Hampir dua minggu.
Sudah dua minggu sejak ia menyandang status "istri", tapi satu sentuhan pun belum pernah diterima. Bukan karena Sukma jual mahal. Justru sebaliknya—ia sudah mencoba segala cara agar terlihat lebih… istriable.
Tapi Fikri? Masih sama. Dingin. Jaga jarak. Bahkan makin hari, makin seperti sedang menghindar.
Pagi itu, Sukma menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur dadar, tumis buncis, dan teh hangat. Ia sengaja bangun lebih pagi, berharap bisa duduk makan bersama Fikri—meski hanya sepuluh menit.
Tapi saat ia meletakkan piring di meja makan, pintu kamar Fikri terbuka, dan pria itu keluar dengan setelan kerja lengkap, rambut sudah disisir, jam tangan sudah melingkar.
"Aku buru-buru, ada rapat jam delapan," katanya cepat sambil mengambil jas.
Sukma refleks membuka mulut. “Tapi... aku udah—”
"Aku udah pesan kopi di kantor,” potong Fikri datar. Lalu pergi.
Pintu tertutup. Sunyi. Dan telur dadar itu terasa seperti hiasan di museum—tak tersentuh, tak berguna.
Sukma menatap piring itu. Lalu meja. Lalu dirinya sendiri. Lalu mendadak berdiri, mengambil sendok, dan... prang! Ia menghantamkan sendok itu ke piring sampai telur dadar itu hancur tak beraturan.
Kalau bukan karena air matanya masih malu keluar, mungkin dia sudah menjerit dari tadi.
Di kantor, Chintya sudah menunggu di meja kerja mereka. Penuh semangat seperti biasa, dengan puding cup di tangan dan cerita baru yang selalu absurd.
“Ma! Jadi tuh ya, aku kemarin ketemu mantan aku waktu SMA. Gila! Dia masih pake sepatu robek, padahal udah kerja! Aku sampai bilang, ‘Eh bro, karyawan atau korban PHK?—”
“Bisa gak diem dulu lima menit aja?” potong Sukma tiba-tiba.
Chintya membeku. Pudingnya masih tergantung di udara. Matanya melebar.
Sukma menunduk, pura-pura sibuk mengetik. Tapi wajahnya memerah karena kesal dan malu sendiri.
“O-oke... noted,” gumam Chintya pelan, lalu bergeser perlahan ke meja lain, pura-pura mau isi air.
Bagus. Sekarang kamu nyolot sama orang yang paling perhatian sama kamu, Sukma mencaci dirinya dalam hati.
Saat jam istirahat, Sukma membeli nasi padang di kantin. Saat menerima pesanan, tukang warung salah kasih menu.
“Mas, saya pesan ayam bakar, bukan gulai!” keluh Sukma.
“Oh, iya, Mbak. Maaf, saya ambilin yang baru ya…”
“Udah lama saya nunggu. Sekarang salah pula.”
“Maaf, Mbak—”
“Ayam sama gulai itu beda, Mas! Masa pesanan segitu aja gak bisa hafal?”
Beberapa orang di kantin menoleh.
Si Mas penjual hanya bisa cengar-cengir kaku sambil buru-buru mengganti menu. Sukma mengambil makanannya tanpa bicara lagi, lalu pergi cepat.
Di meja makan, ia menunduk. Suap demi suap masuk mulut tanpa rasa. Di sela-sela gumpalan nasi dan kuah kental, dadanya terasa makin berat. Kenapa aku kayak orang gila hari ini? pikirnya.
Sore itu, Sukma memutuskan pulang lebih cepat dari biasanya. Bukan karena pekerjaan selesai lebih cepat, tapi karena ia merasa jiwanya sudah jebol sejak pagi.
Setelah berganti baju, ia keluar ke taman dekat apartemen. Biasanya, tempat itu jadi spot paling adem buat menyendiri. Anak-anak main, ibu-ibu duduk ngobrol, udara segar dari pepohonan. Tapi hari ini, sepasang kekasih duduk di bangku favoritnya.
Yang cewek bersandar manja. Yang cowok membelai rambut pasangannya sambil bisik-bisik. Entah membicarakan apa, tapi jelas bukan laporan keuangan atau data pemasaran.
Sukma berdiri diam beberapa meter dari mereka. Matanya menatap lurus. Beberapa detik, lalu ia melangkah cepat ke arah pasangan itu.
“Maaf, kalian gak lihat ini taman umum ya?” suaranya cukup keras untuk membuat dua sejoli itu menoleh kaget.
“Eh... iya, kenapa, Mbak?” tanya si cewek.
“Gak semua orang datang ke taman buat nonton film romantis gratis.”
“Mbak... kita cuma duduk, loh.”
“Ya duduk, tapi nyender-nyender segala, belai-belai rambut. Mau romantis, sewa bioskop sekalian!”
Pasangan itu saling tatap. Yang cowok berdiri. “Mbak... kita gak ganggu siapa-siapa. Kalo lagi bad mood, jangan nyalahin orang random.”
“BAD MOOD KEPALA KAU!” bentak Sukma, matanya nyaris berkaca.
Beberapa orang di taman mulai memperhatikan. Seorang bapak-bapak dari bangku seberang menoleh, lalu menggoyangkan kepala sambil berbisik ke anaknya, “Makanya, Nak... jangan pacaran di taman.”
Sukma langsung sadar. Ia berbalik. Langkahnya cepat. Tangannya mengepal. Nafasnya tersendat-sendat.
Begitu sampai di depan apartemen, ia langsung masuk lift dan menunduk—menahan air mata yang akhirnya tak bisa ditahan lagi.
Di dalam kamarnya, Sukma menjatuhkan diri ke atas kasur. Sudah dua minggu. Dan rasanya… seperti tinggal seatap dengan bayangan.
Fikri hanya bicara seperlunya. Tidur tetap di ruang kerja. Tidak pernah menyentuh tangannya. Tidak pernah memanggil namanya tanpa keperluan.
Kenapa dia menikahiku kalau begini caranya? Kalau hanya ingin seseorang untuk jadi istri formal, kenapa tidak sewa aktris? Kalau tidak suka disentuh, kenapa memaksa menikah?
Kalau hanya ingin berkuasa, kenapa merasa segan setiap kali dekat denganku?
Sukma memeluk bantal, menggigit ujungnya. Lalu dalam kepalanya terngiang kalimat Chintya, "Ma, bisa jadi dia belok, trauma, dikutuk, atau... impotennn~”
Sukma membuka mata. Dengan napas tak beraturan, ia berbisik pada dirinya sendiri. “Aku... beneran nikah sama manusia beneran, kan?”
***
BRAK!
Pintu ruang kerja terbuka keras. Sukma melangkah masuk dengan wajah merah padam, napas naik-turun.
Fikri, yang tengah mengetik laporan proyek, sedikit terlonjak. Ia menoleh, tapi seperti biasa—tatapannya tetap tenang, datar, dan nyaris tak tergoyahkan.
“Sukma, aku udah bilang—”
“Kamu kenapa sih?!” Suara Sukma menggelegar. Penuh amarah yang sudah menumpuk selama dua minggu tanpa ventilasi.
Fikri meletakkan tangannya di atas keyboard, menatap Sukma yang kini berdiri di tengah ruangan seperti bom waktu.
“Kenapa kamu nikahin aku? Hah? Mau nunjukkin kekuasaan? Mau main-mainin perasaan orang?!” Napasnya bergetar, matanya mulai berkaca.
Fikri tetap diam. Menunggu. Tapi itu justru menyulut Sukma lebih dalam.
“Dua minggu! Dua minggu aku tidur sendirian! Dua minggu kamu bersikap kayak aku cuma... roommate! Bahkan pembantu mungkin lebih sering diajak ngobrol daripada aku!”
Fikri menarik napas pelan. “Aku pikir kita sudah jelas di awal. Aku hanya butuh—”
“—ISTRI. IYA! Aku tahu!” potong Sukma tajam. “Tapi kamu tahu gak sih, definisi istri itu apa? Bukan sekadar status di data rumah sakit atau surat dompet! Tapi pasangan! Pendamping! Orang yang... ada di sisi kamu, bukan di balik tembok kerja!”
Fikri menutup laptopnya pelan. “Kamu marah karena aku gak nyentuh kamu?”
Sukma tertawa miris. “Ya ampun, akhirnya kamu sadar juga.” Ia melangkah lebih dekat. “Apa kamu... impoten?” Nada suaranya menantang, tapi matanya gemetar.
Fikri menahan alisnya naik.
“Atau... jangan-jangan... kamu belok?”
Fikri menatapnya. Diam. Datar.
“Kenapa?” tantang Sukma lagi. “Gak bisa nyentuh perempuan? Atau aku yang gak cukup cantik buat kamu? Kamu pikir aku gak sakit hati tiap kali kamu kabur dari kamar kayak aku bawa penyakit?”
Beberapa detik sunyi. Lalu Fikri berdiri.
Perlahan. Tegak. Tatapannya berubah. Tidak lagi datar, tapi dalam... dan hangat. Namun bukan hangat yang menenangkan—melainkan hangat yang membakar.
Fikri mendekat selangkah demi selangkah. Sukma, yang awalnya masih marah, mulai kehilangan arah.
“Sukma,” ucapnya pelan. “Aku udah bilang dari awal... aku cuma butuh istri. Status. Penjaga. Diam.”
“Tapi kamu gak bisa... terus-terusan menolak kehadiran aku!” balas Sukma.
Fikri kini tepat di depannya. Wajah mereka hanya terpaut sejengkal. Lalu, tanpa aba-aba, ia mencium Sukma.
Bukan ciuman pelan. Bukan ciuman penuh cinta.
Tapi ciuman yang dalam, bergairah, tajam, dan penuh emosi tertahan—seolah Fikri melepaskan semua ketegangan dan batasan yang selama ini ia pasang.
Sukma membeku. Matanya membulat. Dunia seolah diam—tidak ada suara, tidak ada detik waktu, hanya rasa panas yang menyambar tanpa peringatan.
Lalu Fikri melepaskan ciumannya. Wajahnya masih dekat. Matanya menusuk lurus ke mata Sukma yang kini tak bisa bicara.
“Ini yang kamu mau?” bisiknya.
Lalu… “Atau kamu mau yang lebih?”
Deg. Sukma berdiri kaku. Jantungnya berdetak cepat. Bukan karena cinta. Tapi karena... kaget.
Fikri tersenyum tipis. Senyum penuh kontrol. Lalu ia mundur satu langkah, kembali duduk, dan membuka laptopnya lagi seolah tak terjadi apa-apa.
“Pintu tolong ditutup. Aku harus lanjut kerja.”
Dan dengan itu—Sukma melangkah mundur, menarik napas tak karuan, dan keluar dari ruangan itu… dengan kepala penuh tanda tanya, tubuh yang masih panas, dan hati yang makin kacau
Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu). Maaf karena minggu lalu hanya update sehari saja, sedang sibuk sekali di dunia nyata. Terimakasih dan maafkan.
BRAK!Smartphone itu meluncur dari tangannya dan membentur dinding apartemen dengan suara keras. Benda elektronik mahal itu memantul lalu jatuh ke lantai, bagian layarnya retak, tapi Cheryl tidak peduli.“Dasar brengsek!” umpatnya dengan napas memburu. Matanya merah, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena kepanikan yang mulai menggumpal di dadanya. “Semuanya karena kamu, Fikri! Kalau aja kamu nggak maksa nikah sama aku waktu itu...!”Kakinya menghentak-hentak lantai marmer sambil berjalan mondar-mandir, seperti binatang buas yang terperangkap. Ia mengacak rambut panjangnya, gigi menggertak. Sekujur tubuhnya diliputi rasa frustrasi yang tak tertahankan. Di balik segala kemewahan yang dulu dengan mudah ia genggam, kini ia berdiri di ambang kehancuran.Dia bukan siapa-siapa tanpa dukungan ayahnya. Ia tahu itu.“Aku nggak bisa hidup miskin! Aku nggak mau hidup seperti... seperti orang biasa!” katanya pada diriny
Fikri menyetir mobil dengan penuh tekad, melajukan mobilnya ke jalur sepi dan sampailah di sebuah rumah yang lebih mirip disebut istana. Fikri masuk, pelayan mempersilahkan. Ia langsung menuju ruang kerja ayahnya.Ruangan kerja itu masih sama seperti terakhir kali Fikri menginjakkan kaki di dalamnya. Besar, dingin, dan penuh aura kekuasaan. Aroma kayu mahal berpadu dengan wangi kopi hitam yang dibiarkan dingin di atas meja, menciptakan suasana formal yang terasa menekan.Fikri berdiri tegak di hadapan ayahnya—Saif Pradina Makarim—yang tengah duduk dengan ekspresi gelap di balik meja kayu jatinya. Di usia enam puluh lebih, pria itu masih menyimpan aura dominan yang mampu melumpuhkan mental siapa pun.Tapi hari ini, Fikri datang bukan sebagai anak yang tunduk, melainkan sebagai pria yang telah menetapkan hatinya."Aku akan menceraikan Cheryl." Suara Fikri tegas, nyaris tanpa jeda.Saif meletakkan cangkir kopinya dengan bunyi yang cukup ke
Sukma berdiri di depan meja makan, tengah menata piring dan sendok, sementara suara kunci pintu diputar terdengar dari arah pintu utama. Tak lama, Fikri masuk dengan langkah tenang. Jasnya sudah ia buka dan digantung di lengannya, dasi dilonggarkan, dan lengan kemejanya digulung hingga siku.Sukma menoleh. “Akhirnya pulang juga, aku kira kamu lembur,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Langsung cuci tangan ya, aku udah masak.”Fikri tersenyum, matanya sedikit redup karena kelelahan. Namun begitu melihat Sukma, seolah ada cahaya baru yang menyala. “Iya, tadi ada urusan sebentar jadi pulangnya agak larut.” Ia berjalan ke arah Sukma dan mengecup pelipisnya sekilas. “Maaf ya, dan makasih.”Sukma hanya tersenyum kecil, menunduk. Meski sudah menikah, setiap gestur Fikri masih bisa membuatnya canggung sesaat.Tak lama kemudian, mereka duduk berdua di meja makan. Fikri mencicipi sup jagung buatan Sukma. “Hmm&hel
“Kalau kamu tetap ingin menceraikan Cheryl, kamu akan kehilangan semuanya… dan wanita itu pun akan ikut hancur.”Fikri menarik napas panjang, perkataan ayahnya masih terngiang di kepalanya. Bisa saja ia meninggalkan segalanya—nama Pradina, jabatan, harta, semua. Ia bukan anak kecil yang takut hidup dari nol. Tapi… bagaimana dengan Sukma?Wanita itu bahkan tak tahu bahwa kini hidupnya tengah digenggam dalam permainan kekuasaan dua keluarga kaya. Dia hanya mencintai Fikri dengan jujur. Dan Fikri… tidak sanggup membayangkan jika ayahnya menyentuh hidup Sukma hanya demi sebuah peringatan.“Ayah bilang aku punya pilihan…” gumamnya pelan. “Tapi kenapa aku tahu itu bukan pilihan sebenarnya?”Ia bangkit dari kursi, berjalan pelan menuju jendela besar yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi Jakarta. Tangannya mengepal. Dalam bisnis, siapa yang tak tergantikan… akan tetap bertahan, apapun
Bunyi keyboard di ruangan kantor terdengar konstan, beradu dengan derik jarum jam yang menggantung tepat di atas papan whiteboard. Ruangan itu cukup ramai, tapi hanya satu suara yang terus mendominasi—suara Chintya, dengan cerita panjang lebarnya tentang film thriller yang ia tonton tadi malam.“Dan kamu tahu kan, si cowok itu ternyata bukan korban, tapi pelaku utama yang menyamar! Bayangin dong, dari awal kelihatan polos, eh ternyata dia dalangnya! Gila nggak sih twist-nya?”Chintya terkekeh sendiri, menikmati cerita yang ia ulang berkali-kali dengan penuh semangat. Tapi di meja seberangnya, Sukma duduk dengan pandangan kosong ke layar monitor.Jari-jarinya diam di atas keyboard, tak mengetik apa-apa. Matanya pun tidak membaca apa yang ada di layar. Sejak pagi, pikirannya melayang entah ke mana.'Fikri kenapa, ya? Apa dia dalam masalah?’Pikiran-pikiran itu terus menghantuinya sejak Fikri keluar tanpa penjelasan. Meskipun F
Pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Lampu-lampu kota Jakarta masih menyala terang, membentuk pemandangan bintang buatan dari jendela lantai dua puluh apartemen. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air yang merambat turun dari kaca.Fikri memasukkan kode akses apartemennya dengan pelan. Pintu terbuka tanpa suara. Ia melangkah masuk hati-hati, sengaja tidak menyalakan lampu utama. Hanya cahaya dari lampu lantai dekat pojok ruangan yang menyala redup, cukup untuk membantunya melepas sepatu tanpa tersandung.Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok seseorang di sofa. Duduk bersila dengan selimut menyelimuti bahu, rambutnya dikuncir asal, dan di pangkuannya ada sebuah buku yang terbuka.Sukma. Wanita itu menoleh perlahan, matanya langsung menangkap wajah suaminya yang terkejut.“Kamu belum tidur?” Fikri membuka suara, pelan.Sukma menutup bukunya, lalu berdiri. “Aku nungguin kamu.”“Kamu nunggu