Angin berhembus tipis, membuat helai rambut wanita itu menjadi berantakan. Namun si pemilik enggan merapikannya. Ia hanya ingin membiarkan rambutnya tersapu angin. Kepalanya menunduk, melihat pasir putih yang ada di bawah kaki. Nampak kasar namun tidak menyakitkan. Jane tersenyum kecil ketika ia melihat ada beberapa kepiting kecil yang nampak berlarian kembali ke rumah mereka ketika ia melangkah. Air laut pagi itu tidak dingin seperti biasanya. Dalam hati wanita itu bertanya-tanya apakah hari ini sudah memasuki musim panas?Jane tidak tahu, lantaran ia juga tidak pernah mencari tahu tentang seberapa lama ia meninggalkan gemerlap dunia hiburan yang sudah membesarkan namanya. Ketika ingat hal itu, ia merindukan Lucas, pemuda yang tak pernah mengeluh akan pekerjaannya, ia merindukan Thomas, pria tua mata keranjang namun sangat menyayanginya, dan LIlibet, ah wanita itu meskipun baru bertemu dengannya beberapa hari lalu. Ia juga merindukan omelannya. Jane kembali tidak bisa menyembunyik
Jane kebingungan ketika melihat Jasmine yang nampak berantakan dan langsung memasuki kamar ketika datang. Ia tak menyapanya dengan riang seperti biasanya. Membuatnya enggan mengatakan apa yang ingin disampaikan terkait dengan surat yang didapat dari Lukas. Ujung matanya melirik pada pria yang juga sama berantakannya, tengah menggelepar bak ikan kekurangan air di daratan di atas sofa ruang tamu. Jeremy yang biasanya rapi, hari ini juga terlihat kacau.“Kalian bertengkar?”Pria itu terlonjak, matanya membulat, dan bahunya menegang. Namun ketika menemukan tatapan bingung Jane ia memilih memperbaiki posisi duduknya dan mengalihkan pandangan ke arah kamar Jasmine yang tertutup. Telapak tangannya yang lebar meraup wajahnya dan mengeram rendah.Dahi Jane mengerut ketika di tengah kebingungannya ia menemukan sesuatu yang janggal. Beberapa bekas keunguan nampak terlihat jelas ada di leher pria itu, kulitnya yang memang putih membuatnya nampak sekali bahkan meskipun mengenakan jaket akan percu
“Kau mungkin bisa berdoa agar Tuhan mengasihimu dan mengeluarkan kamu dari sini.”“Aku tidak percaya pada Tuhan.”Percakapan itu Jane lakukan ketika usianya menginjak lima belas tahun dan itu tahun ketiganya di rumah bordil. Benar, orang tuanya menjualnya ke tempat setan dan ia sudah beberapa kali berganti tempat. Setiap malam sesuai jadwal, ia akan menjadi salah satu penghibur—yang tidak terlalu diminati. Mungkin karena keadaan fisiknya yang lemah, entahlah. Jane diam-diam cukup bersyukur akan hal itu. Namun, dibalik kegelapan itu. Ia bertemu dengan Angel, bukan nama asli, pun dirinya juga tidak memakai nama asli. Orang-orang sering memanggil dirinya blue. Angel, cukup berdedikasi padanya. Wanita yang memiliki renang umur jauh diatasnya itu mengajari Jane cara berbicara bak orang normal dan ternyata berhasil meskipun membutuhkan waktu hampir setengah tahun.Sebenarnya Angel melakukan itu bukan secara sukarela, wanita itu dibayar bos mereka untuk membantu Jane bisa berbicara setela
Masih pada pemandangan yang sama sejak beberapa menit lalu. Niat yang Jane buat untuk kembali sudah perempuan itu utarakan pada Jasmine. Namun kawannya itu menolak. Alasannya jelas, ia masih ingin bersama dengan kekasih barunya, Jeremy, lebih lama. Sempat Jane katakan untuk dirinya pulang duluan ke kota dan Jasmine bisa kembali kapanpun ia mau. Namun wanita itu menolak dan mengatakan akan membenci Jane seumur hidupnya jika ia meninggalkannya sendirian di tempat itu. Jane menghela nafas entah untuk yang keberapa, menyibak rambutnya yang mulai semakin panjang dan tanpa sadar ia juga melihat kakinya yang akhir-akhir ini jarang belum mendapatkan perawatan maksimal. Tapi, bukan itu yang penting sesungguhnya. Jane hanya ingin segera kembali dan memilih untuk menyelesaikan masalah yang kemungkinan akan ditimbulkan orang tuanya. Bukan bermaksud buruk, namun sudah tahu jika orang tuanya kemungkinan akan berbuat sesuatu yang di luar dugaan sampai ia mau menemui mereka yang bahkan dirinya se
Banguan tidur dengan kepala bak dihantam batu sungguh membuat Jane ingin mengumpat. Ini mungkin bukan pagi terburuknya, namun kemudian terasa seperti mimpi buruk ketika ia terbangun di kasur yang bukan miliknya dan ruangan asing yang entah milik siapa. Pandangannya memburam ketika rasa sakit kepala tak kunjung mereda ditambah ketika ia tengah berusaha untuk mengingat apa yang terjadi tadi malam. Minum di kafe dengan Vincent-Kemudian?Kapala Jane miring ke kanan, dengan dahi mengkerut ketika ia ingin menemukan secuil ingatan lain dan ketika ada sebuah ingatan yang teringat matanya membola. Ci—ciuman?Lalu setelahnya ia tak menemukan ingatan apapun. "Kau sudah bangun?”Jane tersentak, reflek menoleh pada pria yang berdiri di ujung ruangan, tubuhnya yang putih terlihat bercahaya lantaran terkena sinar matahari dari jendela. Vincent tak memakai atasan dan hanya memakai celana tidur panjang. Namun bukan itu yang menarik perhatian. Ketika Jane menunduk, ia kembali tersentak saat sadar
“Akhir-akhir ini sepertinya aku tidak merasakan gangguan tidur seperti sebelumnya,” ucap Jane tiba-tiba ketika mereka sampai di pantai yang Vincent rencanakan sebelumnya. Pria itu dengan sengaja meliburkan kafenya demi membawa Jane ke pantai yang jaraknya lumayan jauh dari pantai tempat Jane bermukim. Pantai itu sangat indah dengan pemandangan alami yang belum tersentuh dengan tangan usil manusia. Suasanana masih sangat alami dan sejauh mata memandang, sampah yang ada tak lebih hanyalah pelepah kelapa yang ada di area pinggir pantai. Berbeda jika berada di kawasan penginapan, pantai itu tidak tercium garam ataupun pengasinan ikan seperti yang Jane selalu tau ketika lewat di beberapa pos khusus untuk usaha garam dan ikan asin warga lokal. Ujung kaki Jane mengeruk pasir berwarna merah muda pelan, menimbulkan sensasi geli. Kemungkinan itu terjadi lantaran jumlah alga di lautan dan terbawa hingga tepi pantai membuat psir yang semula putih berubah warna. Kata Vincent ketika laut pasang,
Jane mengerjapkan matanya. Remang. Ughh Kepalanya menengadah, menatap sekitar dengan rasa sakit yang dirasakan di tubuhnya juga pusing yang mendera. Jelas itu bukan penginapannya. Namun kemudian pandangannya mengedar dan langsung melotot lantaran di sekelilingnya terdapat benda-benda yang sungguh tak ingin ia lihat. Srekk Srekk Bruk Tubuh Jane membentur tembok, matanya masih memperhatikan beberapa alat penyiksaan yang digunakan klub malam tempat ia pernah bekerja, seperti cambuk, balik kayu, dan beberapa alat sex yang sungguh tak pernah lagi ia ingin lihat lantaran ketakutannya. “Siapa yang melakukan ini,” bisiknya pada diri sendiri. Ia mengalihkan perhatian mencari pintu keluar dan ketika keberadaan pintu tertangkap indra penglihatan. Pintu tersebut terbuka dari luar. Menampilkan dua orang dengan pakain tertutup. “Siapa kalian?” tayanya Bukannya menjawab dua pria itu malah mendekat padanya, kepanikan Jane semakin menjadi-jadi ketika dengan kasar pria salah satunya menarik
Gerimis membuat pagi itu lebih mengerikan untuk semua orang yang ada di ruangan itu. Vincent tak bisa melakukan apapun ketika tubuh Jane ditarik paksa oleh Jasmine setelah ia membawa Jane yang tengah tak sadarkan diri kembali ke penginapan. Wanita itu membawa tubuh lemas kawannya pada pelukan erat serta air mata yang tak bisa ia bendung. Ia tak menyangka jika hal yang tak pernah dirinya duga akan terjadi pada Jane. Wanita kuat namun menyimpan banyak trauma. Semalaman wanita itu menghilang, membuat Jasmine hampir menghubungi polisi jika saja kekasihnya tidak mencegahnya, jarak kantor polisi di daerah itu sangat jauh dan lagi belum tentu laporan tersebut akan segera diproses karena Jane belum ada dua puluh empat jam menghilang. Mereka terus mencari Jane di area pantai, sayangnya hingga pagi menjelang wanita itu tidak bisa mereka temukan di manapun. Hingga kemudian ketika pagi menjelang, dua orang nelayan datang ke penginapan dan memberitahukan jika Jane mereka temukan di sebuah ru