Like, comment, and share. Update minimal seminggu sekali, hari Senin.
“Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang dari rumah ibunya, Sukma akhirnya sampai di apartemen. Langkahnya pelan saat masuk ke dalam lift, tangan kirinya membawa tas kecil berisi oleh-oleh yang dimasukkan ibu ke dalam tote bag-nya secara paksa tadi siang. Sukma tersenyum tipis saat mengingatnya. Tapi senyum itu menghilang begitu pintu lift terbuka.Langkahnya terhenti saat sampai di depan pintu apartemen. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gelisah yang masih tertinggal setelah kunjungannya ke rumah ayah Fikri kemarin. Pikirannya masih penuh tanya. Haruskah ia menceritakan segalanya kepada Fikri?Begitu pintu terbuka, aroma harum dari dapur langsung menyambutnya. Sukma terpaku.Di dapur, terlihat Fikri dengan celemek sederhana bergambar telur mata sapi, berdiri sambil tersenyum—entah karena mendengar suara pintu atau karena menyadari kehadiran Sukma yang sedang memperhatikannya dari ambang pintu."Selamat datang kembali di rumah," sapa Fi
Sukma duduk bersama ibunya. Sore itu begitu sederhana—secangkir teh melati, potongan pisang goreng buatan Mbak Warti, dan tawa ringan yang mengalir dari bibir sang ibu. Rasanya seperti pulang ke pelukan masa kecil."Makanya, kamu harus sering-sering pulang, Sukma," ucap Bu Sri, ibunya, sambil membenahi selimut tipis di pangkuannya. "Ibu sudah jauh lebih baik, kan?"Sukma tersenyum lembut, menatap wajah ibunya yang mulai dipenuhi garis-garis halus. Namun kali ini, wajah itu tidak lagi tampak pucat dan lemah seperti terakhir kali ia pulang. Ada rona cerah, ada semangat yang perlahan kembali."Ibu kelihatan sehat, Alhamdulillah," jawab Sukma pelan. "Aku senang lihat ibu bisa duduk di sini, cerita sambil nyemil kayak dulu."Bu Sri tertawa pelan. "Semua karena Mbak Warti dan Suster Retno. Mereka bantu Ibu banget. Suster itu galak kalau Ibu mulai sok kuat mau nyapu-nyapu. Katanya, ‘Bu Sri cuma boleh jalan-jalan muter komplek. Nggak boleh pegang sapu
Hari sudah mulai gelap ketika Sukma keluar dari gedung kantornya. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menyambut senja yang menelusup perlahan. Di tangannya, layar ponsel masih terbuka memperlihatkan status ojek online yang belum juga tiba.Sukma berdiri di dekat pos satpam, memeluk tas di depan tubuhnya sambil menunggu. Kantor sudah hampir sepi.Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Sukma. Dari dalam mobil itu, seorang pria dengan jas abu muda, dasi biru, dan gaya klimis turun. Senyumnya sopan, namun mata pria itu tampak tajam, profesional.“Permisi, Ibu Sukma?” tanyanya dengan sopan.Sukma sedikit terkejut. Ia menoleh penuh waspada. “Iya?”“Saya diminta menjemput Anda. Ada seseorang yang ingin bertemu. Kami tidak bisa membicarakannya di sini,” ucapnya dengan bahasa yang tenang.“Maaf, saya sedang menunggu ojek. Lagipula saya tidak mengenal Anda,” balas Sukma hati-hati. Ia melangkah sedikit mundur.Pria itu tidak terlihat
Di salah satu ruangan VIP yang tersembunyi di lantai dua, Fikri duduk diam di seberang meja bundar, menatap Cheryl yang sudah datang lebih dulu.Cheryl tampak berbeda hari ini. Tanpa riasan mencolok, hanya makeup tipis dan sweater krem panjang, tapi matanya… tetap menyala seperti biasa. Bukan karena semangat, tapi karena ketegangan yang tertahan.“Langsung aja,” ucap Cheryl, menggeser gelas air mineral ke sisi kanan. “Aku yakin ayahku sudah mulai bergerak. Mungkin sekarang dia masih menunggu. Tapi begitu dia yakin kamu tidak berubah pikiran, dia akan bertindak.”Fikri menahan napas. “Kamu yakin?”Cheryl mengangguk pelan. “Kamu tau sendiri ayahku, bukan tipe orang yang akan membiarkan keputusan penting menyimpang dari kehendaknya. Kalau kamu pikir dia akan diam dan menunggu kamu menandatangani surat cerai, kamu salah besar.”Fikri mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Cheryl dengan serius. “Maksudmu… dia akan melakukan sesuatu pada Sukma?”
Pukul 23.45.Cheryl duduk bersandar di ujung tempat tidurnya, layar ponsel masih menyala di tangan. Jempolnya berhenti tepat di atas tombol “kirim” untuk pesan singkat yang sudah beberapa menit ia ketik dan hapus berulang kali.“Fikri, kita perlu bicara. Aku tunggu kamu besok di tempat biasa. Jam 2 siang. Ini penting.”Cheryl menghela napas panjang. Lalu—klik. Pesan terkirim. Tak ada balasan. Ponsel diletakan di nakas dan ia memaksa dirinya untuk tidur, meskipun dadanya masih penuh kegelisahan. Matanya menatap langit-langit gelap, dan pikirannya hanya berputar pada satu hal—Fikri.Pagi datang terlalu cepat.Pukul 10.30, Cheryl membuka mata dengan kantung mata yang menghitam. Setelah memeriksa ponsel, ia langsung memelototi layar. Tidak ada balasan. Ia menggertakkan giginya, lalu dengan kesal kembali mengetik.“Fikri, kamu baca kan pesanku semalam? Kita perlu ketemu. Ini buka