"Apa tadi malam kalian berhubungan badan?" Dokter Anisa menatap Zaydan dengan seksama.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Zaydan dihubungi Pak Bustomi yang mengatakan bahwa Qiara dia pindahkan ke Rumah Sakit Mitra Medika Batang Hari karena dia takut Leon yang akan menjadi dokter kandungan Qiara, akan memeriksa Qiara saat itu juga.
Saat ini Zaydan dipanggil oleh dokter kandungan untuk membicarakan tentang kondisi Qiara.
"Pak?" Dokter Anisa kembali bertanya.
"Benar, Dok."
"Sudah saya duga."
"Tapi bukankah itu tidak berbahaya, Dok?"
"Benar, jika kandungan itu normal dan baik-baik saja, tapi ...."
"Kenapa, Dok?"
"Kandungan Bu Qiara lemah dan tidak kuat mendapat guncangan dari luar. Bahkan Bu Qiara tidak boleh stres."
"Kandungan lemah?"
"Benar, dan sepertinya ini adalah bawaan dari keturunan."
Zaydan merasa bersalah karena tadi malam tidak bisa menahan hasrat kerinduan yang sedang membuncah sehingga dia melepaskan kerinduan itu dengan memasuki Qiara yang sedang hamil muda.
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Saya akan memberikan vitamin untuk menguatkan kandungan Bu Qiara, tapi kalian pun harus mengikuti pantangan yang saya arahkan."
"Kami akan melakukan apapun demi keselamatan bayi kami, Dok."
"Sebaiknya kurangi aktivitas ranjang, jangan biarkan Bu Qiara melakukan pekerjaan berat, dan jangan biarkan Bu Qiara terlalu stres memikirkan sesuatu."
"Akan kami laksanakan, Dok. Kami akan mengingat baik-baik Apa saja larangan yang dokter berikan." Zaydan memantapkan hati untuk menahan dulu hasrat di dalam dadanya.
Pak Bustomi yang sedang menjaga Qiara hanya terduduk lesu di samping brankar putrinya itu. Betapa dia sangat takut jika kandungan putrinya akan bernasib sama dengan kandungan mendiang istrinya dulu.
"Ayah." Zaydan menepuk bahu Ayah mertuanya saat melihat lelaki paruh baya itu melamun seorang diri.
"Bisa Ayah bicara denganmu, Zay?"
"Bisa, Ayah."
"Ayah khawatir Qiara mengalami lemah kandungan seperti mendiang ibunya dulu. Qiara adalah anak ketiga yang akhirnya bisa dilahirkan oleh istriku setelah dua kali mengalami keguguran. Padahal kami sudah melakukan berbagai cara untuk menjaga janin itu untuk tetap bertahan." Air mata meleleh di pipi Pak Bustomi.
"Saya baru tahu kalau ternyata mertua saya sebelumnya juga mengalami hal serupa seperti ibunya Qiara. Ibu Qiara adalah anak ke-4 yang akhirnya berhasil dilahirkan setelah nenek Qiara mengalami keguguran sebanyak tiga kali.
Saya benar-benar khawatir jika Qiara juga akan mengalami nasib yang sama karena bawaan dari keturunan." Pak Bustomi menatap cemas pada Qiara yang masih terpejam.
Zaydan menahan nafasnya dengan berat. Khawatir yang dirasakan oleh Pak Bustomi juga dirasakan olehnya karena dia sendiri sangat mengharapkan Qiara segera melahirkan dan memberikannya keturunan. Namun dia pun tidak bisa berbuat apa-apa jika takdir berkata lain.
"Kita tidak tahu apa yang disembunyikan oleh Allah di balik takdirnya. Tapi Zaydan sangat berharap kandungan Qiara bisa diselamatkan dan dia bisa melahirkan bayi kami seperti harapan," sahut Zaydan dengan penuh keyakinan.
***
"Semua pilihan ada padamu. Mas tidak bisa memaksakan kehendakmu. Jika memang kamu mau terus kuliah, Mas pasti akan jaga kamu dengan baik. Tapi jika memang kamu ingin mengambil cuti terlebih dahulu, Mas pasti juga akan mendukungmu untuk menjalankan proses perkuliahan setelah cuti nanti." Zaydan meremas tangan Qiara yang tengah kebingungan saat tahu dokter menyarankannya untuk tidak mengambil kuliah terlebih dahulu mengingat kandungannya yang cukup lemah.
"Aku sangat mencintainya, Mas. Aku sudah jatuh cinta pada bayi ini. Aku tidak ingin kehilangan dia. Ini adalah bukti cintaku padamu."
"Sayang."
"Aku cinta kamu, Mas. Aku sudah berjanji untuk memberikan yang terbaik padamu."
"Jadi bagaimana keputusanmu?"
"Bismillah, aku akan mengambil cuti kuliah sampai melahirkan. Nanti setelah bayi ini lahir, kita akan menjaga dan merawatnya bersama-sama sambil aku melanjutkan kuliah. Aku 'kan juga ingin jadi dosen seperti kamu."
"Istri pintar." Zaydan menarik Qiara ke dalam dekapannya. Betapa dia merasa bahagia karena akhirnya Qiara mengambil keputusan yang menurutnya paling tepat.
Sepasang suami istri itu mulai merencanakan apa yang harus mereka lakukan setelah Qiara melahirkan nanti, dan bagaimana cara mereka mengasuh bayi tersebut bersama-sama.
Sementara itu, di balik tembok rumah Zaydan yang sangat tinggi, seseorang tengah mengintai aktivitas Zaydan dan Qiara yang sedang duduk di saung di samping rumah mereka dengan bermesraan. Beberapa tetes air mata jatuh membasahi wajah sosok itu. Dia merasakan luka yang teramat sangat.
"Sayang, ayah meminta Mas untuk membawa serta Mbak Asih ke rumah. Ayah khawatir kamu terlalu lelah melakukan pekerjaan rumah meskipun Mas sudah mengatakan bahwa biar semua pekerjaan rumah, Mas saja yang mengerjakan."
"Aku sebenarnya kurang nyaman jika ada orang lain di rumah ini."
"Terus gimana dong?"
"Aku nggak apa-apa kok kalau harus sendirian di rumah."
"Mas nggak akan tenang mengajar Jika kamu sendirian di rumah, Sayang."
"Jadi kita harus menerima kedatangan Mbak Asih di sini?"
"Kamu nggak keberatan, kan? Demi bayi kita."
Qiara menggangguk setuju. Dia tidak ada pilihan lain selain mendatangkan asisten rumah tangga ayahnya di rumah mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
***
"Bu, beli kuenya." Qiara berseru pada penjual kue langganannya.
Penjual kue yang biasa dipanggil Bu Jamilah itu mendekat.
"Kok tumben jualan kuenya agak siang dari biasa?" Qiara bertanya kepada Bu Jamilah Seraya mengambil beberapa kue di dalam keranjang dan memasukkannya ke dalam piring yang diambil oleh Mbak Asih.
"Hari ini Ibu kesiangan."
"Tapi kuenya masih tetap tinggal sedikit kok."
"Alhamdulillah walaupun sudah agak siang datangnya, para pelanggan tetap menunggu."
"Itu karena kue Ibu sangat enak."
Bu Jamilah setiap hari menjajakan kuenya di sekitar rumah Qiara. Dia biasanya datang saat Zaydan belum berangkat ke kampus. Bu Jamilah selalu memberikan bonus kue favorit Zaydan dengan alasan sebagai ucapan terima kasih karena Qiara selalu membeli dalam jumlah yang banyak.
Dikarenakan Setiap hari selalu bertemu dengan Bu Jamilah, terkadang Qiara mengajak Bu Jamilah untuk masuk ke dalam rumahnya jika jualan Bu Jamilah sudah habis.
Zaydan pun bersikap sangat ramah pada Bu Jamilah sehingga perempuan paruh baya itu merasa betah berlama-lama beristirahat di rumah Zaydan dan Qiara.
"Boleh Ibu numpang salat duha, Nak? Karena terlalu buru-buru berangkat jualan, tadi ibu belum sempat melaksanakan ibadah salat Dhuha." Bu Jamilah sedikit sungkan saat bertanya pada Qiara.
"Oh, boleh banget, Bu." Qiara mengajak Bu Jamilah menuju mushola di rumahnya. Sebuah ruangan yang selalu digunakannya untuk beribadah bersama Zaydan. "Kebetulan Qiara juga belum melaksanakan ibadah salat Dhuha."
Mereka berdua pun segera mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah salat Dhuha dengan khusyuk.
"Bu, tasbih ini ibu beli di mana?" Qiara menahan pergerakan tangan Bu Jamilah yang hendak memasukkan tasbih ke dalam tasnya.
"Ini tasbih pemberian suami ibu, Nak."
"Kenapa tasbihnya sangat mirip dengan milik Mas Zaydan?" Qiara bergumam di dalam hati. "Apa Mas Zaydan memiliki hubungan dengan Bu Jamilah?"
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh