Bunyi hentakan sepatu heels di atas lantai marmer itu terdengar menggema memenuhi koridor hotel. Hari ini Adeline sudah memiliki janji dengan seorang client besar yang akan berinvestasi di perusahaan keluarganya. Pertemuan penting yang akan menjadi penentu keberhasilannya dalam mengembalikan kejayaan perusahaan yang sedang diambang kehancuran akibat sang mantan.
Pria itu ... pria yang sangat dia cintai. Dia sangat memercayai bahkan sampai rela memberikan harta yang paling berharga.
Namun, sekarang Adeline harus berjuang dari bawah untuk mengambil semua haknya. Dan dia yakin bahwa dia pasti bisa membuat pria itu merasakan hal yang telah dia rasakan. Harus!
Adeline tidak akan pernah melupakan hari-hari yang kelam itu. Kematian sang ayah dan runtuhnya KRW Grup serta diceraikan oleh suami yang sudah berkhianat. Dia bertekad harus menjadi lebih kuat supaya tidak akan ada orang yang berani menipunya lagi.
Di depan pintu kamar hotel, sudah ada beberapa pria bertubuh besar yang seakan sedang menunggunya.
"Halo, saya Adeline Rothwell dari KRW Grup. Saya ada janji dengan Tuan Kane CEO Kane Global," ucap Adeline pada seorang pria yang datang mendekatinya.
Pria itu tersenyum samar dan mengangguk singkat. Kemudian mempersilakan Adeline masuk dan duduk di ruang tamu.
Ada yang berbeda dari meetingnya kali ini. Jika biasanya hanya akan dilaksanakan di ruang meeting atau ruang private di restaurant langganannya, untuk meeting kali ini dilaksanakan di sebuah kamar hotel yang bahkan bukan dalam naungan KRW Grup.
Awalnya Adeline tentu saja menolak. Dia takut jika client yang baru dikenal ini memiliki niat jahat. Namun, asisten mendiang sang ayah yang saat ini menjadi asisten pribadinya, memastikan bahwa orang ini memiliki latar belakang yang baik dan tidak akan membahayakan dirinya.
Dan di sinilah dia. Duduk di sebuah ruang tamu kamar hotel yang sama sekali belum pernah dia masuki. Beberapa pertemuan penting perusahaan memang diadakan di hotel ini. Namun, hanya sampai restaurant dan tidak sampai masuk ke dalam kamar. Itupun sebelum Adeline aktif bekerja di perusahaan.
Usianya masih sangat muda dan bahkan belum lulus kuliah. Namun, Adeline bertekad harus berjuang demi mengembalikan kejayaan perusahaan mendiang sang ayah.
Terdengar irama langkah kaki di telinga Adeline. Tak lama nampak sosok seorang pria berpakaian rapi dengan jas dan dasi. Sebagai bentuk hormat, Adeline bangkit dan tersenyum. Ini adalah kali pertama dia merasakan aura lain seiring dengan kedatangan pria itu. Adeline memang tidak pernah mengenalnya. Namun, dia merasa bahwa pria itu memiliki kekuasaan dan sudah pasti bisa menolongnya.
“Ekhem …,” Adeline berdeham untuk menyembunyikan kegugupan. “Se-selamat pagi, Tuan Kane. Saya Adeline Rothwell, CEO KRW Grup,” Adeline menyapa. Sebisa mungkin ia bersikap tenang, namun sepertinya pria itu menyadari bahwa Adeline gugup.
“Apa kamu yakin, kamu adalah CEO KRW Grup?” tanya pria itu dengan sinis.
“Iya, saya—”
“Kamu yakin, kamu adalah seorang CEO? Sikapmu sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang CEO!”
Pria itu berjalan menuju sofa single dan duduk di sana. Kemudian mengangkat kepala angkuh dan menatap Adeline lekat. “Duduk!” perintahnya.
Meski ia sadar bahwa pria itu tidak memiliki hak untuk menyuruhnya. Status mereka adalah calon rekan kerja, bukan calon atasan dan bawahan. Namun, entah kenapa Adeline malah menuruti pria itu dan duduk sesuai yang diperintahkan.
“Apa dia benar-benar CEO KRW Grup?” tanya pria itu pada seorang pria lain yang berdiri di sampingnya. Adeline yakin bahwa pria yang berdiri itu adalah bawahannya.
Pria itu mengambil sebuah map yang diberikan bawahannya kemudian membaca isinya. Tersenyum sinis kemudian kembali melihat Adeline yang sudah berkeringat dingin.
“Kamu adalah Adeline Rothwell berusia 22 tahun. CEO yang baru saja menjabat selama setengah tahun. Kuliah di jurusan perhotelan dan bahkan belum lulus.” Pria itu menutup kembali map tersebut dan menaruhnya dengan kasar di atas meja. Menatap Valerie dengan serius dan seakan mengejeknya. “Bagaimana bisa KRW Grup memiliki CEO sepertimu?”
Adeline menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia harus bisa sabar menghadapi pria itu. Dia harus bisa membuktikan bahwa ia layak menduduki posisi CEO meski usianya masih muda dan minim pengalaman.
“Maaf jika mengecewakan Anda, Tuan Kane. Tapi saya memang Adeline Rotwell. Meski baru menjabat posisi CEO selama setengah tahun, tapi saya menjamin bahwa hal itu sama sekali tidak akan memengaruhi pekerjaan saya. Saya bisa membuktikan pada Anda bahwa KRW Grup tidak akan mengecewakan Anda. Saya menjamin dana yang akan Anda investasikan ke perusahaan kami akan mencapai profit yang diinginkan dan akan lebih dari yang kita targetkan.”
Terdengar sangat meyakinkan meski dalam hati, Adeline sudah sangat ketakutan. Dia khawatir jika pria itu tidak jadi menginvestasikan dana di perusahaannya karena latar belakangnya.
Adeline ingat saat dia berusaha meyakin para pemegang saham saat awal dia menjabat, itu merupakan hal tersulit namun akhirnya dia berhasil meyakinkan mereka. Tentu saja dengan batas waktu yang ditentukan. Sekarang Tuan Kane juga merasakan hal yang sama, dia yakin pasti dia juga bisa meyakinkannya.
“Hahaha ….”
Suara tawa pria itu terdengar sangat kencang dan memenuhi isi ruangan membuat Adeline tersinggung. Namun, ia tidak boleh marah yang berakibat gagalnya rencana kerja sama mereka.
Setelah tawa pria itu mereda, dengan tenang dan tetap tersenyum, Adeline memberikan sebuah map yang sudah disiapkan. Ia sudah menyiapkan berkas-berkas untuk membuat Tuan Kane yakin dengan perusahaannya.
Adeline mulai berbicara dan mempresentasikan isi di dalamnya. Ia menerangkan dengan jelas supaya pria di depannya paham dan yakin dengan perusahaannya.
“Ada yang ingin Anda tanyakan, Tuan Kane?” tanya Adeline.
Pria itu tersenyum samar. Ia menutup berkas tersebut dan menaruh di atas meja. Duduk bersandar tanpa melepaskan tatapan dari wajah Adeline.
“Sudah berapa banyak investor yang berhasil kamu dapatkan?”
Lidah Adeline mendadak kelu. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan mudah yang pria itu lontarkan.
Sejak dia menjabat sebagai CEO menggantikan mendiang sang ayah, belum ada satupun investor yang berhasil Valerie yakinkan untuk menyuntikkan dananya di perusahaan KRW Grup. Rata-rata menolak karena usia Adeline yang masih muda ditambah dengan minimnya pengalaman bekerja. Selebihnya menganggap bahwa KRW Grup sama sekali tidak memiliki harapan untuk kembali bersinar.
“Melihat kamu hanya diam saja, aku yakin tidak ada satupun orang yang berhasil kamu yakinkan untuk berinvestasi di perusahaanmu,” ucap pria itu seakan tahu. Ia tersenyum ketika mengetahui tebakannya benar. “Jika perusahaan-perusahaan itu tidak berani berinvestasi di KRW Grup, apalagi dengan Kane Global?” ucapnya menyombong.
“Tuan Kane, saya yakin tidak akan mengecewakan Anda. Perusahaan kami akan bekerja dengan keras supaya kedua perusahaan tidak akan merugi,” ucap Valerie dengan penuh keyakinan.
“Apa jaminannya?” tanya pria itu membuat Adeline kembali terdiam. “Jaminan apa yang bisa kamu berikan jika aku mau memberikan uangku?”
Adeline menundukkan kepala. Dia tidak tahu akan sesulit ini meyakinkan Tuan Kane untuk berinvestasi di perusahaannya. Tapi dia tidak boleh menyerah. Kane Global adalah satu-satunya harapan yang dia miliki. Jika di sini ia tidak memiliki peluang, maka Adeline sudah tidak tahu harus pergi kemana. Dia tidak boleh membuat kerja keras mendiang sang ayah terbuang percuma.
Valerie mengangkat kepala dengan yakin. Ia memaksa senyum walau dalam hati sudah ingin menangis. “Apa saja yang Anda inginkan. Saya pasti tidak akan mengecewakan Anda,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
“Apa saja?” Pria itu mengulangi ucapan Adeline.
“Iya, Tuan.” Adeline mengangguk yakin.
“Menikahlah denganku.”
Deg!
Adeline terbelalak mendengar perkataan pria itu. Sekelilingnya bagai redup seakan tanpa penerangan lampu. Rasanya hampir sama seperti ketika ia mendengar kabar sang ayah sudah tiada. Dalam kegugupan dan kebingungan, Adeline tetap bersikap tenang dan tidak gegabah.
“Sepertinya Anda salah bicara Tuan—”
“Saya sama sekali tidak salah bicara. Saya sadar dengan ucapan saya.” Leonard bangkit dan hendak pergi dari sana tanpa kejelasan mengenai kerja sama kedua perusahaan. Ketika tubuhnya hendak menghilang dari balik pintu kamar hotel, ia berbalik dan melihat Adeline yang menunduk kepala. “Tidak perlu terburu-buru Nona Rothwell. Saya akan memberikan waktu 24 jam supaya Anda bisa memutuskan.”
Bersambung~~
Perkataan yang diucapkan Arasy membuat Adeline membuka mulut karena tercengang dengan permintaan wanita itu. Sesaat hanya ada ketegangan di ruangan itu. Hingga akhirnya Arasy tertawa membuat Adeline menjadi bingung.“Hahaha … apa kalian serius menganggapku sejahat itu?” tanya Arasy di sela tawanya.Meski bingung, Adeline tetap merasa bahwa dia harus merespon ucapan wanita itu. Namun, yang terjadi dia hanya tersenyum dengan sangat terpaksa.Arasy tersenyum pada Leo dan Adeline. Dia lalu menggenggam tangan Adeline dan melihatnya dengan sedih.“Adeline, aku ingin meminta maaf karena sudah membuatmu terluka. Aku minta maaf karena sudah mengajakmu berkelahi. Aku tahu apa yang kulakukan salah, tapi aku sangat mengharapkan maaf darimu.”Mendengar hal itu tentu saja membuat Adeline terkejut. Dia seperti mengalami senam jantung dalam sehari ini.“Adeline? Apa kamu memaafkanku?” tanya Arasy membuat Adeline tersadar dari lamunannya.Adeline memandangnya bingung. Menatap wanita itu, mencari tahu
Adeline merasakan sakit di kepalanya akibat tarikan Arasy pada rambutnya yang sangat kencang. Dia juga merasa lengan dan hampir seluruh tubuhnya kesakitan. Tanpa melihat pun, dia tau bahwa ada luka lebam di tubuhnya.Adeline menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia melihat langit-langit ruang IGÐ rumah sakit itu dengan pikiran yang berkecamuk."Seharusnya aku tidak terpancing!""Benar! Seharusnya kamu tidak terpancing!"Adeline menolehkan kepalanya ke asal suara itu. Nampak Alexander berjalan ke arahnya dengan tatapan penuh ketidaksukaan."Ayah?" Adeline bangun hendak turun dari ranjang rumah sakit itu.Namun, gerakannya terhenti karena Alexander mengangkat tangan. Membuat Adeline menunduk ketakutan."Kamu itu istri dari Leo Alaric Kane. Apa kamu sadar akan hal itu?" Alexander memandangnya sinis."Iya, Ayah. Saya sadar akan hal itu." Adeline semakin menundukkan kepala. Dia sangat takut dengan kemarahan sang ayah mertua. "Saya mohon maaf karena sudah membuat kecewa. Say
Adeline terbangun dengan kondisi Leo yang sudah tidak ada di kamar. Dia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia teringat dengan ucapan pria itu yang sudah mulai bekerja hari ini.Adeline lalu bangun dan langsung membersihkan diri. Hari ini dia tidak memiliki janji untuk keluar rumah. Mungkin dia akan memutuskan untuk bekerja dari rumah seperti kemarin.Sebelum mandi, Adeline mengecek ponselnya dan terlihat sebuah pesan yang Leo kirimkan untuknya. Dia tersenyum ketika melihat pesan itu. Pesan yang berisi kata-kata manis dan sebuah perintah untuknya mandi dan sarapan.Setelah membalas isi pesan tersebut, barulah dia berjalan menuju kamar mandi dan bersiap-siap. Adeline lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan untuk sarapan."Sudah bangun, Nak?" tanya Camila ketika mengambil buah dari dalam lemari es."Sudah, Ibu," jawab Adeline. Dia mengambil dua lembar roti gandum dan mengoleskannya dengan selai kacang
Leo sudah merayu Adeline untuk tidur bersama di ranjang. Namun, istrinya itu tetap bersikeras supaya dia tidur di sofa. Alhasil Leo hanya bisa pasrah dan menerima keadaan bahwa dia harus mengalah."Aku belum tidur bersamamu tapi malah disuruh untuk tidur di sofa," gerutunya ketika merasa Adeline sudah tertidur pulas."Aku mendengarmu!" sahut Adeline dengan kedua mata terpejam.Mendengar itu membuat Leo semakin takut. Khawatir Adeline akan semakin marah padanya.Lampu kamar sudah dimatikan. Leo yang tidur di sofa juga sudah memejamkan kedua matanya. Adeline bangun karena dia belum ingin tertidur.Sebenarnya tidak bisa sepenuhnya salah Leo. Pria itu hanya ingin menghibur dengan caranya. Namun, ternyata malah membuat Adeline kesal.Adeline menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia bangun dari ranjang dan berjalan menuju sofa. Dia hanya bisa melihat wajah sang suami dengan samar karena saat ini penerangan hanya dari lampu tidur di samping tempat tidur.Adeline berlutut di d
BAB 104 SUDAH CINTA"Alex!" Camila memandang Adeline dengan senyum. Dia memegang kedua tangan sang menantu kemudian berkata, "Ayo, kita makan.""Siapa yang mengizinkan kamu untuk makan?" Kali ini Alexander berbicara pada Camila, sang istri.Camila menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia memejamkan kedua mata sebelum akhirnya berbalik dan menatap sang suami dengan penuh kekesalan."Saya akan makan dengan atau tanpa persetujuan darimu!" seru Camila setelah itu beralih pada Adeline dan pergi meninggalkan suaminya.Adeline melihat sang ibu mertua yang berjalan menuju ruang makan seraya menggenggam tangannya. Seketika dia merasakan hatinya menghangat karena diperlakukan sampai seperti ini.Namun, dia juga merasa sedih karena melihat orang tua suaminya harus bertengkar karena dirinya."Ibu," panggil Adeline."Iya, Sayang," Camila menjawab panggilan sang anak namun dia tetap berjalan menuju ruang makan."Apa Ibu tidak apa-apa?" tanya Adeline khawatir.Camila menghentikan lan
Leo sangat panik saat ini. Dia takut Jika Adeline pergi meninggalkannya karena mendengar kalimat yang diucapkan sang ayah.Leo menuruni anak tangga dengan terus mencoba untuk memanggil ponsel sang istri."Adeline, kamu di mana?" tanyanya bermonolog.Leo sudah menelpon sang istri berkali-kali namun panggilan itu selalu tak tersambung. Operator telepon selalu menyebut bahwa nomor ponsel Adeline sedang berada di luar jangkauan."Adeline, kumohon ...!" Leo benar-benar berharap bahwa dia bisa bertemu dengan sang istri.Ketika dia sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti karena sang ibu memanggil"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Leo. Ekspresi wajahnya yang panik membuat sang ibu terheran."Kamu ingin kemana?" tanya Camila."Mencari Adeline, Ma." Leo mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celananya. Sedangkan pandangannya masih tertuju pada layar ponsel."Mencari Adeline kemana? Kenapa kamu sampai mengeluarkan kunci mobil?" tanya Camila semakin heran dengan sikap sang anak."Karena Adeline tidak