Share

Titik Jenuh

Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.

Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.

Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.

Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.

Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.

Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan belum mengerti dengan keadaan yang dia jalani.

"Enak banget orang luar, makan tinggal makan gatau aja yang cari uang susah sampai benar-benar memeras keringat buat keluarga. Eh ini orang luar bawa anak yang gak tau anak siapa tinggal mangap aja," ucap Kak Nina dengan tatapan sinisnya.

Merasa sudah cukup sabar dengan semuanya, aku meminta Jaya mengantarku pulang ke Palered.

Disana aku mengadukan semuanya pada orang tuaku, karena sakit yang selama ini kupendam sudah tak dapat terbendung lagi.

Bapak sebagai orang tuaku memberiku wejangan, membuat rencana apakah ini semua masih bisa diperbaiki atau harus berakhir.

Bapak bilang akan mengantarku kembali ke Sumedang, memberi waktu 2 minggu setelah bapak mengantarku kembali kerumah yang lebih mirip dengan neraka untukku.

Bapak dan ibu yang diantar oleh Mahdar, salah satu kawan bapak di pasar mengantarku kembali ke rumah mertuaku.

Meminta mertuaku mengumpulkan semua anggota keluarga suamiku yang akan membicarakan aduanku pada bapak.

Mertuaku terkejut karena aku berani mengadu, sampai-sampai bapak datang ke rumah besannya yang jaraknya cukup jauh.

"Maafkan saya, Pak Mulyadi. Mungkin saya dan ibunya Jaya terlalu menganggap perselisihan antara Nina dan Amira tidak seserius itu karena selama ini Amira diam saja ketika Nina mengoceh panjang," ucap Bapak mertuaku.

"Padahal itu harus di pertanyakan, kenapa Amira diam saja? Pada akhirnya seperti ini, Amira tidak tahan dengan ini semua terlebih Nina mengungkit bahwa kehadiran Amira dan Firman di keluarga ini menjadi benalu yang hanya bisa menghabiskan nasi di rumah ini. Apakah begitu serakahnya Amira disini? kalau memang begitu tolong hitungkan saja total kerugian yang dialami oleh keluarga bapak atas kehadiran Amira dan Firman di sini!" ucap bapak tegas. 

"Tidak, bukan begitu Pak Mulyadi. Amira disini adalah menantu saya dan Firman juga cucu saya, tidak ada kerugian sama sekali. Nina bicaralah, jangan hanya diam karena semua ini bersumber dari kamu!" ucap bapak mertuaku, pelan namun penuh penekanan.

Kulihat kakak iparku diam menunduk dengan dalam dan memainkan jemarinya tanda dia gelisah.

Mungkin dia tidak menyangka bahwa tindakannya membuat posisinya tersudut.

"Bukan begitu Pak, tapi semua apa yang saya lakukan demi kebaikan Amira," ucapnya seakan membenarkan perbuatannya.

"Kamu bicara apa, Nina?" bentak bapak mertuaku.

"Iya Pak, ini semua saya lakukan demi kebaikan Amira dan Jaya!" ucapnya kembali.

"Omong kosong apa ini, Nina?" jawab mertuaku berapi-api.

"Bilang saja sejujurnya, Kak. Kalau Kakak iri 'kan pada Amira?" ucap Jaya mengejek.

"Jaya, diam! jangan memperkeruh keadaan dengan ucapan yang tidak baik," tekan mertuaku.

"Bukan begitu, Pak. Sebenarnya saya juga sudah muak mendengar umpatan demi umpatan yang Kak Nina lontarkan terhadap Amira. Hal itu yang membuat Amira menangis memeluk Firman hampir setiap hari. Padahal Amira tidak pernah mengusik atau melawan perkataan Kak Nina," bela Jaya saat itu.

"Sebentar, kita dengar jawaban Nina tentang kebaikan untuk Amira yang mana?" ucap bapak menengahi.

"Saya melakukan itu semua semata-mata agar Amira tertekan dan mendorong Jaya supaya lebih giat lagi mencari rupiah. Sehingga mereka tidak lagi menumpang di sini dan bisa membeli rumah sendiri. Lihat sekarang! Jangankan rumah toh untuk urusan perut pun masih orang tua yang menanggungnya bukan," ucapnya tanpa merasa bersalah.

PLAK!

Tamparan panas dilayangkan oleh ibu mertuaku pada anak perempuannya itu.

"Lancang kamu Nina! Apa kamu pikir orang tuamu begitu menyedihkan sehingga kamu berbuat demikian?" sentak ibu mertua.

"Ibu menampar saya?" ucap Kak Nina dengan tergagap dan tangan memegang pipi.

"Ya! Seharusnya ini dilakukan sejak lama sebelum masalah mengakar. Kamu tahu yang sebenarnya benalu di rumah ini kamu. Sudah dewasa tidak mau bekerja, di rumah hanya ongkang-ongkang kaki. Semua pekerjaan ibu dan Amira yang mengerjakan. Masih saja berpikir jika Amira yang menjadi benalu? Lagipula Ibu sayang pada Firman, dia anak yang pintar dan lucu. Kamu seharusnya berkaca, Amira dan Firman adalah tanggung jawab Jaya yang otomatis tanggung jawab 

ibu dan bapakmu juga. Kamu bisanya bikin ulah saja," hardik ibu mertuaku.

Sungguh tak kusangka mertuaku sampai segitunya membelaku. Aku tidak tahu ini semua murni dari dalam hatinya atau hanya mencari muka di hadapan orang tuaku.

"Sampai hati ibu memperlakukan saya seperti ini?" ucap Kak Nina dengan air mata tertahan.

"Bahkan kamu lebih tega lagi mempermalukan keluargamu sendiri Nina! Jangan bertindak seakan-akan kamu terzalimi kalau pada awalnya kamu sendiri yang memancing keributan!" jawab Ibu.

"Sudah saya bilang saya hanya ingin Jaya dan Amira keluar dari rumah ini, biar mereka sukses!" teriak Nina histeris.

"Bukan begitu caranya Nina! Sekarang coba posisikan kamu diperlakukan seperti apa yang kamu lakukan pada Amira di keluarga suamimu. Apa kamu akan sanggup? Mengingat kamu adalah pribadi yang sangat manja!" ucap bapak mertua, pelan namun menusuk.

"Terus saja salahkan Nina. Ya memang Nina yang salah. Nina yang manja tidak sehebat Amira yang bahkan sudah mencicipi dua suami ketika masih bocah!" Teriak Kak Nina dengan mata menatap sinis ke arahku.

Aku tersentak dengan apa yang diucapkan Kak Nina. Begitu hina dan tak pantaskah aku yang seorang janda menjadi bagian keluarganya?

"Selalu saja itu yang diungkit oleh Kak Nina. Saya jadi semakin yakin jika ini semua dilakukan Kak Nina karena iri pada Amira. Makanya Kak, jadilah perempuan lemah lembut dan ramah supaya laku!" sungut Jaya berucap tak kalah pedas.

"Kamu …"  ucap Kak Nina sambil tangannya menunjuk Jaya.

"Sudah, saya dan keluarga datang kemari bukan untuk memancing pertikaian keluarga besan. Saya hanya ingin membantu Amira mengeluarkan isi hatinya saja agar tidak berdampak lagi untuk kedepannya," ucap bapak santai.

Mungkin bapak tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Sebenarnya sedih juga melihat mertuaku yang terpancing emosi hingga tega menampar anak kandungnya sendiri.

"Tidak, besan. Ini harus diselesaikan segera. Saya tidak ingin anak menantu saya merasa tidak nyaman di rumahnya sendiri," ucap bapak mertua.

"Amira, untuk kedepannya jika ada yang mau diceritakan boleh pada ibu saja. Kasihan besan sampai jauh-jauh kesini hanya untuk membicarakan hal sepele," ucap ibu mertuaku.

Mendengar ibu mertuaku menyebut masalah yang dihadapi oleh anaknya, bapak terlihat kesal dan, BRAK! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status