"Seharusnya aku berbahagia di hari pernikahan ini." Qiara menatap dirinya di depan cermin. "Apa ini adalah keputusan yang tepat?"
Qiara yang begitu cantik mengenakan kebaya berwarna putih yang dipenuhi dengan Payet dan mutiara berkilau. Kebaya itu model kebaya gaun modern yang membuat Qiara seperti seorang princess dari kerajaan. Hijabnya pun telulur sampai ke dada karna Zaydan meminta istrinya memakai hijab pengantin yang menutupi dada.
SAHH ... ALHAMDULILLAH
Terdengar suara dari ruang depan menandakan ijab qobul telah terlaksana. Hal itu membuat Qiara terpaku. Dia menyadari jika saat ini dia telah sah melepas masa lajang.
"Nak, mari ibu bimbing ke depan." Bu Zahra masuk ke dalam kamar Qiara. Perempuan paruh baya itu menggandeng Qiara menuju tempat akad nikah.
Qiara duduk di samping Zaydan. Ia masih menundukkan kepalanya. Jantungnya berdebar tak karuan seakan-akan ingin melompat keluar dari tubuhnya.
Qiara mengulurkan tangan untuk disematkan cincin oleh Zaydan. Perempuan itu mengangkat wajah sehingga tatapannya dan Zaydan bertemu.
Tak berkedip Qiara menatap Zaydan yang semakin tampan dengan kepala ditutupi peci berwarna hitam. Begitupun sebaliknya, Zaydan bahagia melihat perempuan yang dinikahinya begitu cantik dan mempesona.
Zaydan beringsut mendekati Qiara. Ia mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Qiara; Qiara menyambut uluran tangan Zaydan dan menciumnya dengan takzim. Bersamaan dengan itu, Zaydan meraih pucuk kepala Qiara dan mengecup istrinya itu dengan mesra.
Kecupan Zaydan tertahan cukup lama sehingga Qiara memejamkan mata, menikmati degup yang kian bertalu-talu dan mengajak berperang.
"Mulai hari ini, aku adalah imammu. Mari kita arungi bahtera cinta ini dengan tulus," bisik Zaydan di telinga Qiara.
Wajah Qiara bersemu merah merasakan embusan napas Zaydan di telinganya.
Qiara dan Zaydan akhirnya memutuskan untuk menikah setelah mereka ta'aruf selama 1 minggu.
"Menikahlah dengan Qiara, Nak. Umi sudah mengenal dia sejak masih kecil. Umi tahu dia anak yang baik. Umi dan Pak Bustomi yakin, kamu pasti bisa membentuk kepribadian Qiara menjadi perempuan solehah," pinta Umi Zahra ketika Zaydan mengungkapkan keraguannya.
Sementara itu, Qiara juga dibujuk oleh ayahnya yang akhirnya dirawat di rumah sakit karena penolakan Qiara.
"Jangan terlalu larut dalam kisah cintamu yang hancur, Nak. Biarkan Zaydan mengisi kekosongan hatimu dan buktikan pada keluarga Leon bahwa kamu pasti bahagia dengan pernikahanmu," bujuk Pak Bustomi yang akhirnya membuat Qiara luluh.
Acara resepsi yang sangat melelahkan membuat Qiara tertidur tak sadarkan diri, tapi Zaydan membangunkannya dan memintanya melaksanakan ibadah salat isya.
"Aku lagi datang bulan," tolak Qiara ketika Zaydan membangunnya.
Qiara bangun dan menyadari bahwa saat ini dia sedang berada di kamar pengantin dan statusnya sudah menjadi istri Zaydan.
"Ehm, Zay. Boleh aku meminta sesuatu?" Qiara berbicara dengan hati-hati karena takut Zaydan akan marah.
"Bicaralah."
Aku ... belum siap."
"Untuk?"
"Malam pertama."
"Lalu kapan kamu siapnya?" Zaydan berdiri dan mendekati Qiara.
"Kalau aku udah jatuh cinta sama kamu." Qiara mundur beberapa langkah seiring dengan jumlah langkah Zaydan mendekatinya.
"Baiklah, aku akan segera buat kamu jatuh cinta."
"Coba aja kalau bisa," tantang Qiara.
"Kamu janji akan siap memberikan hakku jika sudah jatuh cinta?"
"Aku janji." Qiara menatap Zaydan dengan wajah serius.
"Aku pegang janjimu." Zaydan tersenyum. "Ehm, Qi, bisakah kamu memanggilku dengan sebutan Mas?"
"Aku akan panggil Mas kalau sudah jatuh cinta padamu dan siap menunaikan kewajibanku," sahut Qiara dengan mantap.
"Aku akan menunggu."
***
"Zay, bisa menemaniku menghadiri pesta pernikahan teman?" Qiara menghampiri Zaydan yang sedang menikmati sarapan pagi.
Mereka telah pindah ke rumah pribadi milik Zaydan yang terletak di daerah Pemayung. Tentu saja kepindahan mereka dipenuhi dengan drama Qiara yang tak ingin berpisah dari ayahnya.
Zaydan menghentikan menyuap nasi gorengnya. "Pernikahan siapa?"
"Teman."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki, tapi nanti Amira ikut juga kok."
Zaydan dan Qiara menjemput Amira di rumahnya sebelum mereka berangkat ke tempat resepsi pernikahan.
Qiara sengaja tidak menceritakan kepada Zaydan bahwa yang akan mereka hadiri adalah resepsi pernikahan Leon, mantan kekasihnya karna dia takut Zaydan pasti akan marah.
Di perjalanan menuju gedung tempat resepsi pernikahan, Zaydan menyinggahi Ammar—sahabatnya yang mobilnya sedang mogok di jalan, dan mengantar sahabatnya itu sebelum menuju gedung pernikahan.
"Kok tempat pestanya sepi?" Amira memindai gedung yang dipenuhi bunga-bunga itu dengan seksama.
Salah seorang satpam menghampiri mereka dan memberitahukan bahwa mempelai perempuan mengalami kecelakaan.
Qiara seketika terkejut mendengar istri Leon mengalami kecelakaan. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Leon yang mungkin saat ini merasa terpukul.
"Zay, bisa antar aku ke rumah sakit? Aku mau melihat keadaan Meca," pinta Qiara.
Zaydan menuruti keinginan Qiara untuk mendatangi pengantin ke rumah sakit. Sedikitpun dia tidak menaruh curiga melihat ekspresi wajah Qiara yang begitu cemas.
Langkahn Qiara begitu tergesa-gesa karna dia ingin memberi ketegaran pada Leon agar sabar menghadapi cobaan di hari pernikahan mereka.
Qiara melihat Leon tengah menyeka air matanya. "Leon."
"Qiara?" Leon berhambur memeluk erat tubuh Qiara saat perempuan itu berada di hadapannya.
"Qi, Meca meninggal." Pelukan Leon semakin erat.
"Aku tahu, kamu harus sabar, Leon."
Bugh
"Jangan sentuh istriku!" Zaydan tiba-tiba muncul dan memukul Leon. Lelaki itu melepas pelukan Qiara dengan paksa.
Bugh
Bugh
Bugh
Zaydan membabi buta memukul Leon karena merasa panas hati melihat Qiara dipeluk olehnya.
"Hentikan! Seharusnya anda mengajari istri anda agar tidak ikut campur urusan mantan kekasihnya. Urus istri anda yang murahan itu!" Ayah Leon menahan tangan Zaydan yang hendak memukul putranya.
Darah Zaydan mendidih mendengar ucapan lelaki bermata sipit di hadapannya. Dia pun segera menyeret Qiara pulang dengan keadaan marah. Sementara itu, Amira memilih pulang dengan grab karena tidak ingin menganggu Zaydan yang ingin menyelasaikan masalah dengan Qiara.
Qiara merasa takut melihat wajah Zaydan yang merah padam. Bahkan buku-buku tangan lelaki itu memutih sambil menyetir mobil.
Qiara memiringkan tubuhnya dan berusaha memegang tangan Zaydan. "Zay, dengarkan aku ...."
"Aku tidak butuh penjelasan, Qi. Aku hanya kecewa padamu yang sampai saat ini tak kunjung membuka hati untukku." Zaydan menatap tajam pada Qiara hingga nyali gadis itu seketika menciut.
Zaydan tentu sangat kecewa. Dia sudah berupaya sekuat tenaga untuk belajar menerima perjodohan hingga mencintai Qiara dengan sepenuh hati. Namun ternyata, Qiara malah menyimpan kisah masa lalunya.
Zaydan menyeret Qiara masuk ke dalam kamar saat mereka sudah sampai di rumah. "Lepaskan pakaianmu dan berikan padaku!" perintah Zaydan dengan mata yang masih sangat tajam.
Qiara segera melepas pakaiannya dan memberikannya kepada Zaydan. Seperdetik berikutnya, Zaydan membawa pakaian itu halaman belakang rumah diikuti oleh Qiara.
"Zay, apa yang kamu lakukan?" Qiara terbelalak saat melihat Zaydan menumpuk pakaiannya di atas paving block.
"Kamu adalah istriku. Aku tidak akan membiarkan ada aroma tubuh lelaki lain di sini!" Zaydan menyiram bensin pada tumpukan baju sehingga api berkobar besar.
Qiara histeris melihat pakaiannya yang dimakan kobaran api. "Zaydan, apa kamu sudah gila?!"
***
"Zay, maafin aku ...." Qiara memeluk Zaydan dari belakang. Dia meminta ampun pada lelaki yang berstatus suaminya itu.Zaydan melepas pelukan Qiara di pinggangnya. Hatinya benar-benar terasa sakit melihat Qiara dipeluk oleh lelaki lain. Lebih sakit lagi mendengar hinaan dari ayah Leon. Zaydan merasa harga dirinya sebagai lelaki terkoyak."Zay ...." Qiara merasa sesak di dadanya saat Zaydan memilih tidur di lantai. "Tidurlah, sudah malam."Hati Qiara terasa diiris saat melihat Zaydan meringkuk di bawah selimut. Mereka memang baru seminggu menikah dan belum menunaikan kewajiban sebagai suami istri karena Qiara datang bulan sejak hari resepsi hingga saat ini. Namun, Zaydan selalu memeluknya setiap mereka tidur karena ranjang berukuran sempit yang belum diganti."Zay, seandainya kamu tahu betapa aku sangat menyesali keadaan ini." Qiara hanya menatap Zaydan yang telah tidur dengan pulas.***"Lapar banget, nih." Qiara keluar dari kamar. Dia mencari keberadaan Zaydan, tapi lelaki itu tidak
Zaydan dan Qiara berangkat meninggalkan kota Pemayung menuju danau milik Ayah Qiara yang terletak di salah satu perkebunan. Sepanjang perjalanan, Qiara terus melantunkan lagu-lagu nuansa Islami yang diperdengarkan di dalam mobil tersebut. Zaydan mengulum senyum karena akhirnya Qiara menyukai lagu-lagu islami dan meninggalkan lagu rock kesukaannya. Sebelumnya, mereka sempat berdebat untuk menyetel musik dalam mobil. Qiara yang lebih menyukai musik rock akhirnya memilih memakai headset karena tidak menyukai lagu islami yang diputar oleh Zaydan."Danaunya indah sekali." Zaydan memeluk Qiara dari belakang saat mereka sudah sampai di tepi danau. Dia gemas melihat Qiara yang sedang merentangkan tangannya."Danau ini sangat indah. Dan sengaja kami rawat dengan baik agar jika libur bisa datang kemari."Sepasang suami istri itu kemudian menggelar sebuah tikar yang tadi mereka bawa dan meletakkan aneka makanan di sana. Zaydan mengambil sebuah gitar dan berbaring di atas pangkuan Qiara membuat
"Apa tadi malam kalian berhubungan badan?" Dokter Anisa menatap Zaydan dengan seksama.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Zaydan dihubungi Pak Bustomi yang mengatakan bahwa Qiara dia pindahkan ke Rumah Sakit Mitra Medika Batang Hari karena dia takut Leon yang akan menjadi dokter kandungan Qiara, akan memeriksa Qiara saat itu juga.Saat ini Zaydan dipanggil oleh dokter kandungan untuk membicarakan tentang kondisi Qiara."Pak?" Dokter Anisa kembali bertanya."Benar, Dok.""Sudah saya duga.""Tapi bukankah itu tidak berbahaya, Dok?""Benar, jika kandungan itu normal dan baik-baik saja, tapi ....""Kenapa, Dok?""Kandungan Bu Qiara lemah dan tidak kuat mendapat guncangan dari luar. Bahkan Bu Qiara tidak boleh stres.""Kandungan lemah?""Benar, dan sepertinya ini adalah bawaan dari keturunan."Zaydan merasa bersalah karena tadi malam tidak bisa menahan hasrat kerinduan yang sedang membuncah sehingga dia melepaskan kerinduan itu dengan memasuki Qiara yang sedang hamil muda."Apa yang haru
Pembicaraan Qiara dan Bu Jamilah tertahan karena terdengar suara deru mobil milik Zaydan yang memasuki halaman rumah. Perempuan berbadan dua itupun segera berlari menuju pintu utama karena dia tahu Zaydan sudah pulang dari kampus."Sayang, kamu kok sudah pulang?" Qiara bertanya kepada Zaydan dengan tatapan heran saat melihat suaminya itu sudah pulang kampus padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu dia berangkat."Mas baru tahu kalau ternyata hari ini sedang ada kegiatan lain di kampus, dan Mas rasa Mas tidak perlu ikut kegiatan itu." Zaydan mencium pucuk kepala Kiara dan langsung mengerutkan pening saat melihat kehadiran Bu Jamilah di dalam rumahnya."Ibu jualan kue ke arah sini?" Alis Zaydan saling tertaut karena biasanya Bu Jamilah ditemui oleh Zaidan jika mereka sedang berada di Kota muara Bulian."Iya, Nak. Kebetulan ibu numpang salat Dhuha sekalian di sini," sahut Bu Jamilah dengan terbata-bata karena dia khawatir jika Zaydan tidak menyukai kehadirannya di sana."Nggak apa-apa,
Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya. "Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus. Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut."Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah d
"Iyalah, Mas. Aku kan cengeng, bisa jadi anak kita nanti juga cengeng seperti ibunya. Bukankah biasanya kepribadian anak itu menurun dari ibunya?" Qiara menatap Zaydan lekat-lekat.Zaydan terkekeh mendengar perkataan Qiara. Lelaki itu kembali meremas jari jemari istrinya dengan lembut, lalu mengecup telapak tangan Qiara penuh kasih."Sayang, karakter seorang bayi dibentuk oleh ibunya ketika masih di dalam kandungan. Bayi yang cengeng biasanya berasal dari seorang ibu yang sering menangis ketika sedang mengandung." Zaydan berujar tanpa berhenti mengecupi telapak tangan Qiara."Berarti ketika mengandung aku, ibuku sering menangis dong?" Qiara menatap Zaydan seakan meminta penjelasan.Zaydan merasa terjebak oleh perkataannya sendiri. Dia sedikit mengerti melihat ekspresi Qiara yang tidak biasa."Bisa jadi, Sayang. Bisa jadi ibu selalu menangis karena khawatir kehilangan kamu sebagai bayi kesekian yang dikandungnya," sahut Zaydan."Beneran? Bukan karena Ayah yang menyakitinya?" Qiara meng
Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya. "Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya. Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar. "Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu. Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra. Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasa
"Masa lalu apa yang membuat ibu takut sehingga tidak mau mengakui status ibu yang sebenarnya?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah agar ibu mertuanya itu mengerti bagaimana besarnya cinta Zaydan padanya. Bu Jamilah pun menceritakan kepada Qiara tentang masa lalunya dan meminta Qiara untuk merahasiakan tentang jati dirinya pada Zaydan. "Nggak, Bu. Aku nggak bisa merahasiakan ini dari Mas Zaydan. Bagaimana pun juga Mas Zaydan harus tahu." Qiara menggeleng tidak setuju. "Ibu hanya tidak mau Zaydan nanti akan mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menjebak ibu, dan membuat kami terpisah. Ibu tidak ingin Zaydan mengorbankan keluarga kalian demi menyelidiki masa lalu itu." Qiara terbelalak mendengar ucapan Bu Jamilah. "Bu, Mas Zaydan pasti tahu yang terbaik untuk Ibu. Pokoknya Qiara akan kasih tahu dia tentang jati diri ibu." "Baiklah kalau begitu, ibu akan pergi dari kehidupan kalian." Bu Jamilah hendak pergi. "Bu ...." "Ibu hanya memintamu membiarkan Ibu dekat dengan Zaydan tanpa haru