Home / Rumah Tangga / Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang / BAB 8: Istri yang tak dianggap dan ciuman pertama

Share

BAB 8: Istri yang tak dianggap dan ciuman pertama

Author: Narubi
last update Last Updated: 2022-10-10 10:06:47

Hampir dua minggu.

Sudah dua minggu sejak ia menyandang status "istri", tapi satu sentuhan pun belum pernah diterima. Bukan karena Sukma jual mahal. Justru sebaliknya—ia sudah mencoba segala cara agar terlihat lebih… istriable.

Tapi Fikri? Masih sama. Dingin. Jaga jarak. Bahkan makin hari, makin seperti sedang menghindar.

Pagi itu, Sukma menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur dadar, tumis buncis, dan teh hangat. Ia sengaja bangun lebih pagi, berharap bisa duduk makan bersama Fikri—meski hanya sepuluh menit.

Tapi saat ia meletakkan piring di meja makan, pintu kamar Fikri terbuka, dan pria itu keluar dengan setelan kerja lengkap, rambut sudah disisir, jam tangan sudah melingkar.

"Aku buru-buru, ada rapat jam delapan," katanya cepat sambil mengambil jas.

Sukma refleks membuka mulut. “Tapi... aku udah—”

"Aku udah pesan kopi di kantor,” potong Fikri datar. Lalu pergi.

Pintu tertutup. Sunyi. Dan telur dadar itu terasa seperti hiasan di museum—tak tersentuh, tak berguna.

Sukma menatap piring itu. Lalu meja. Lalu dirinya sendiri. Lalu mendadak berdiri, mengambil sendok, dan... prang! Ia menghantamkan sendok itu ke piring sampai telur dadar itu hancur tak beraturan.

Kalau bukan karena air matanya masih malu keluar, mungkin dia sudah menjerit dari tadi.

Di kantor, Chintya sudah menunggu di meja kerja mereka. Penuh semangat seperti biasa, dengan puding cup di tangan dan cerita baru yang selalu absurd.

“Ma! Jadi tuh ya, aku kemarin ketemu mantan aku waktu SMA. Gila! Dia masih pake sepatu robek, padahal udah kerja! Aku sampai bilang, ‘Eh bro, karyawan atau korban PHK?—”

“Bisa gak diem dulu lima menit aja?” potong Sukma tiba-tiba.

Chintya membeku. Pudingnya masih tergantung di udara. Matanya melebar.

Sukma menunduk, pura-pura sibuk mengetik. Tapi wajahnya memerah karena kesal dan malu sendiri.

“O-oke... noted,” gumam Chintya pelan, lalu bergeser perlahan ke meja lain, pura-pura mau isi air.

Bagus. Sekarang kamu nyolot sama orang yang paling perhatian sama kamu, Sukma mencaci dirinya dalam hati.

Saat jam istirahat, Sukma membeli nasi padang di kantin. Saat menerima pesanan, tukang warung salah kasih menu.

“Mas, saya pesan ayam bakar, bukan gulai!” keluh Sukma.

“Oh, iya, Mbak. Maaf, saya ambilin yang baru ya…”

“Udah lama saya nunggu. Sekarang salah pula.”

“Maaf, Mbak—”

“Ayam sama gulai itu beda, Mas! Masa pesanan segitu aja gak bisa hafal?”

Beberapa orang di kantin menoleh.

Si Mas penjual hanya bisa cengar-cengir kaku sambil buru-buru mengganti menu. Sukma mengambil makanannya tanpa bicara lagi, lalu pergi cepat.

Di meja makan, ia menunduk. Suap demi suap masuk mulut tanpa rasa. Di sela-sela gumpalan nasi dan kuah kental, dadanya terasa makin berat. Kenapa aku kayak orang gila hari ini? pikirnya.

Sore itu, Sukma memutuskan pulang lebih cepat dari biasanya. Bukan karena pekerjaan selesai lebih cepat, tapi karena ia merasa jiwanya sudah jebol sejak pagi.

Setelah berganti baju, ia keluar ke taman dekat apartemen. Biasanya, tempat itu jadi spot paling adem buat menyendiri. Anak-anak main, ibu-ibu duduk ngobrol, udara segar dari pepohonan. Tapi hari ini, sepasang kekasih duduk di bangku favoritnya.

Yang cewek bersandar manja. Yang cowok membelai rambut pasangannya sambil bisik-bisik. Entah membicarakan apa, tapi jelas bukan laporan keuangan atau data pemasaran.

Sukma berdiri diam beberapa meter dari mereka. Matanya menatap lurus. Beberapa detik, lalu ia melangkah cepat ke arah pasangan itu.

“Maaf, kalian gak lihat ini taman umum ya?” suaranya cukup keras untuk membuat dua sejoli itu menoleh kaget.

“Eh... iya, kenapa, Mbak?” tanya si cewek.

“Gak semua orang datang ke taman buat nonton film romantis gratis.”

“Mbak... kita cuma duduk, loh.”

“Ya duduk, tapi nyender-nyender segala, belai-belai rambut. Mau romantis, sewa bioskop sekalian!”

Pasangan itu saling tatap. Yang cowok berdiri. “Mbak... kita gak ganggu siapa-siapa. Kalo lagi bad mood, jangan nyalahin orang random.”

“BAD MOOD KEPALA KAU!” bentak Sukma, matanya nyaris berkaca.

Beberapa orang di taman mulai memperhatikan. Seorang bapak-bapak dari bangku seberang menoleh, lalu menggoyangkan kepala sambil berbisik ke anaknya, “Makanya, Nak... jangan pacaran di taman.”

Sukma langsung sadar. Ia berbalik. Langkahnya cepat. Tangannya mengepal. Nafasnya tersendat-sendat.

Begitu sampai di depan apartemen, ia langsung masuk lift dan menunduk—menahan air mata yang akhirnya tak bisa ditahan lagi.

Di dalam kamarnya, Sukma menjatuhkan diri ke atas kasur. Sudah dua minggu. Dan rasanya… seperti tinggal seatap dengan bayangan.

Fikri hanya bicara seperlunya. Tidur tetap di ruang kerja. Tidak pernah menyentuh tangannya. Tidak pernah memanggil namanya tanpa keperluan.

Kenapa dia menikahiku kalau begini caranya? Kalau hanya ingin seseorang untuk jadi istri formal, kenapa tidak sewa aktris? Kalau tidak suka disentuh, kenapa memaksa menikah?

Kalau hanya ingin berkuasa, kenapa merasa segan setiap kali dekat denganku?

Sukma memeluk bantal, menggigit ujungnya. Lalu dalam kepalanya terngiang kalimat Chintya, "Ma, bisa jadi dia belok, trauma, dikutuk, atau... impotennn~”

Sukma membuka mata. Dengan napas tak beraturan, ia berbisik pada dirinya sendiri. “Aku... beneran nikah sama manusia beneran, kan?”

***

BRAK!

Pintu ruang kerja terbuka keras. Sukma melangkah masuk dengan wajah merah padam, napas naik-turun. 

Fikri, yang tengah mengetik laporan proyek, sedikit terlonjak. Ia menoleh, tapi seperti biasa—tatapannya tetap tenang, datar, dan nyaris tak tergoyahkan.

“Sukma, aku udah bilang—”

“Kamu kenapa sih?!” Suara Sukma menggelegar. Penuh amarah yang sudah menumpuk selama dua minggu tanpa ventilasi.

Fikri meletakkan tangannya di atas keyboard, menatap Sukma yang kini berdiri di tengah ruangan seperti bom waktu.

“Kenapa kamu nikahin aku? Hah? Mau nunjukkin kekuasaan? Mau main-mainin perasaan orang?!” Napasnya bergetar, matanya mulai berkaca.

Fikri tetap diam. Menunggu. Tapi itu justru menyulut Sukma lebih dalam.

“Dua minggu! Dua minggu aku tidur sendirian! Dua minggu kamu bersikap kayak aku cuma... roommate! Bahkan pembantu mungkin lebih sering diajak ngobrol daripada aku!”

Fikri menarik napas pelan. “Aku pikir kita sudah jelas di awal. Aku hanya butuh—”

“—ISTRI. IYA! Aku tahu!” potong Sukma tajam. “Tapi kamu tahu gak sih, definisi istri itu apa? Bukan sekadar status di data rumah sakit atau surat dompet! Tapi pasangan! Pendamping! Orang yang... ada di sisi kamu, bukan di balik tembok kerja!”

Fikri menutup laptopnya pelan. “Kamu marah karena aku gak nyentuh kamu?”

Sukma tertawa miris. “Ya ampun, akhirnya kamu sadar juga.” Ia melangkah lebih dekat. “Apa kamu... impoten?” Nada suaranya menantang, tapi matanya gemetar.

Fikri menahan alisnya naik.

“Atau... jangan-jangan... kamu belok?”

Fikri menatapnya. Diam. Datar.

“Kenapa?” tantang Sukma lagi. “Gak bisa nyentuh perempuan? Atau aku yang gak cukup cantik buat kamu? Kamu pikir aku gak sakit hati tiap kali kamu kabur dari kamar kayak aku bawa penyakit?”

Beberapa detik sunyi. Lalu Fikri berdiri.

Perlahan. Tegak. Tatapannya berubah. Tidak lagi datar, tapi dalam... dan hangat. Namun bukan hangat yang menenangkan—melainkan hangat yang membakar.

Fikri mendekat selangkah demi selangkah. Sukma, yang awalnya masih marah, mulai kehilangan arah.

“Sukma,” ucapnya pelan. “Aku udah bilang dari awal... aku cuma butuh istri. Status. Penjaga. Diam.”

“Tapi kamu gak bisa... terus-terusan menolak kehadiran aku!” balas Sukma.

Fikri kini tepat di depannya. Wajah mereka hanya terpaut sejengkal. Lalu, tanpa aba-aba, ia mencium Sukma.

Bukan ciuman pelan. Bukan ciuman penuh cinta.

Tapi ciuman yang dalam, bergairah, tajam, dan penuh emosi tertahan—seolah Fikri melepaskan semua ketegangan dan batasan yang selama ini ia pasang.

Sukma membeku. Matanya membulat. Dunia seolah diam—tidak ada suara, tidak ada detik waktu, hanya rasa panas yang menyambar tanpa peringatan.

Lalu Fikri melepaskan ciumannya. Wajahnya masih dekat. Matanya menusuk lurus ke mata Sukma yang kini tak bisa bicara.

“Ini yang kamu mau?” bisiknya.

Lalu… “Atau kamu mau yang lebih?”

Deg. Sukma berdiri kaku. Jantungnya berdetak cepat. Bukan karena cinta. Tapi karena... kaget.

Fikri tersenyum tipis. Senyum penuh kontrol. Lalu ia mundur satu langkah, kembali duduk, dan membuka laptopnya lagi seolah tak terjadi apa-apa.

“Pintu tolong ditutup. Aku harus lanjut kerja.”

Dan dengan itu—Sukma melangkah mundur, menarik napas tak karuan, dan keluar dari ruangan itu… dengan kepala penuh tanda tanya, tubuh yang masih panas, dan hati yang makin kacau

Narubi

Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu). Maaf karena minggu lalu hanya update sehari saja, sedang sibuk sekali di dunia nyata. Terimakasih dan maafkan.

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 50: Percakapan Berat dan Akhir Makan Malam

    Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 49: Kencan Ganda

    Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 48: Dia Lagi!

    Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 47: Situasi Lucu

    Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 46: Cowok Brengsek

    “Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 45: Tampan Tapi Arogan

    “Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status