Masuk“Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.
“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.
Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.
Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.
Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.
Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.
Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.
Ia berjalan cepat ke sudut basemen paling gelap. Sebuah dinding polos tiba-tiba berbunyi “klik” ketika ia menekan panel tersembunyi. Lemari besi besar bergeser membuka, menampilkan ruangan terang dengan barisan wardrobe, rak sepatu, dan meja rias minimalis.
Adam masuk, menutup pintu, dan berdiri di depan cermin.
Ia menarik suspender hijaunya hingga terlepas. Kemeja kotak-kotak lusuh ia lepaskan tanpa ragu. Celana cingkrangnya ia tendang ke keranjang laundry. Semua dilakukan dengan gerakan lihai seperti seseorang yang sudah menjalani ritual ini ribuan kali.
Kemeja putih linen tergantung rapi. Adam memakainya, membiarkan dua kancing atas terbuka. Celana bahan hitam membingkai tubuhnya dengan presisi. Sepatu kulit Italia ia kenakan sambil menegakkan tubuhnya, berubah perlahan dari sosok culun menjadi pria dengan aura kepemimpinan yang matang.
Kacamata tebal ia lepaskan. Sepasang mata cokelat gelap kini terlihat jelas, lebih tajam, lebih bernyawa. Adam menyisir rambutnya ke belakang, membiarkannya jatuh dengan gaya effortless. Parfum mahal ia semprotkan ringan ke leher. Jam tangan platinum melingkar sempurna di pergelangannya.
Ketika Adam keluar, ia bukan lagi suami culun Areta.
Ia adalah CEO Rajawali Jaya Group.
Pintu terbuka. Luna sudah menunggu dengan map hitam.
“Ini laporan mingguan dan agenda rapat darurat, Pak,” katanya. “Terima kasih, Luna.” Suara Adam kini berat, berwibawa, dan nyaris tidak menyisakan jejak kehidupan lainnya dengan Areta.
Adam berjalan menuju lift berlapis krom. Saat pintu terbuka, ia menekan tombol lantai lima. Pintu lift menutup perlahan, memantulkan bayangan sang CEO yang baru saja meninggalkan kehidupan samar yang hanya diketahui satu orang, istrinya yang bahkan tidak sepenuhnya mengenalnya.
*
Sementara itu, di kamar sempitnya, Areta baru selesai menggambar desain. Perutnya keroncongan. Ia bangkit dan berjalan keluar.
“Kok sepi?” gumamnya. “Adam! Suspender ….”
Ia menengok ke ruang tamu, tempat yang tadi digunakan Adam untuk menjahit. Kosong. Tidak ada tanda-tanda pria itu.
“Kemana orang itu? Kenapa gak ada di mana-mana?” Areta mendengus kesal sambil berjalan ke dapur.
Dapur pun kosong. Hanya kompor yang masih hangat, penggorengan di atasnya, dan aroma samar minyak panas yang baru padam.
Areta menyentuh gagang penggorengan. Masih hangat.
Tatapannya kemudian jatuh ke meja makan. Ada tudung saji warna coklat. Areta mengangkatnya.
Seekor ikan nila goreng tersaji rapi. Kulitnya kecokelatan. Di sampingnya, irisan timun disusun sederhana. Cobek kecil berisi sambal tomat mengeluarkan aroma pedas segar yang menusuk hidung.
“Masakan kampung,” ejek Areta, meski suara perutnya memprotes keras. Ia menatap kantong celana tipisnya yang nyaris tak berat apa-apa.
Meskipun gedung serbaguna kini atas namanya, bukan berarti ia punya uang tunai. Kenyataannya, Areta bahkan tak punya uang untuk membeli makan siang.
“Tunggu, kalau Adam suamiku … berarti dia wajib nafkahin aku kan?” gumamnya. “Ah, gak mungkin. Makan saja masih sambal. Mana mungkin bisa makan di restoran?”
Ia mendesah panjang. “Coba dulu aku nurut sama Mama Vero, hidupku gak bakal sesedih ini.”
Akhirnya Areta menarik kursi dan duduk. Di dalam tudung saji ternyata selain ikan goreng dan timun serta sambal sudah ada sepiring nasi hangat. Adam sengaja menyiapkan untuknya.
Awalnya Areta ragu. Tapi ia tetap mengambil sejumput sambal dan mencicipinya.
Dalam hitungan detik, keraguan itu menguap. Sambalnya enak. Pedas pas. Tomatnya segar.
Atau mungkin ia memang sangat lapar.
Tapi Areta terus makan. Lahap.
Sementara itu, diam-diam saat rapat, Adam memperhatikan CCTV yang tersembunyi di dapurnya. Ia melihat sang istri makan dengan lahap.
Adam tersenyum. Tidak sia-sia ia menggoreng ikan sebelum berangkat ke perusahaannya ini.
“Pak, masalah mesin baru yang hendak kita beli, rasanya kesepakatan kemarin sudah bagus. Kenapa masih direvisi?” tanya kepala produksi.
“Saya ingin ganti mesin dari pabrik yang berbeda. Saya tahu itu beresiko. Tapi sebelum mengambil resiko saya sudah pastikan jika pilihan saya ini minim resiko. Keluar dari zona nyaman itu memang sulit. Tapi jika kita sudah riset, rasanya tidak perlu khawatir lagi. Jadi anda tenang saja, Pak Femil,” jawab Adam yang kembali fokus memimpin rapat.
Kepala produksi mengangguk penuh hormat.
“Baik. Kalau begitu, rapat selesai.” Adam menutup map. “Kesepakatan dengan pemasok bahan baku mulai diproses besok. Urusan mesin, langsung pesan saja. Laporkan hasilnya ke Luna.”
Semua peserta rapat mengangguk setuju.
Rapat darurat itu ditutup.
Saat berjalan menuju lift, Luna bertanya pelan, “Pak, kapan Anda mau menunjukkan diri ke para pegawai? Mereka mulai menanyakan CEO mereka.”
Adam menatapnya sambil berjalan santai. “Gaji mereka telat?”
“Tidak, Pak.”
“Kalau begitu mereka hanya iseng. Tidak perlu hiraukan. Kirim laporan di atas jam sepuluh pagi.”
“Baik, Pak.”
Pintu besi menuju ruang gantinya tertutup. Luna berhenti di luar.
Adam kembali berganti pakaian, memakai suspender, menambatkan kacamata tebal, dan sepatu murahan.
Dari CEO … kembali menjadi suami culunnya Areta. Setibanya di rumah, suasana awalnya sunyi. Tapi baru satu langkah masuk, suara nyaring langsung menyambutnya.
“Dari mana saja kamu? Malam-malam keluar gitu aja?” tegur Areta, tangan terlipat di dada, wajah tidak puas.
Adam hanya berdiri di ambang pintu.
Diam.
Menunduk seperti biasa.
Seakan barusan bukan memimpin rapat jutaan dolar.
Adam berdiri lama di depan wastafel, tangan masih bersabun. Ia menatap piring yang tadi dipakai Areta, piring yang kini kosong, benar-benar bersih tanpa sisa sambal apa pun.Sudut bibirnya terangkat sedikit. Tapi hanya sebentar.Jangan keburu senang, batinnya menegur dirinya sendiri.Ia membilas piring itu dan mengambil napas perlahan. Suara Areta masih terngiang jelas di kepalanya.“Sambalnya… lumayan. Sedikit. Jangan GR.Ikannya… gak bikin aku keracunan. Itu prestasi besar.”Adam menunduk, menahan tawa kecil tawa yang jarang sekali muncul saat ia sendirian. Bertahun-tahun ia hidup dalam lingkaran duka dan tuntutan yang membuatnya belajar mematikan ekspresi.Tapi dengan hadirnya Areta… rasanya berbeda.Masakan ikan sederhana yang ia goreng terburu-buru, sesuatu yang ia yakin akan dicibir habis-habisan, ternyata habis dimakan. Bahkan dipuji—dengan cara khas Areta yang lebih mirip makian daripada pujian.Adam mengeringkan kedua tangannya. Pandangannya menyapu dapur kecil itu, ruang sea
Adam baru saja menutup pintu ketika suara Areta menggelegar dari ruang tengah.“Dari mana saja kamu? Malam keluar gitu aja?” Areta berdiri dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi. Rambutnya masih dikuncir berantakan karena bekerja, tapi tatapannya menusuk seperti biasa.Adam mematung sejenak. “Tadi … ada urusan sebentar.”“Urusan apa?” Areta mendekat selangkah. “Jangan-jangan kamu punya rahasia ya?”Adam menelan ludah. “Aku cuma keluar sebentar, Are. Beneran.”“Apa kamu ke rumah orang tuaku? Kamu laporan sama papaku?” tanya Areta dengan tatapan curiga.Adam menaikkan bingkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot. Ia lega karena kecurigaan sang istri bukan mengarah ke jati diri aslinya. “Oh, tidak. Apa juga yang harus dilaporkan. Kita baru hitungan hari menjalani pernikahan. Aku hanya butuh udara segar saja. Itu sudah jadi kebiasaanku tiap malam. Jika jenuh, aku motoran tanpa tujuan.”Areta mendengus. “Aneh,” cicitnya. “Lain kali bilang kalau mau keluar. Aku panggil kamu ber
“Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.Ia berjalan cepat
“Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya."Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.Gadis cilik gaya modis.“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Aret
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk."Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam men
"Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica."Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik."Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langk







