"Oh Arsan! Ada apa?" tanya Marren terkejut bukan kepalang seraya dengan sigap menyembunyikan ponselnya di bawah selimut saat melihat Arsan tiba-tiba muncul di balik pintu. "Ponsel dan dompet Saya ketinggalan, padahal Saya merasa Saya sudah memasukkannya ke dalam tas," sahut Arsan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Oh, begitu? Mungkin kamu lupa meninggalkannya di suatu tempat. Sebentar, Saya bantu," ujar Marren dengan cepat. Marren turun dari ranjang dan ikut membantu mencarikan benda-benda itu. Ia memasuki kamar ganti yang terletak bersebelahan dengan kamar mandi. "Ini Saya menemukannya di sini, Arsan. Mungkin kau meninggalkannya saat mengganti baju tadi pagi," sahut Marren seraya keluar kamar kecil itu dan segera menyerahkan kedua benda penting itu pada Arsan."Terima kasih, Sayang, untungnya Saya masih ada di ruang tamu, jadi Saya masih bisa segera kembali ke mari. Dan kamu, kenapa masih belum tidur?" ucap Arsan seraya mengelus pipi chubby Marren dan merengkuh pin
Seperti yang sudah direncanakan oleh Marren, pagi itu Wira datang menjemputnya di rumah. Wira yang mengikuti petunjuk Marren melalui telepon terlihat begitu lancar menjelaskan pada Madya yang menanyakan akan pergi ke mana mereka nanti. Kini Wira yang telah memegang kemudi mobilnya dan duduk berdampingan bersama Marren menghela napas berkali kali seolah ia sangat lega setelah perasaan mengganjal itu keluar dari dadanya. "Ren, sebenamya ada apa? Kamu membuatku jadi pembohong ulung, kamu tahu? Aku jadi tidak enak hati dengan Mama kamu karena harus berbohong seperti ini. Dan sekarang untung saja Arsan mengizinkan kamu duduk berdua bersamaku tanpa ada satu pun pengawal yang ada di mobil. Jadi aku harap kamu jelaskan padaku sekarang juga?" omel Wira pada Marren yang hanya tersenyum di sela tatap matanya yang tampak serius."Saya belum bisa menjelaskan sekarang Wir, so sorry. Kalau semuanya sudah jelas Saya akan menceritakan semuanya padamu. Tapi saya sangat berterima kasih atas bantua
"Tunggu, apa harus seperti ini?" tegur Marren walau dengan nada setengah mungkin agar tidak dicurigai oleh Sang Pengawal. Dengan berdebar-debar Marren mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran tersebut yang memperlihatkan suasana restoran yang tidak terlalu ramai, hanya ada dua kelompok keluarga dengan anak-anak kecil serta beberapa remaja di dalamnya. "Maaf Nyonya, saya hanya memastikan tempat ini aman untuk Nyonya, karena jika kami ikut mendampingi Nyonya makan di sini pasti membuat Nyonya tidak nyaman. Walau pun aman, tapi kami akan tetap berjaga di luar, Nyonya. Jadi Nyonya tidak perlu khawatir," papar Sang Kepala Pengawal. 'Justru Saya khawatir kalian melihat saya bertemu Arland!" pekik Marren dalam hatinya yang berdegup sangat kencang. "Baiklah, tapi kalau kalian ingin makan siang sekalian juga tidak apa-apa. Karena saya rasa kami akan agak lama di sini," ucap Marren mengingatkan, agar tidak memperlihatkan bahwa ia tidak sedang berusaha mengusir' mereka jauh jauh. "Saya
Marren meremas jari-jemarinya untuk menahan diri, Wira yang melihat bahasa tubuh Marren yang sedang cemas, segera meraih tangan sahabatnya dan menggenggamnya untuk menguatkan dirinya. Kini mereka saling bergenggap tangan. "Memangnya apa yang Bapak tahu sampai Bapak merasa seperti itu?" tanya Arland sedikit mendesak. "Menurut orang saya, Bapak sendiri yang menemui saya karena mendengar saya sedang mencari orang yang bisa membantu saya menguak kecelakaan pesawat terbang waktu itu," imbuh Arland dengan tatapan mata menyelidik. "Iya benar, Tuan. Saya memang ingin bertemu karena sebenarnya saya sudah sangat takut, saya benar-benar tidak menyangka kalau apa yang saya lakukan saat itu bisa berakibat fatal" sahut orang itu seraya mengusap peluhnya yang mulai bermunculan di dalam ruangan berpendingin itu. "Maksudnya?" desak Arland dengan singkat. Pria itu terlihat tampak gelisah dan ketakutan, namun ia juga berusaha menguasai dirinya dan bertekad cukup kuat terlihat dari sorot matanya ya
"Baiklah. Mulai sekarang Bapak akan bekerja dengan orang-orang saya dan Bapak harus membantu semua penelusuran saya. Saya yang akan menjamin hidup Bapak. Tapi ingat satu hal, rahasiakan pertemuan ini. Dan untuk masalah anak dan istri Bapak, akan menjadi tanggung jawab saya," ucap Arland mengambil keputusan."Apa itu benar, Tuan? Kalau begitu apa yang bisa saya bantu? Saya akan membantu Tuan sekuat tenaga saya. Bagi saya cukup anak dan istri saya tahu bahwa saya tidak bersalah itu sudah cukup. Karena sejak saya di vonis anak dan istri saya terusir dari rumah kami. Apalagi sejak diberitakan pesawat itu telah disabotase dan saya dianggap sebagai kaki tangan pembunuhan berencana. Mereka sangat terpukul, dan harus terusir dari Jakarta," papar Rojer lagi-lagi tanpa bisa menahan air mata dendamnya. Arland saling berpandangan dengan Marren dan Wira. Mereka sengaja membiarkan pria itu meluapkan emosinya yang tertahan dan mendengar semua keluh kesah Rojer yang meluncur begitu saja bak bendunga
"Halo kak? Ini Marren, Saya memakai ponsel Wira," ucap Marren membuka pembicaraan setelah Arland menjawab lebih dulu. "Ada apa Marren? Apa ada masalah?" tanya Arland terdengar terkejut. "Tidak, bukan itu. Ada sedikit yang mengganjal perasaan Saya. Tadi Saya lupa menanyakan siapa pria itu, yang ada dalam foto Kakak? Dan kenapa Kakak punya fotonya?" papar Marren yang membuat Arland terdengar menghembuskan napasnya dengan berat. "Kamu yakin mau tahu siapa dia?" jawab Arland balik bertanya terdengar seperti berteka-teki. "Kalau Kak Arland seperti ini Saya jadi semakin yakın ingin tahu," sela Marren cepat dan membuat Arland terkekeh. "Baiklah, saya tidak akan bohong padamu, dan lagi pula kamu memang harus tahu siapa orang itu," sahut Marren seraya menyisakan tawanya."Pria itu adalah Willson, Marvin Wilson. Dia adalah penasihat Arsan...." imbuh Arland dengan ucapan menggantung."Apa?" sela Marren dengan terkejut. "Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa datang ke kantomya. Biasanya dia
Karena perbuatan Marren sebagai akibatnya, pertemuan Arsan pun mundur hingga tiga jam ke belakang dari jadwal.Waktu menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit sore hari. Dan kini Marren benar-benar telah duduk bersebelahan dengan Arsan berhadapan dengan Marvin Wilson yang sesaat lalu di perkenalkan oleh Arsan padanya. Seperti yang ia rencanakan. "Sayang, entah kenapa Saya seperti tidak asing melihat wajah beliau ini?" bisik Marren pada Arsan yang menikmati kopinya, sementara Wilson sedang berbicara dengan pramusaji untuk memesan makanan dan minuman. "Tentu saja, waktu itu Tuan Wilson datang ke pesta pernikahan kita, kamu pasti lupa ya?" sahut Arsan merangkul pinggang Marren yang menatapnya dengan terkejut , la benar-benar terkejut."Benarkah? Saya tidak ingat? Ya... hanya samar-samar saja. Mungkin karena terlalu banyak orang asing dalam sehari dan, entah bagaimana mengatakannya...." ucapan Marren menggantung karena ia tidak begitu yakin akan sesuatu."Bisa jadi karena saat itu
"Ah, dia sudah datang," ucap Arsan seraya bangkit dari duduknya dan menyambut Marren lalu menggandengnya mendekat dan berdiri di sampingnya. Terdengar ucapan pujian dari tamu asing Arsan dengan aksen Spanyol yang sangat kental. Pria berambut coklat gelap dan lebih muda menerjemahkannya dengan wajah yang tidak kalah berbinar-binar. "Istri Anda adalah wanita yang sangat sempurna Tuan Muda Ryzadrd," sahut pria yang akhirnya menjabat tangan Marren dan memperkenalkan namanya sebagai Antonio Fargas dan Juan Morales. Maren menampilkan senyumnya yang sangat cerah pada kedua pria asing tersebut, menandakan ia menyukai pertemuan itu sekaligus lega dengan apa yang terjadi. Tidak lupa ia mengucapkan Terima kasih untuk kedua pria tersebut. "Tetaplah di sini bersama Saya, sebentar lagi kita akan selesai," ucap Arsan menggandeng tangan Marren dan memaksanya duduk dengan halus. Kini Marren duduk kembali di sebelah Arsan dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan kami, Nyonya, jika k