Zaydan dan Qiara berangkat meninggalkan kota Pemayung menuju danau milik Ayah Qiara yang terletak di salah satu perkebunan. Sepanjang perjalanan, Qiara terus melantunkan lagu-lagu nuansa Islami yang diperdengarkan di dalam mobil tersebut.
Zaydan mengulum senyum karena akhirnya Qiara menyukai lagu-lagu islami dan meninggalkan lagu rock kesukaannya. Sebelumnya, mereka sempat berdebat untuk menyetel musik dalam mobil. Qiara yang lebih menyukai musik rock akhirnya memilih memakai headset karena tidak menyukai lagu islami yang diputar oleh Zaydan.
"Danaunya indah sekali." Zaydan memeluk Qiara dari belakang saat mereka sudah sampai di tepi danau. Dia gemas melihat Qiara yang sedang merentangkan tangannya.
"Danau ini sangat indah. Dan sengaja kami rawat dengan baik agar jika libur bisa datang kemari."
Sepasang suami istri itu kemudian menggelar sebuah tikar yang tadi mereka bawa dan meletakkan aneka makanan di sana. Zaydan mengambil sebuah gitar dan berbaring di atas pangkuan Qiara membuat dada Qiara kembali berdebar tidak karuan.
"Kamu bisa main gitar?"
"Bisa dong. Hari ini aku akan menyanyikan sebuah lagu untuk istri yang teramat sangat aku cintai."
Qiara menerbitkan senyum di wajahnya yang merona saat mendengar Zaydan melantunkan sebuah lagu yang teramat sangat sendu. Tanpa sadar, Qiara membelai rambut Zaydan dan mengusap kening lelaki itu dengan lembut.
"Qi."
"Hmmm?"
"Mendekatlah."
"Ada apa?"
Cup
"Zay." Qiara terpaku saat Zaydan meraih kepala Qiara dan mengecup bibirnya.
"Aku cinta kamu, Qiara. Aku cinta kamu sejak pertama kali Umi Zahra menjodohkanku denganmu."
"A-aku ...."
"Aku tidak memaksamu untuk mengatakan cinta hari ini juga. Tapi aku berharap kamu membiarkan aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Percayalah, kamu akan berbahagia menjadi istriku."
Zaydan bangkit dari pangkuan Qiara, lalu merubah posisi dengan mendudukkan istrinya itu di pangkuan.
"Zay, jangan seperti ini."
"Kenapa?"
"Aku ...."
"Gerogi?"
Qiara mendongak menatap Zaydan yang saat ini tengah memangku dan memeluknya dari belakang. Dia melihat ada cinta yang begitu besar di manik mata Zaydan. Gadis itu membiarkan Zaydan menyesap bibirnya dengan lembut.
"Nanti malam kita melakukan ibadah terindah, ya?"
"Tapi aku takut sakit."
"Aku janji nggak akan sakit, Sayang."
Wajah Qiara bersemu merah membayangkan malam pertama yang disebut Zaydan dengan ibadah terindah yang akan mereka lakukan nanti malam.
"Peluk aku kalau kamu malu." Zaydan menarik Qiara ke dalam dekapannya.
Sementara itu, Qiara membenamkan kepalanya di dada bidang Zaydan dan membiarkan jantung mereka saling bersahutan bertalu-talu. Mereka menghabiskan separuh hari di danau dengan penuh kemesraan.
***
"Sayang." Zaydan menghela nafas berat saat melihat Qiara sudah tertidur dengan pulas. Mereka baru saja selesai melaksanakan ibadah salat isya, hanya saja Zaydan masih membaca beberapa lembar Al-Qur'an, sedangkan Qiara pamit ke dalam kamar untuk mengerjakan tugas kuliah. Namun kenyataannya, istrinya itu malah tertidur tanpa menunggu Zaydan terlebih dahulu.
Zaydan akhirnya membaringkan tubuhnya di samping Qiara. Dia menarik istrinya itu ke dalam pelukan karena posisi ranjang yang memang berukuran agak sempit untuk orang berdua.
Malam semakin larut. Qiara tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan menggeliat kecil. Perempuan itu sedikit menoleh saat merasakan dirinya berada di dalam dekapan suami yang telah menikahinya selama beberapa minggu.
"Tampan." Qiara bergumam di dalam hati seraya membingkai wajah Zaydan. Perempuan itu mengusap bulu-bulu halus yang memenuhi rahang tegas suaminya.
"Aku cinta kamu."
"Zay." Qiara terlonjak kaget saat Zaydan tiba-tiba mendekatkan wajah dan membisikkan kata cinta padanya.
"Panggil aku Mas, Sayang."
"Zay."
"Panggil aku Mas."
Qiara menatap bibir Zaydan yang terus mendekat dan melabuhkan kecupan di bibirnya. Dia terdiam saat Zaydan meremas jemarinya dengan lembut.
"Aku cinta kamu, Qi. Aku janji, akan menjadi suami yang baik untukmu."
"Zay. Aku ... belum siap." Qiara melepas jemari Zaydan saat menyadari suaminya itu meminta hak.
"Kenapa?"
"Aku takut sakit."
"Aku janji nggak akan melukaimu, Sayang."
"Tapi ...."
Pertahanan Qiara runtuh karena Zaydan terus mencumbu wajah dan anggota tubuhnya dengan lembut. Perempuan itu akhirnya membiarkan Zaydan meniup ubun-ubun kepalanya dan membisikkan sebuah do'a.
"Mas."
"Katakan lagi, Sayang."
"Aku siap, Mas."
Zaydan menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka yang polos. Lelaki itu membimbing Qiara mengucapkan do'a untuk mendapatkan keturunan yang saleh di saat mereka mencapai nirwana.
"Mas, boleh nggak kalau kita menunda punya anak?" Qiara bertanya saat mereka selesai melakukan ibadah terindah untuk ketiga kalinya.
"Kenapa?"
"Aku belum siap, Mas. Aku masih muda."
"Tapi Mas ingin mereka segera hadir, Sayang."
"Tunggu aku lulus kuliah, ya."
"Kamu baru semester satu, Sayang."
"Tapi aku beneran nggak siap, Mas."
"Mas akan bantu rawat mereka."
"Mas, aku mohon."
Zaydan hanya pasrah saat melihat wajah memelas Qiara. Dia pun tak bisa memaksa.
***
"Huekk ... Huekkk." Qiara terus memuntahkan isi perutnya.
"Sayang, masih mual?"
"Masih, Mas. Aku nggak kuat." Qiara bersandar di dada Zaydan. Seperdetik berikutnya, perempuan itu menangis tersedu-sedu.
"Aku nggak mau jauh dari Mas."
"Iya, Sayang."
"Pokoknya Mas nggak boleh pergi lagi."
Sudah seminggu Zaydan mengikuti pelatihan ustadz berprestasi di kota Jambi dan terpaksa meninggalkan Qiara yang sedang mabuk hamil.
Qiara positif hamil dan mereka telah melakukan pemeriksaan pada dokter. Qiara termasuk golongan ngidam bucin karna tidak bisa jauh dari Zaydan. Hal itulah yang menyebabkan Zaydan harus selalu berada di sampingnya.
Namun, keadaan Zaydan yang wajib mengikuti pelatihan membuat mereka terpisah cukup lama dan Zaydan harus meninggalkan pakaian kotornya untuk dihirup aromanya oleh Qiara agar tidak muntah.
"Acaranya tinggal besok, Sayang."
"Tapi malam ini Mas tidur meluk aku, kan?"
"Iya, Sayang."
Zaydan dan Qiara baru saja melewati badai rumah tangga. Saat Qiara mengetahui kehamilannya dengan memeriksa testpack yang diberikan Amira, dia merahasiakan kehamilan itu dari Zaydan dengan alasan ingin memberi kejutan di waktu yang tepat.
Namun, Qiara mendatangi rumah sakit untuk memeriksa kandungannya seorang diri dan dokter yang menanganinya adalah Leon.
Zaydan yang memang cemburu pada Leon segera memukul lelaki itu saat melihat Qiara berjalan dengannya hingga Qiara marah besar dan mengatakan bahwa dia terpaksa mengandung anak Zaydan. Karna sebenarnya dia masih belum siap.
Selama beberapa hari mereka melewati waktu dengan saling diam tanpa menyapa hingga akhirnya Qiara mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zaydan. Dan dia benar-benar ingin melahirkan bayi tersebut. Qiara mengatakan bahwa dia akan menjadi ibu yang siap untuk calon bayi mereka. Zaydan dan Qiara sepakat untuk saling mendukung saat Qiara menjalani kehamilan.
"Mas, aku kangen banget." Qiara menatap Zaydan dengan sendu.
Cinta yang begitu besar membuat Qiara dan Zaydan tak kuasa menahan hasrat sebagai pasangan muda yang ingin bercinta. Terlebih mereka tidak bertemu selama satu minggu terakhir. Kerinduan yang membuncah membuat malam itu mereka kembali menikmati madu pernikahan dengan penuh cinta.
***
"Mas Zaydan, Non Qiara tadi pingsan di kampus dan saat ini di rawat di rumah sakit," ujar Asisten rumah tangga Pak Bustomi saat Zaydan baru saja pulang dari Pelatihan Ustadz berprestasi.
"Apa?"
"Sekarang Pak Bustomi menjaga Non Qiara di rumah sakit.
"Rumah sakit mana?"
"Haji Abdul Madjid Batoe."
"Itu rumah sakit tempat Leon bekerja. Aku harus segera memindahkan Qiara.
" Zaydan langsung berangkat ke rumah sakit untuk menyusul Qiara. Bukan hanya karena sangat khawatir dengan keadaan bayi yang berada di dalam kandungan Qiara, tapi juga takut Qiara diperiksa oleh Leon.
"Meskipun Leon menjalankan profesinya sebagai dokter kandungan, aku tetap tidak rela jika dia menyentuh Qiara." Zaydan mengepalkan tangannya kuat-kuat.
***
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh