Share

Awal Masalah

Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.

Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku mengadu dan mengeluh pada Jaya, dia hanya bilang jika Kak Nina iri padaku. Aku percaya saja dengan jawaban yang Jaya berikan. Usia ku dan Kak Nina terpaut cukup jauh. Aku yang berumur 20 tahun sudah memiliki anak dari pernikahan pertamaku. Sedangkan dia yang saat ini usianya menginjak 30 tahun belum menikah apalagi mempunyai anak. Padahal menurutku itu bukan alasan yang bisa dibenarkan dengan tindakan dia selama ini padaku.

Jika bisa mengulanginya, aku ingin memperbaiki hidupku. Aku ingin melewati proses kedewasaanku seperti yang lainnya. Bermain dan tertawa lepas bahkan merasakan hasil dari pendidikan sekolahku dengan bekerja mencari uang sendiri. Namun apa yang bisa aku lakukan? Semua sudah terjadi. Pernikahan dengan Budi yaitu bapak dari Firman berakhir tidak baik. Padahal akupun sama dengan perempuan lain yang mendambakan pernikahan bahagia sekali seumur hidup. Hanya saja aku tidak seberuntung itu. Aku harus merelakan Budi pergi dari hidupku dan menikah dengan gadis lain. Luka yang ditorehkan teramat dalam. Sejujurnya cintaku pada Budi masih sangat besar, namun aku selalu menepis perasaan itu. Budi sudah bahagia dengan pilihannya.

"Amira, tadi teman Akang ada yang menawarkan pekerjaan dengan upah yang cukup besar. Namun pekerjaannya berada di luar pulau, jika lolos seleksi akan dikontrak 2 tahun di sana. Apa kamu mengizinkan?" tanya Kang Budi kala itu.

'Tidak,' batinku. Seharusnya aku jawab tidak agar aku tidak berpisah dengannya. Agar tidak ada perceraian atau bahkan aku harus bertemu lagi dengan lelaki lain dan menikah. Tapi semua sudah lewat.

Aku sudah menikah dengan Jaya, aku juga harus mengikutinya. Kemana pun Jaya membawaku dan Firman. Namun tidak disangka jika kehadiranku dan Firman menjadi hal yang membuatku menelan pil pahit dari hinaan dan makian.

Nina, kakak iparku mulai menunjukan gelagat tidak menyukai kehadiran kami. Terlebih ketika aku mengabarkan jika tengah mengandung anak dari Jaya.

Sementara yang lain bahagia, dia tetap memasang muka masam bahkan lebih terang-terangan menunjukkannya.

"Mungkin Kak Nina iri, Mir," jawab Jaya kala itu.

"Kak Dina tidak ada ganggu kamu kan?" tanya Jaya.

Memang selain Kak Nina, aku memiliki ipar lain bernama Kak Dina dan satu adik lelakinya.

Ya, dia selalu bilang jika Kak Nina iri padaku.

Karena aku yang masih berusia 20 tahun sudah menikah dua kali bahkan mempunyai anak, tetapi Kak Nina yang usianya sudah menginjak 30 tahun belum diberikan rezeki menikah apalagi mempunyai anak.

Aku tidak tahu apakah itu benar atau hanya hiburan dari Jaya agar aku bisa bertahan.

Setiap apapun yang aku lakukan, pasti komentar pedasnya selalu terdengar jelas di telingaku.Contohnya jika aku mencuci pakaian siang hari ketika selesai membereskan rumah. 

"Bagaimana sih Amira! Kenapa hasil pekerjaanmu tidak ada yang beres! bisa mencuci tidak sih?" tanya Kak Nina dengan suara melengking membuatku harus menutup mulut sejenak.

"Kenapa, Kak?" tanyaku bingung dimana salahku.

"Makanya mikir! Lain kali kerja yang becus, sayang air nyuci kalau tidak beres," ucapnya sambil berlalu tanpa memperlihatkan letak salahku.

Sewaktu gadis aku selalu diajarkan mengerjakan urusan rumah dengan baik dan jika salah mamah akan menegur dengan pelan, tidak pernah sampai membentak padaku. Dia berkomentar jika aku pemalas karena mencuci siang hari.

Aku mengerjakannya saat semua orang masih terlelap, lalu menjemurnya langsung sebelum membereskan pekerjaan rumah lainnya.

Kukira dia tidak akan berkomentar lagi namun sialnya aku salah. Dia dengan pedasnya berkata bahwa aku mengganggu waktu istirahat orang lain karena mencuci pakaian saat orang lain tidur. Bahkan tidak hanya berbicara, dia juga mengomel sambil menjatuhkan alat dapur dengan sengaja membuat semua orang teralihkan kegiatannya dan tertuju padanya.

"Orang pada tidur, ini berisik satu cuci baju subuh-subuh. Ga Tau aturan emang dasar, aneh juga masih kecil udah nikah. Gini nih jadinya gak becus ngurus rumah juga," makinya kala itu membuatku menangis dalam diam.

Aku tergugu di dalam kamar, meratapi takdir yang selalu mempermainkanku.

Rasanya sudah tidak betah sekali tinggal satu atap dengan kakak iparku, namun Jaya selalu menghiburku agar aku tidak terpengaruh oleh kelakuan kakaknya itu.

Akhirnya aku tetap bertahan kala itu, demi janin yang hidup didalam rahimku.

Mencoba bertahan menghadapi sikap kakak ipar yang jelas terlihat tidak menyukai keberadaanku sungguh tidaklah mudah.

Menutup rapat-rapat telinga disaat dia berteriak menyalahkan apapun yang aku lakukan.

Juga menutup mulut agar tidak mengeluarkan kata yang akan membuat pertikaian ini semakin memanas juga sangat sulit.

Tapi aku bisa apa? sadar diri saja karena memang aku hanyalah menantu yang menumpang hidup dengan mertua.

***

"Neng, maafkan ibu ya kalau perkataan ibu menyakiti hati Neng," bujuk Kang Budi kala itu ketika aku salah menyiapkan makanan untuk ibu.

Ternyata ibu mertua tidak boleh mengkonsumsi garam seperti biasa, harus sedikit sekali dikarenakan penyakit darah tinggi yang diderita ibu sudah cukup mengkhawatirkan.

"Tidak, Kang. Bahkan ibu tidak marah pada Amira. Hanya saja dia meminta Amira untuk membuatkan makanan baru untuk ibu saja," ucapku santai.

"Akang takut jika ibu atau bapak menyakiti Neng," ucapnya menatap lekat mataku.

Secerca kenangan dengan Kang Budi tiba-tiba saja terlintas. Seringkali aku merindukan masa dimana pernikahanku dengan Budi.

Kami memang saling mencintai, orang tua Budi pun sangat menyayangiku. Terlebih karena Budi adalah anak tunggal, jadi jauh dari masalah menghadapi ipar karena memang tidak mempunya ipar.

Hidup kami pun terjamin walaupun pekerjaan Budi hanya sebagai tukang ojek, namun semua kebutuhanku dan Firman selalu terpenuhi.

Bahkan kami sudah memiliki rumah sendiri sebelum mempunyai Firman.

Namun karena pria yang terobsesi ingin memilikiku, kami terpisah.

Pria tua bernama Asep yang aku tidak mau sebut dengan panggilan hormat bapak dan sebagainya. Saking aku membencinya, membuat keluargaku dan keluarga Budi hancur.

Mengatur rencana yang membuat usaha yang dijalani merugi, dan dia datang seolah-olah pahlawan menawarkan bantuan

Padahal di balik itu semua, dia memintaku sebagai jaminan untuk uang yang telah dikeluarkan.

Karena tidak ingin orang tuanya terjerat hutang pada pria itu, Budi memilih menjual rumah yang kami tempati dan pindah ke rumah orang tuaku.

Kami hanya bertahan beberapa bulan di sana, hingga akhirnya Budi tertarik oleh salah satu tawaran dari kawannya untuk mengadu nasib sebagai buruh tanam sawit di Sumatera dengan imbalan yang besar.

Dengan berat hati aku mengijinkannya.

Tidak disangka, disana dia terpikat oleh rayuan kehangatan gadis setempat.

Dia mengabarkan bahwa dia menikah lagi, dan juga menjatuhkan talak untukku.

Duniaku hancur seketika. Aku merasa tidak mempunyai sandaran untuk sekedar mencerna apa yang terjadi, membuatku nyaris gila dan memutus urat nadiku dengan serpihan kaca dari cermin yang aku hancurkan. Cairan merah yang bercucuran dari pergelangan tanganku membuat nyawaku nyaris lepas dari raga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status