Share

Prahara Cinta Amira
Prahara Cinta Amira
Author: STELL HEER

Penculikan.

Aku merenungi nasibku sekarang, kejadian yang baru saja terjadi amat mengguncang ketenanganku.

Rafik, anakku yang masih berusia satu setengah tahun diculik dari kediamanku ketika hari masih gelap. Azan subuh pun belum berkumandang.

Ketika aku sibuk berkutat dengan setumpuk pekerjaan rumah yang harus aku bereskan sebelum Firman dan Rafik, kedua anakku terbangun dari lelapnya tidur. Aku memilih mengerjakannya dini hari karena ingin ketika kedua anakku yang masih kecil terbangun. Aku sudah siap menemani hari mereka.

Aku tinggalkan Firman dan Rafik yang masih terlelap, beranjak mencuci baju di sumur belakang. Namun ketika aku kembali karena mendengar tangis Rafik, aku hanya melihat Firman yang sedang terduduk bingung dengan mengucek matanya, hanya Firman saja sementara Rafik tidak ada.

'Jaya, pasti dia yang menculiknya' batinku.

Aku menghampiri Firman tergesa dan kemudian menggendongnya. Segera ku langkahkan kaki kecilku memaksa untuk berlari menuju terminal yang tidak jauh dari kediamanku.

Aku sangat berharap jika Rafik belum jauh dibawa oleh Jaya.

Aku tanyakan pada setiap orang yang ada, "Apakah mereka melihat anakku?" tanyaku pada setiap orang.

Kumasuki satu per satu mobil elf yang ada di terminal untuk mencari keberadaan Rafik, nihil. Semua usahaku tidak membuahkan hasil.

Tapi aku tidak berhenti, terus aku mencari Rafik yang hilang dengan menggendong Firman yang cukup berat untuk usia anak 6 tahun.

Adzan subuh berkumandan. Kakiku lemas lututku merosot. Aku terduduk tak beraturan di depan toko emas yang ada disitu, dengan Firman yang masih bingung akan apa yang terjadi.

Aku menangis, menyesali diri karena meninggalkan anakku yang terlelap tidur tanpa pantauan.

Beginikah caramu membalaskan sakit hatimu, Jaya?

Jaya, dia adalah suamiku.Tepatnya mantan suami yang baru dua minggu aku tinggalkan.

Firman dan Rafik memiliki ayah yang berbeda.

Rafik adalah anak dari Jaya, lelaki yang 3 tahun belakangan menjadi suamiku.

Firman adalah anak dari Budi, suamiku sebelum menikah dengan Jaya.

Aku memaksakan kakiku berdiri, menuntun Firman kembali menuju rumah.

Kami berdua berjalan tanpa alas kaki. Aku berjalan sambil menangis menuntun Firman yang menatapku dengan bingung sambil menggenggam kertas di tangannya.

Aku berjongkok untuk melihat kertas apa yang di pegang Firman. Ketika aku mengambil dari tangannya, ternyata uang sebesar 20.000 rupiah.

"Ini, uang dari siapa, Nak?" tanyaku pada Firman.

"Bapak," jawabnya polos.

Berarti benar bahwa Jaya yang menculik Rafik, setidaknya aku tenang karena bukan orang lain yang membawanya melainkan bapaknya sendiri.

Aku kembali menuntun Firman berjalan. Sesampainya dirumah, aku tidak melanjutkan pekerjaanku karena merasa harus segera bertemu kedua orang tuaku mengatakan hal ini.

Kubersihkan Firman, dan memakaikannya baju. Lalu aku juga membersihkan diri dan berganti pakaian, bersiap ke rumah Bapak.

"Assalamualaikum, Mah, Pak," salamku ketika sampai di depan rumah orang tuaku.

"Waalaikumsalam, Mir masuk mamah di dapur," jawab mamah setengah berteriak.

"Loh, kemana Rafik?" tanya bapak yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Rafik diculik, Pak!" ucapku histeris.

"Diculik bagaimana?" tanya bapak tak kalah histerisnya.

Lalu aku menceritakan kejadian yang sudah terjadi pada bapak.

Mamah menghampiri kami dengan sepiring pisang goreng, juga membawa teko berisi teh panas dan gelas kosong.

"Mana Rafik, Mir?" tanya mamah.

"Diculik," ucapku pelan.

Mungkin aku sudah capek, energiku sudah sedikit setelah melewati pagi yang begitu panjang untukku.

Bapak yang kemudian membantuku menjelaskan cerita bagaimana Rafik diculik pada mamah.

"Bukan diculik Amira, dia dibawa sama bapaknya sendiri juga," ucap mamah santai.

"Bagaimana tidak diculik,Mah! Dibawa oleh bapaknya pun kalau tidak seizin yang merawatnya, sama saja diculik toh. Mana hari masih gelap lagi, kasihan anakku," ucapku lesu.

"Sudah, biarkan dulu. Mungkin Jaya ingin bersama anaknya barang sebentar, menurut mamah biarkan Rafik disana untuk beberapa hari, nanti tinggal kita jemput," ucap mamah menenangkan.

Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan mamah, dan menyetujuinya.

Namun aku kembali menangis ketika biasanya jam segini, anakku belum aku mandikan.

Kubiarkan Firman bermain tanah di halaman samping rumah kami, tepatnya rumah kontrakan kami.

Lalu Rafik yang penuh rasa penasaran menghampiri kakaknya dengan berjalan berjinjit-jinjit seakan tidak ingin kakinya yang menggemaskan menapaki tanah.

Mereka bermain sambil menungguku selesai masak, setelah selesai baru aku memandikan kedua anakku berbarengan. Firman kakaknya sudah bisa mandi sendiri, aku lebih fokus memandikan Rafik.

Namun kini aku hanya berdua dengan Firman, merasa kesepian ketika separuh jiwaku pergi.

"Sudah Mir, tidak usah ditangisi. Toh dia pergi bersama bapaknya," ucap Mamah.

"Kapan menjemput Rafik?" tanyaku masih dengan tatapan kosong.

"Bapak sekarang ke pasar dulu, cari orang yang mau mengantar kita ke Sumedang, rumah mantan suamimu," ucap Bapak dingin.

Aku terdiam, hanya bisa menerima semua ini.

Bukan aku tidak percaya pada Jaya, hanya saja jika aku kembali ke rumah itu, seperti membuka luka yang sedang aku sembuhkan perlahan.

Sebenarnya, aku masih menyayangi Jaya. Dia adalah sosok ayah yang baik bagi Firman yang bukan darah dagingnya, terlebih lagi bagi Rafik.

Tapi memang jodoh kami hanya sampai disini, tiga tahun pernikahan.

Aku bertemu dengannya di kota Subang, ketika aku kabur dari Palered karena ada yang selalu menggangguku sejak aku masih sekolah dulu, bahkan dia juga yang menyebabkan keluargaku berantakan.

Hingga akhirnya aku menyerah menghadapinya karena dia mengancam akan terus menggangguku sebelum aku menerima pinangannya.

Berangkatlah aku ke Subang disertai restu Bapak, tujuanku adalah rumah Uwak yang berada di pelosok Subang.

Tak disangka, disana aku bertemu dengan Jaya.

Dia juga pendatang, sebagai ketua grup yang menaungi hiburan layar tancap disana.

Tidak lama, hanya sebulan masa perkenalan kami dia langsung mengajakku menuju hubungan yang serius.

Awalnya aku ragu, karena perbedaan status kami.

Aku seorang janda dengan satu anak, sedang dia masih berstatus bujangan.

Dimanapun aku berada, pastilah statusku mendatangkan masalah.

Entah seorang ibu yang tidak menerima kehadiranku yang dia takutkan akan menggoda suaminya.

Karena pada tahun itu, janda sangat sensitif dengan fitnah dan itu adalah aib.

Maka aku memutuskan menerima pinangan Jaya, disamping menyelamatkanku dari status janda, dia juga terlihat sangat menyayangi Firman.

Awal pernikahan kami, semua berjalan mulus karena kami memulai hidup baru di Subang, tempat dia meraup rupiah.

Namun perkembangan zaman menuntut hidup semakin maju, dan hiburan layar tancap tergeser oleh yang lain.

Menyebabkan Jaya dan anggotanya kehilangan mata pencaharian.

Dengan sisa uang yang ada di tabungan, Jaya berpikir untuk memulai usaha baru tapi tidak di Subang karena biaya kontrakan akan mengurangi modal yang ada.

Akhirnya kami memutuskan untuk hijrah lagi ke kota asal Jaya, yaitu Sumedang.

Jaya bilang, setidaknya di sana kami akan menumpang dirumah orang tuanya, agar mengurangi biaya pengeluaran.

Dengan segala pertimbangan, akhirnya sampailah kami disana.

Sebenarnya keluarga Jaya adalah keluarga besar dan baik.

Diluar dugaan, usaha yang Jaya rintis macet ditengah jalan terkendala biaya.

Disitulah awal mula masalah mencuat ke permukaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status