kepada-Nya 'lah Lani memohon pertolongan. Hanya kepada-Nya 'lah Lani meminta agar kelak perasaan yang semakin dalam ini akan berbalas.

Dalam hening ia menatap Erick yang terbaring di sampingnya. Malam tadi adalah malam panjang yang telah mereka lewati. Seperti yang dikatakannya, Erick memperlakukannya begitu lembut, seolah ia adalah kelopak bunga yang bisa koyak hanya dengan tiupan angin. Tanpa sadar pipinya bersemu. Lani menyentuh wajahnya yang memerah bagai tomat.

Akhirnya setelah menikah ia bisa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri seutuhnya. Dia memberikan apa yang memang seharusnya menjadi hak Erick sejak malam pertama.

Perempuan itu bangkit dari ranjang setelah mendengar suara adzan subuh berkumandang. Dia meringis saat merasakan nyeri di bagian tertentu. Sekali lagi ditatapnya Erick yang masih terbaring di bawah selimut, tangannya terulur hendak membangunkan pria itu untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Namun, urung dilakukan hingga tangannya hanya tertahan di udara.

Pada akhirnya Lani berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian mengambil wudhu. Menggelar sajadah, dan menunaikan salat.

Dalam keheningan kamar dengan cahaya temaram itu-- kembali ia memanjatkan doa agar Erick diberikan hidayah. Agar suaminya mampu menjadi sosok pengiring surga untuknya kelak. Lani selalu berharap seiring berjalannya waktu Erick sadar akan peran utamanya sebagai Imam, sebagai pemimpin keluarga.

Lani tahu membutuhkan proses yang lama sampai mencapai titik itu. Namun, ia tak akan menyerah. Membangun keluarga yang sakinah, mawwadah, dan warahmah sudah menjadi impiannya sejak dulu. Perempuan itu begitu mendambakan kehidupan rumah tangga yang indah seperti ibu dan bapaknya sebelum sebuah bencana besar menguji mereka.

Di atas ranjang Erick menatap istrinya. Sudah sejak Lani beranjak ia bangun. Namun, kakinya begitu sulit untuk melangkah beribadah. Apa karena sudah terlalu lama ia meninggalkan apa yang sudah menjadi kewajibannya? Apakah ini terjadi karena terlalu banyak setan yang bersarang dalam dirinya, sehingga Erick tak mampu melawan godaan itu? Entahlah ....

Ia tak mengerti mengapa ada perempuan yang diciptakan selembut dan setegar Lani. Meskipun begitu dia bukanlah perempuan yang lemah. Lani tak terlalu pasrah akan semua perlakuan Erick. Perempuan itu cukup tegas namun sangat menghormatinya sebagai seorang suami.

Entah kenapa hatinya bergetar saat mendengar lantunan ayat yang terlontar dari bibir mungil itu. Ia juga bisa melihat Lani mengusap wajahnya yang Erick yakin agar tak meninggalkan jejak tangis di sana.

Sekarang ia mulai berpikir. Pantaskan pria sepertinya bersanding dengan perempuan seperti Lani?

* * *

"Erick masih belum turun, Lan?" tanya Sultan saat mereka duduk di ruang makan. Bersiap untuk sarapan.

Lani menggeleng pelan. "Udah bangun kok, Kek. Mas Erick lagi di kamar mandi!" jawab Lani, "mau dipanggilkan?" sambungnya.

"Boleh, soalnya kebiasaan dia kalau habis begadang main game. Sudah mandi terus tidur lagi!"

Lani tersenyum kecil, kemudian beranjak.

"Mas Erick nggak main game semalem."

Dahi Sultan mengernyit.

"Terus kalau dia nggak main game, kenapa bisa kesiangan ...." Sultan bergumam, tak lama ia sadar setelah memperhatikan gelagat Lani yang tiba-tiba berubah, kemudian mangut-mangut.

"Lani ke atas dulu ya, Kek!" ucapnya yang ditanggapi dengan anggukan.

Perempuan itu naik ke atas. Menuju kamar mereka. Kebetulan pintu kamar itu terbuka dan ia melihat Erick berdiri di depan cermin seraya menyisir rambut basahnya.

"Duh, kenapa lo itu ganteng banget sih, Rick. Siapa coba cewek yang nggak mau sama lo? Bahkan yang saliha kayak Lani juga berhasil lo taklukin!" Lani menggeleng melihat tingkah narsis Erick yang begitu kentara.

"Ekhmm ...." Lani berdehem, menarik perhatian pria itu dari dunia miliknya.

"Eh, sejak kapan lo berdiri di situ?"

"Sejak Mas muji diri sendiri," ucap Lani seraya menahan tawa.

"Wah ... wah ... lo ngetawain gue? Dosa lo ngetawain suami!"

Akhirnya Lani tak bisa lagi membendung tawanya. Perempuan itu menutup mulut, matanya tampak menyipit. Erick tertegun, baru kali ini ia melihat Lani tertawa lepas. Entah kenapa perasaan hangat tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhnya. Tawa perempuan itu menular, hingga tanpa sadar ia ikut tersenyum.

"Mas, dipanggil kakek buat sarapan di bawah," ucap Lani setelah berhasil meredam tawa.

"Oke, gue turun bentar lagi."

Lani mengangguk, ia berbalik untuk kembali bergabung dengan Sultan di meja makan.

"Eh, Lan--"

"Iya, Mas?" Lani memutar tubuhnya saat mendengar Erick memanggil.

"Ng ... lo nggak apa-apa, 'kan. Semalem--" Erick menggantung ucapannya.

Lani tertunduk, ia menatap Erick kemudian tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Mas ... ya udah aku turun duluan!" Bergegas Lani menuruni tangga dengan tergesa-gesa untuk menutupi wajahnya yang memerah.

Tanpa sadar Erick tersenyum. "Kok dia gemesin, ya. Rasanya pengen gue bawa ke tempat kerja!"

.

.

.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Playboy in Love   Akhir

    Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun

  • Playboy in Love   Ngidam

    Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita

  • Playboy in Love   Hadiah di Penghujung Tahun

    "Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia

  • Playboy in Love   Lupa

    Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai

  • Playboy in Love   Begitu Indah

    Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa

  • Playboy in Love   Ungkapan Perasaan

    Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K

  • Playboy in Love   Permintaan Cerai

    Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu

  • Playboy in Love   Menahan Diri

    Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja

  • Playboy in Love   Pulang

    Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status