Masuk“Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.
Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya.
"Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.
Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."
Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.
Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.
Gadis cilik gaya modis.
“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Areta penuh percaya diri saat usia sepuluh tahun ketika ikut mama dan papanya bersilaturahmi ke rumah Adam saat kakeknya masih hidup.
Adam tersenyum mengingat momen itu. Kini, tanda tangan yang dimaksud tidak hanya tertera di kertas biasa, tetapi di buku nikah mereka berdua.
Adam membuka pintu. Di dalamnya, rumah itu kecil, tetapi mengejutkan. Lantai keramik putihnya mengkilap. Perabotan hanya sebuah sofa tua, televisi tabung, dan sebuah meja besar yang di atasnya teronggok mesin jahit industri yang kokoh.
"Selamat datang." Adam berujar. "Ini adalah ruang kerjaku dan ruang tamu. Ada beberapa kamar bekas kos-kosan yang tidak terpakai," lanjutnya.
Areta hanya berdiri kaku di ambang pintu, koper-kopernya yang bermerek memenuhi pintu masuk. "Aku butuh kamar. Dua kamar. Satu untukku, satu untuk ruang kerjaku."
"Sudah kusiapkan," Adam mengangguk santai. "Mari aku tunjukkan kamar utama."
Adam berjalan melewati dapur kecil yang juga bersih. Ia berhenti di depan pintu kayu paling ujung.
"Ini adalah kamar yang dulu ditempati papa Rajes Kusuma saat merintis usaha," kata Adam, suaranya mengandung sedikit nostalgia.
Areta terdiam, terkejut mendengar hubungan masa lalu itu.
Adam membuka pintu. Kamar itu kecil, tetapi bersih dari debu dan sarang laba-laba. Di dalamnya terdapat ranjang dengan lebar 140 cm dan lemari kayu yang terlihat tua, namun terawat.
"Lemari ini tua, tapi tidak ada rayap yang mengusiknya. Ranjangnya sudah kuganti," jelas Adam. "Aku harap cukup nyaman."
Areta memeriksa. Ranah kecil itu memang bersih. Jendelanya besar, menghadap ke halaman samping.
"Di luar itu, adalah tempatku menanam sayuran segar. Aku harap udaranya cukup bagus," Adam menambahkan.
Areta mencibir. "Sayuran segar di gang sempit. Lucu sekali."
"Kamar sebelah bisa kamu gunakan sebagai butik mini dan ruang kerja. Aku sudah memindahkan sisa-sisa barang ke gudang," lanjut Adam, menunjuk ke kamar di sampingnya.
Areta merasakan sentuhan aneh dari perhatian Adam.
Dia menyulap kamar bekas Papa hanya untukku?
"Aku butuh kamar mandi yang bersih. Dan jangan pernah, sekali lagi, jangan pernah masuk kamarku tanpa izin," desis Areta, kembali ke mode agresif.
"Aku mengerti," jawab Adam. "Kamar mandinya ada di sebelah dapur. Dan ini …."
Adam mengeluarkan kunci baru yang berkilauan.
"Kamar kamu memiliki kunci terpisah, Nona Areta. Aku menghargai privasimu sepenuhnya. Aku akan menunggu sampai kamu sendiri yang membuka pintu kamarmu untukku," Adam menyerahkan kunci itu.
“Gak akan pernah terjadi.” Areta membantah congkak.
Adam menanggapi dengan senyuman. Ia tampak santai. Lebih tepatnya, tampak sabar.
"Kamu bisa mengunci pintu ini dari dalam dan luar. Aku tidak akan pernah menyentuh pegangan pintu itu, kecuali kamu yang mengundangku."
Areta menatap kunci itu. Kesiapan Adam menaati kontrak dan detail persiapan kamar justru membuatnya curiga.
Pria ini terlalu baik. Ada apa di baliknya?
"Baik," Areta menyambar kunci itu. "Sekarang, aku ingin membersihkan diri. Dan malam ini, kita makan di luar. Aku tidak mau tahu, kamu harus membelikanku makanan yang layak."
"Maaf, Nona Areta. Sesuai kontrak, kita harus menunjukkan keharmonisan di depan umum," Adam menggeleng. "Tapi malam ini, saya ingin kamu makan malam di rumah. Aku akan memasak. Kamu adalah istriku sekarang."
Areta menatap Adam yang kini tersenyum tipis. Senyum itu kembali memantulkan bayangan kegagalan pagelarannya kemarin. Seolah Adam tahu bagaimana mengendalikan Areta.
"Baik," Areta akhirnya mengalah. Ia melangkah cepat ke kamar mandi.
Saat ia keluar, ia langsung mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia bersandar di pintu yang dingin itu. Ia sudah mendapatkan Gedung Serbaguna. Tapi ia baru saja menjual kebebasan dan kenyamanannya pada seorang pria culun yang terlalu sentimental dan terlalu pintar.
Di luar, di ruang tengah, Adam menatap pintu kamar Areta yang terkunci rapat. Ia membuka kacamata tebalnya. Matanya yang cokelat gelap dan tajam kini memancarkan kesedihan.
"Kamar Ayahmu. Kunci yang akan melindungi dirimu, Areta. Dan menjauhkan hatiku," bisik Adam pelan, lalu kembali memasang kacamatanya. Ia melangkah ke dapur, untuk membuat makan malam mereka berdua.
Saat menggoreng ikan, ponsel jadul Adam berdering. Ada SMS masuk.
[Pak Adam, rapat besok di majukan sekarang. Maaf mengganggu hari pertama pernikahan anda. Anda akan datang pukul berapa?]
Adam membaca pesan itu. Ia mematikan kompor sejenak. Rapat penting itu tidak bisa ditunda. Ia mengetik balasan singkat, sambil matanya menatap pintu hijau yang terkunci rapat. Jadwalnya baru saja berantakan, tetapi ia tidak ingin melewatkan makan malam pertamanya dengan Areta. Apa yang harus ia perbuat?
Adam berdiri lama di depan wastafel, tangan masih bersabun. Ia menatap piring yang tadi dipakai Areta, piring yang kini kosong, benar-benar bersih tanpa sisa sambal apa pun.Sudut bibirnya terangkat sedikit. Tapi hanya sebentar.Jangan keburu senang, batinnya menegur dirinya sendiri.Ia membilas piring itu dan mengambil napas perlahan. Suara Areta masih terngiang jelas di kepalanya.“Sambalnya… lumayan. Sedikit. Jangan GR.Ikannya… gak bikin aku keracunan. Itu prestasi besar.”Adam menunduk, menahan tawa kecil tawa yang jarang sekali muncul saat ia sendirian. Bertahun-tahun ia hidup dalam lingkaran duka dan tuntutan yang membuatnya belajar mematikan ekspresi.Tapi dengan hadirnya Areta… rasanya berbeda.Masakan ikan sederhana yang ia goreng terburu-buru, sesuatu yang ia yakin akan dicibir habis-habisan, ternyata habis dimakan. Bahkan dipuji—dengan cara khas Areta yang lebih mirip makian daripada pujian.Adam mengeringkan kedua tangannya. Pandangannya menyapu dapur kecil itu, ruang sea
Adam baru saja menutup pintu ketika suara Areta menggelegar dari ruang tengah.“Dari mana saja kamu? Malam keluar gitu aja?” Areta berdiri dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi. Rambutnya masih dikuncir berantakan karena bekerja, tapi tatapannya menusuk seperti biasa.Adam mematung sejenak. “Tadi … ada urusan sebentar.”“Urusan apa?” Areta mendekat selangkah. “Jangan-jangan kamu punya rahasia ya?”Adam menelan ludah. “Aku cuma keluar sebentar, Are. Beneran.”“Apa kamu ke rumah orang tuaku? Kamu laporan sama papaku?” tanya Areta dengan tatapan curiga.Adam menaikkan bingkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot. Ia lega karena kecurigaan sang istri bukan mengarah ke jati diri aslinya. “Oh, tidak. Apa juga yang harus dilaporkan. Kita baru hitungan hari menjalani pernikahan. Aku hanya butuh udara segar saja. Itu sudah jadi kebiasaanku tiap malam. Jika jenuh, aku motoran tanpa tujuan.”Areta mendengus. “Aneh,” cicitnya. “Lain kali bilang kalau mau keluar. Aku panggil kamu ber
“Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.Ia berjalan cepat
“Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya."Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.Gadis cilik gaya modis.“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Aret
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk."Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam men
"Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica."Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik."Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langk







