Masuk"Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.
Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."
Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk.
"Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."
Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam mengangkat wajahnya. Di balik kacamata tebal itu, matanya berwarna cokelat gelap, memandang Areta dengan tatapan yang ... aneh. Bukan tatapan memuja, bukan tatapan marah, tapi tatapan menilai yang sangat teliti.
Areta merasa tatapan itu sedikit tidak nyaman, seolah Adam bukan melihat desainer glamor, tapi melihat kerusakan yang ada di baliknya.
Namun, hanya sesaat. Adam kembali menunduk ke jarinya. "Saya minta maaf, Nona Areta," katanya, masih dengan suara pelan dan formal. "Tapi saya sudah berjanji dengan Kakek saya, dan juga Pak Rajes, kalau pernikahan ini akan berlangsung selamanya."
Areta menegang. "Apa katamu?"
Adam berhenti, menarik napas. Ia menunjuk ke arah Areta, bukan dengan jarinya, tapi dengan pandangannya yang terarah ke bagian bawah mantel Areta.
"Lagipula, saya rasa Nona tidak punya pilihan," lanjut Adam, senyum tipisnya muncul. "Desainer terkenal mana yang masih mengenakan celana kulit palsu di pagelaran busana Paris?"
Jantung Areta serasa berhenti. Pipa napasnya seolah terhenti. Celana kulit yang ia kenakan itu ... memang palsu. Ia membelinya di butik vintage karena ia tidak mampu membeli yang asli setelah kegagalan dua pagelaran terakhir.
"Bagaimana?" Areta nyaris tak bersuara. Bagaimana Adam, seorang penjahit kampung dengan kacamata kusam, bisa mengetahui detail sekecil itu hanya dengan sekali pandang?
Wajah Adam yang tadinya polos kini tersenyum tipis. Seutas senyuman yang membuat Areta merasa telanjang, seluruh kebohongannya terkuak.
"Kalau begitu," kata Adam sambil membungkuk lagi. "Senang bertemu dengan calon istriku. Saya siap kapan saja kalau kamu sudah siap. Oh iya, saya sudah membayar makanan dan minuman kita. Saya permisi. Saya masih banyak pekerjaan. Kalau butuh apa-apa, bisa hubungi saya lagi. Kapan saja."
Adam beranjak dari kursinya. Dengan langkah santai, ia melenggang keluar kafe Angin Senja, meninggalkan keheningan dan kebingungan yang memenuhi ruang kepala sang calon mempelai wanita.
Areta kalap. Ia mengambil roti di hadapannya dan menggigitnya dengan kesal. “Dia … itu … apa dia bilang? Dia berani mengataiku? Pasti dia cuma asal ngomong! Kebetulan tebakannya benar! Menikah selamanya dengannya? Enggak akan!”
Namun, satu minggu kemudian.
“Saya terima nikah dan kawinnya Areta Nindiya Kusuma binti Rajes Kusuma dengan mas kawin emas lima gram dan uang tunai dua puluh tujuh juta rupiah, dibayar tunai.”
"Sah..."
Satu kata itu, “sah” menutup babak kebebasan Areta.
Pernikahan berlangsung amat sangat sederhana. Hanya dilakukan di kantor KUA, hanya dihadiri Rajes, istrinya, kerabat dekat Rajes selaku saksi serta keluarga Adam yang berjumlah dua orang saja.
Areta yang mengusulkan.
Alasannya logis. Ia ingin fokus dulu pada persiapan fashion show musim depan, dan pesta akan digelar usai pagelaran.
Areta duduk di samping Adam. Meski di KUA, ia tetap mengenakan gaun putih simple rancangan pribadinya. Rambutnya disanggul rapi.
Di sebelahnya, Adam mengenakan kemeja putih yang disetrika kaku. Kacamata tebalnya, rambutnya belah tengah, dan celana cingkrang-nya yang bahkan tidak ia ganti, terasa seperti hinaan visual di mata Areta.
"Kau bahkan tidak berusaha sama sekali," desis Areta pelan, hanya untuk didengar Adam.
Adam menoleh, tatapan tenangnya tersembunyi di balik lensa kacamata tebalnya. "Saya sudah berusaha, Nona Areta. Saya mencukur kumis saya."
Areta ingin meledak. Mencukur kumis? Itu yang dia sebut usaha?!
Setelah ijab kabul selesai, Rajes dan Veronica maju. Veronica mencium pipi Areta, ekspresinya campur aduk antara kelegaan dan juga kecemasan.
Bisakah putrinya menjadi istri yang baik untuk Adam?
"Kau sudah berjanji," bisik Veronica, memperingatkan. "Sekarang, Gedung Serbaguna adalah milikmu. Jangan hancurkan gedung itu dan juga pernikahanmu," sambungnya lalu mengecup kening putrinya.
Rajes, Papa, hanya menepuk bahu Areta, matanya penuh permohonan.
Upacara selesai. Areta menghindari Adam. Ia tidak mau ada foto yang menangkap kemesraan palsu.
Tetapi Rajes mendorong putrinya agar dekat dengan Adam dan kilatan foto mengabadikan momen sakral itu.
"Kita langsung ke rumahmu," perintah Areta pada Adam setelah mereka keluar dari KUA. "Aku sudah mengemas barang-barangku. Siap-siap saja rumahmu bakal kewalahan dengan barang bawaanku.”
Areta sengaja menguji kesabaran Adam. Karena syarat menikah mereka salah satunya adalah Areta harus tinggal bersama Adam. Dengan kata lain, Areta harus pindah ke rumah sederhana yang dalam angannya pasti banyak sarang laba-laba dan berdebu.
Adam mengangguk. "Tentu, Nyonya Prasaja. Mobil saya menunggu."
Areta duduk kaku di kursi mobil. "Aku sudah katakan, jangan panggil aku 'Nyonya Prasaja'!"
"Baik, Nona Areta," Adam membalas dengan formal. "Aku sudah mempersiapkan kamar terpisah untukmu, sesuai kontrak. Tapi ada satu hal yang harus kau ingat."
Adam menepi, memarkir mobil di pinggir jalan, tepat di mulut gang sempit itu. Ia menoleh ke Areta. Lensa tebal kacamatanya memantulkan cahaya matahari sore.
"Apa?" tanya Areta, merasa terancam lagi.
"Di hadapan semua orang, kau adalah istriku yang mencintaiku," ujar Adam, suaranya tenang namun mengandung otoritas. "Di rumah ini, kau bebas membenciku. Tapi di luar, aku adalah suamimu, dan kau harus menghormati janji pernikahan yang baru kita buat. Demi kehormatan Rajes Kusuma."
Adam membuka pintu mobil. Udara pengap dan bau masakan dari gang sempit langsung menyergap Areta.
"Silakan, Nona Areta," Adam mengulurkan tangan. "Selamat datang di rumah kita. Aku harap kau suka dengan kamar yang kusiapkan."
Areta menatap tangan Adam yang terulur. Ia membencinya, membenci rumah ini, membenci celana cingkrang itu. Tapi demi Gedung Serbaguna dan Pagelaran-nya, ia harus masuk.
Ia mengabaikan tangan Adam, mengambil koper mahalnya, dan melangkah masuk ke gang sempit.
“Babak baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta.
Adam berdiri lama di depan wastafel, tangan masih bersabun. Ia menatap piring yang tadi dipakai Areta, piring yang kini kosong, benar-benar bersih tanpa sisa sambal apa pun.Sudut bibirnya terangkat sedikit. Tapi hanya sebentar.Jangan keburu senang, batinnya menegur dirinya sendiri.Ia membilas piring itu dan mengambil napas perlahan. Suara Areta masih terngiang jelas di kepalanya.“Sambalnya… lumayan. Sedikit. Jangan GR.Ikannya… gak bikin aku keracunan. Itu prestasi besar.”Adam menunduk, menahan tawa kecil tawa yang jarang sekali muncul saat ia sendirian. Bertahun-tahun ia hidup dalam lingkaran duka dan tuntutan yang membuatnya belajar mematikan ekspresi.Tapi dengan hadirnya Areta… rasanya berbeda.Masakan ikan sederhana yang ia goreng terburu-buru, sesuatu yang ia yakin akan dicibir habis-habisan, ternyata habis dimakan. Bahkan dipuji—dengan cara khas Areta yang lebih mirip makian daripada pujian.Adam mengeringkan kedua tangannya. Pandangannya menyapu dapur kecil itu, ruang sea
Adam baru saja menutup pintu ketika suara Areta menggelegar dari ruang tengah.“Dari mana saja kamu? Malam keluar gitu aja?” Areta berdiri dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi. Rambutnya masih dikuncir berantakan karena bekerja, tapi tatapannya menusuk seperti biasa.Adam mematung sejenak. “Tadi … ada urusan sebentar.”“Urusan apa?” Areta mendekat selangkah. “Jangan-jangan kamu punya rahasia ya?”Adam menelan ludah. “Aku cuma keluar sebentar, Are. Beneran.”“Apa kamu ke rumah orang tuaku? Kamu laporan sama papaku?” tanya Areta dengan tatapan curiga.Adam menaikkan bingkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot. Ia lega karena kecurigaan sang istri bukan mengarah ke jati diri aslinya. “Oh, tidak. Apa juga yang harus dilaporkan. Kita baru hitungan hari menjalani pernikahan. Aku hanya butuh udara segar saja. Itu sudah jadi kebiasaanku tiap malam. Jika jenuh, aku motoran tanpa tujuan.”Areta mendengus. “Aneh,” cicitnya. “Lain kali bilang kalau mau keluar. Aku panggil kamu ber
“Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.Ia berjalan cepat
“Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya."Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.Gadis cilik gaya modis.“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Aret
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk."Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam men
"Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica."Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik."Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langk







