"Kamu sakit?"Mia tidak henti-henti menanyakan hal yang sama pada Helena. Sahabatnya itu menggelengkan kepala, memberikan jawaban yang sama pula.Helena mengatakan bahwa dia tidak sakit sama sekali. Dan setelah Mia memeriksa suhu tubuhnya, memang terkesan normal dan tidak panas. Namun, anehnya wajah Helena tampak sangat pucat seperti orang kelelahan.Helena hanya bisa meyakinkan Mia bahwa dia baik-baik saja. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kegilaan Dion semalam yang menyuruhnya bermain hingga pagi. Selain Mia yang tidak mengenal Dion, sahabatnya itu juga belum tahu kalau dirinya sudah menikah. Jadi tidak ada gunanya menceritakan hal-hal buruk tentang Dion padanya."Coba cek dulu. Takutnya ada yang hilang." Mia menunjuk dompet di tangan Helena dengan gerakan dagunya.Setelah memeriksa keseluruhan isi dompet tersebut, Helena tersenyum tipis."Tidak ada yang hilang, kok. Semuanya masih lengkap.""Huh, syukurlah." Mia berucap sebelum meminum jus mangga miliknya."Ngomong-ngomong, k
"Aku punya tugas baru lagi untukmu."Dion tersenyum miring saat berkata demikian. Salah satu tangannya memegang ponsel, sementara yang satu lainnya tanpa sadar memainkan pulpen dengan jari-jemarinya yang tegas."Tidak. Saat ini aku sedang tidak bisa keluar. Kita ketemuan besok di kafe untuk membicarakannya. Aku akan mengirimkan alamat kafenya padamu.""Tenang saja. Semua sudah aku siapkan. Kamu hanya perlu melakukannya dengan benar. Untuk imbalan, aku juga sudah menyiapkannya."Di saat yang bersamaan, ketukan pintu terdengar. Dion menoleh dan mendapati seorang wanita cantik masuk dengan membawa senyuman terbaiknya. Dion membalas senyuman Monica. Sekilas, dia memindai penampilan seksi Monica yang mengenakan pakaian super ketat. Ia mengamati setiap lekukannya tanpa celah. Mulai dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Kalau saja Rania tidak kembali angkat bicara, mungkin saat ini Dion masih belum kembali pada dunia nyata dan larut dalam fantasi liarnya."Baiklah. Kita lanjutkan lagi nanti."
"Sungguh? Kamu akan melakukan itu pada kakakmu?"Netra Monica membinar sempurna mengetahui rencana yang Dion buat untuk Willson. Meski Monica tidak terlalu membenci Willson, tapi dia tak rela jika mengetahui bahwa posisi Willson berada jauh di atas kekasihnya. Dia ingin Dion-lah yang terbaik dalam segala hal. Karena apa pun yang menjadi milik Dion, akan menjadi miliknya juga."Tentu saja." Dion menjawab dengan penuh percaya diri. Dia meyakinkan Monica bahwa rencananya kali ini pasti akan berhasil dan membuahkan hasil yang luar biasa.***Willson menatap hamparan danau yang airnya begitu tenang. Udara hari ini terbilang cukup sejuk. Angin lembut yang melintas membuat rambut Willson bergerak indah dan bebas. Kicauan burung pun turut memeriahkan suasana damai tersebut.Willson bersandar pada pagar besi di pinggir danau. Tak peduli apakah lengan kemejanya akan kotor atau tidak, dia terlalu sibuk memandangi gedung-gedung perkotaan yang berada jauh di seberang sana. Willson senang lantaran t
"Dia mabuk lagi?"Helena mengerutkan kening. Ia memandangi Willson yang tengah berjalan keluar dari mobil dengan sempoyongan. Pria itu seperti kesulitan mengimbangi langkahnya. Namun, tak lama kemudian salah satu penjaga rumah datang dan membantunya.Willson terlihat menolak. Ia menyuruh penjaga itu untuk menjauh. Tetapi setelah berusaha berjalan sendiri, dia malah kehilangan keseimbangannya. Syukurlah penjaga tersebut sudah lebih dulu menahannya.Helena bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana pria itu membawa mobilnya dalam keadaan mabuk berat. Tapi di balik perasaan aneh tersebut, Helena merasa sedikit khawatir. Dirinya takut jika Willson terus-terusan seperti ini, maka pria itu bisa saja mengalami sesuatu yang tidak diinginkan saat berkendara. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja, 'kan? Jika bukan sekarang, mungkin nanti."Helena, ambilkan aku minum."Seketika Helena tersadar dari lamunannya. Ia masuk kembali ke dalam kamar dan menyaksikan Dion yang terbangun karena teng
"Will berangkat duluan." Tanpa basa-basi, Willson langsung bangkit. Meninggalkan sarapannya yang belum selesai dan meninggalkan Rebecca yang hendak bicara serius dengannya.Rebecca berdecak lidah. Dia tahu Willson sengaja menghindarinya. Apalagi dirinya sangat yakin bahwa Willson mengerti apa yang ingin dia bahas. Seketika suasana menjadi lebih hening dan canggung setelah menyaksikan Rebecca dicampakkan oleh putranya sendiri. Carlos yang teringat akan sesuatu, mengatakan pada Rebecca bahwa hari ini mereka memiliki jadwal pertemuan dengan kerabat jauh yang sudah lama tak bertemu. Mendengar itu, Rebecca memaksakan senyumnya. Dia masih sedikit kecewa dengan perlakuan Willson beberapa saat lalu."Ayo," kata Dion saat bangkit dari kursi sambil menyapu bibirnya dengan tisu."Ke mana?" Helena menatap bingung."Hari ini kamu ada pemotretan di Gedung X dekat kantorku, 'kan?"Helena tak langsung menjawab. Dia menoleh menatap Rebecca, dan wanita paruh baya itu tiba-tiba mengangguk lembut. Tern
“Tunggu saja suamimu di kamar ini, nanti dia akan datang." Permintaan ibu mertuanya seketika membuat Helena gugup bukan main. Wanita itu berusaha untuk tetap memancarkan senyuman, namun dia tahu, bahwa telapak tangannya kini sudah basah dengan keringat.Hari itu, adalah hari pernikahannya. Helena mendapatkan permintaan langsung dari Rebecca, mertuanya, untuk menikahi putranya. Awalnya, Helena menolak dengan keras. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang tak bertemu dengannya sama sekali? Namun, satu ucapan dari Rebecca membuat Helena tak bisa mengelak. "Jika kamu menikah dengan putraku, aku akan melunasi seluruh utang yang ditinggalkan oleh orang tuamu, dan juga memindahkan kakakmu ke rumah sakit yang lebih memadai." Tawaran itu membuat Helena berubah pikiran. Ia mengingat sosok kakak laki-lakinya yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit pasca mengalami kecelakaan hebat tempo hari. Helena tak tega melihat Arkan yang mati-matian berjuang melunasi utang keluarga mereka. N
"Ka-kakak?" Helena tergagap. Namun, Rebecca justru membalasnya dengan anggukan penuh antusias sambil memasang senyuman lebarnya.Helena menelan saliva dengan berat sebelum ia melihat kembali ke arah Willson. Begitu terkejut dirinya saat menyadari bahwa sejak tadi Willson tengah memperhatikannya. Pria tersebut melirik dengan sorot yang cukup tajam. Tapi, ekspresinya tetap datar. Helena tidak bisa membaca apa yang ada di pikiran pria itu saat ini. Belum selesai Helena berperang dengan keterkejutannya, tiba-tiba saja sebuah kejutan lain datang."Dion." Titah Rebecca saat ia menatap sosok di belakang Helena yang baru saja tiba.Dengan ragu-ragu Helena menoleh dan mendapati pria yang belum pernah dilihatnya. Inikah Dion, pria yang berstatus sebagai suami sahnya? Pria yang seharusnya bersamanya tadi malam? Dada Helena semakin sesak. Sepertinya ada sesuatu yang mengunci tubuhnya karena ia tak dapat bergerak sedikitpun. Ingin sekali Helena menenggelamkan dirinya ke inti bumi daripada h
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” seru Willson. “B-bicara? Denganku?” “Ya.”Berhubung kantor Willson searah dengan lokasi pemotretan Helena, jadi pria itu mengajak Helena untuk berangkat bersama tanpa sepengetahuan siapa pun. Tentu saja Helena merasa keberatan dan ingin menolak. Tapi mengetahui bahwa Willson ingin membicarakan sesuatu dengannya, pada akhirnya Helena menerima ajakan tersebut.Keheningan menyelimuti Helena dan Willson. Meskipun mereka sedang bersama, namun suasananya hampa seakan mereka sedang tidak bersama siapa-siapa. Merasa sedikit gugup saat berdekatan dengan Willson, sebisa mungkin Helena memberikan jarak cukup jauh di antara mereka. “Sebenarnya apa yang ingin dia katakan? Mengapa sejak tadi hanya diam saja? Apakah ini ada kaitannya dengan kejadian semalam? Tapi kenapa dia terlihat tenang sekali? Atau jangan-jangan dia sudah melupakannya dan ingin membicarakan tentang hal lain?” batin Helena dengan segala pertanyaannya.Namun, sayangnya itu semua ti