Mas Panjul memilih tidur di kamar tamu, aku pun tidur sendirian. Aku sendiri tidak tahu apa alasan Mas Panjul berat untuk meninggalkan Jeni, sebegitu cinta mati ‘kah suamiku pada manusia itu?
Aku harus bagaimana, Tuhan! Aku melirik jam di dinding, pukul dua malam. Aku meraih sweater yang tergantung di belakang pintu, lantas keluar kamar, lalu masuk ke kamar di mana suamiku tidur. Aku membuka pintu perlahan dan mataku menangkap sesuatu yang membuatku takjub. Suamiku tengah duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Tenang saja, dia mengenakan sarung dan peci, tidak mukena seperti yang ia pakai dulu. Mas Panjul sepertinya menyadari kehadiranku yang masih berdiri di ambang pintu. Lelaki itu menyudahi berdoa lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku tergagap dan segera menutup pintu kembali, tapi terlambat, tanganku dicekalnya lalu ditariknya masuk kamar. Pintu ditutup! “M-mas ....” Aku tertegun, suaraku seolah tercekat. Begitu terkejutnya aku melihat suamiku berpakaian mengagumkan begini. “Istriku yang cantik!” serunya sambil tangannya mengusap wajah dan membelai rambut panjangku. “M-mas nggak tidur?” tanyaku berusaha menormalkan detak jantung yang semakin tak karuan. Lelaki ini selalu membuatku jatuh cinta terus-menerus. Entahlah, atau memang karena aku belum mendapatkan cintanya secara utuh? “Mas baru bangun. Tadi mimpi buruk. Mimpi Inah pergi dengan lelaki lain!” serunya lagi. Kini tangan itu tidak lagi membelai rambut, melainkan menarik pinggangku lebih mendekat padanya. Wajah Mas Panjul pun kian mendekat dan menempel pada leher dan embusan napasnya pun membuatku merinding. “Maafin, Mas, nggak bisa ninggalin Jeni, Sayang,” ucapnya dengan suara parau dan sesekali menciumi leher. Kesal. Di saat romantis begini, Mas Panjul masih saja menyebut nama orang lain. Tanganku pun mendorong dadanya kasar membuat Mas Panjul mundur perlahan. “Aku benci Mas Panjul! Kalo emang Mas Panjul berat buat ninggalin Jeni. Biar Inah yang pergi!” Aku menangis, rasanya sesak di dada jika ditahan terlalu lama. Aku memutar badan, membuka pintu dan berlari ke kamarku. Tapi siapa sangka, Mas Panjul mengejarku dan langsung mengunci pintu kamar setelah kami benar-benar berada di dalamnya. “Untuk apa Mas ikutin Inah? Hah ... untuk apa!” Aku memukul-mukul dadanya. Mas Panjul tidak melawan, tapi mungkin setelah pukulan itu terasa sakit di badannya, ia merengkuh tubuhku. Aku masih menangis dan meronta ingin dilepaskan, tapi sia-sia, badanku kecil, tubuhnya besar meski sebagian jiwanya seperti setengah wanita, tapi Mas Panjul tetaplah seorang lelaki. “Mas janji nggak akan paksa kamu minum pil KB lagi. Mas juga janji nggak akan pake pengaman. Mas juga ingin merasakan indahnya bercinta tanpa pengaman,” ucapnya pelan di telingaku. Aku yang semula meronta, mendadak lemas. Benarkah yang ia ucapkan? “Mas minta maaf sekali lagi. Kamu jangan paksa Mas buat ninggalin Jeni. Mas belum siap, Mas sayang sama Jeni, tapi Mas juga berat ninggalin kamu!” serunya lagi yang membuat amarahku kembali naik. Dengan segenap kekuatan, aku melepaskan pelukannya dan berhasil. “Percuma, Mas. Aku kadung benci sama kamu. Lupakan soal bercinta tanpa pengaman, lupakan soal anak. Detik ini juga, aku nggak mau bertahan dalam pernikahan ini. Aku mau pulang ke rumah bapak!” Rasanya percuma bertahan. Percuma juga memiliki segalanya, uang, harta, kasih sayang, mertua yang baik, tapi cinta suami yang terbagi dua. Inikah rasanya diselingkuhi? Meski selingkuhan suamiku seorang waria, tetap saja rasanya sakit! “I-inah ....” Mas Panjul berusaha menenangkan, meraih tanganku lagi, tapi kali ini aku benar-benar menolaknya. Aku muak! Hampir menjelang subuh, aku nyaris belum tidur, rasa kantuk tergantikan oleh amarah yang memuncak. Detik itu juga aku merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Kepalaku sakit, pusing mendera, tapi aku tidak peduli. Aku terus memasukkan pakaian ke dalam koper, lalu mengambil baju yang akan aku kenakan dan bergegas masuk ke kamar mandi. Sejak Mas Panjul terus menyebut nama Jeni, aku jijik dengan tubuhku jika harus berseksi-seksi ria di hadapannya. Di kamar mandi, rasa pusing semakin membuat kepalaku bertambah berat saat membuka baju. Tiba-tiba pandanganku buram, apa yang kulihat di depan, semuanya seolah berputar lalu detik berikutnya semuanya gelap. Semuanya tak tampak, yang aku rasakan hanya sakit di pelipis kanan dan tubuhku susah untuk digerakkan lagi. ** Aku membuka mata saat kurasakan belaian hangat di pipi, wajah lelaki itu tersenyum manis. Apa yang sudah terjadi? Terakhir yang kuingat sebelum pingsan adalah, aku belum memakai apa-apa dan sekarang sudah memakai pakaian lengkap. Ck! Aku mencoba untuk bangun, tapi masih limbung karena kepala yang pusing. “Mau ke mana, Sayang? Masih sakit, pun!” serunya mencoba menidurkan aku lagi. “Mau pulang ke rumah bapak!” seruku dengan nada tinggi. Aku masih marah padanya, meski sepertinya dia yang sudah menolongku tadi karena di rumah ini hanya ada kami berdua. Aku melihat sekeliling, koper-koper yang ada di lantai yang sudah siap aku bawa, kini kembali di tempatnya berada di sudut dekat lemari. “Mas kemanakan pakaian aku?” “Mas rapikan ke lemari.” “Aku kan mau pulang. Aku nggak mau punya suami yang memiliki simpanan. Hati aku sakit, Mas. Ngerti nggak, sih!” Aku kembali bangun dan menyandarkan punggung. Mas Panjul yang semula duduk di kursi kini pindah dan duduk di sebelahku, tanganku diraihnya. “Apa yang kamu inginkan?” “Mas budeg, ya? Dari dulu aku sudah bilang nggak suka ada orang lain di antara kita. Apa lagi, Jeni.” Meski Jeni bukan wanita tulen, tapi tetap saja aku cemburu dan sakit hati. Eh, tapi, apa kabar wanita di luar sana yang suaminya memiliki selingkuhan dan sampai memiliki anak? Aku pun masih bingung dengan sikap Mas Panjul yang begitu berat meninggalkan Jeni. Lelakiku ini belum mau membuka suara dan bercerita semuanya. “Mas akan turuti mau kamu.” Aku shock, benaran? “Mas nggak bisa jatuh cinta sama wanita lain, Inah. Cuma kamu yang bikin Mas nyaman.” “Lalu, Jeni?” “Itu urusan nanti. Urusan kita sekarang adalah berusaha untuk punya anak!” serunya lalu mencium pipiku. “Mas yakin udah siap?” tanyaku memastikan. Mas Panjul bangkit, lalu membuka laci meja rias dan mengambil semua stok pengaman yang dia miliki, lalu membuangnya ke tempat sampah. Mas Panjul lalu kembali duduk seperti semula, di sebelahku. Ini bukan mimpi indah, kan? “Mimpi semalam membuat Mas benar-benar takut kehilanganmu.” Sebegitu takut kah Mas Panjul kehilangan aku? Begitu pun dengan mama mertua, ia begitu sayang dan percaya padaku yang notabene anak tomboi dan sama sekali tidak feminim meski tubuhku seperti wanita bak model, tapi nyaliku berani meski harus adu jotos. Aku melirik jam di dinding, pukul tujuh. “Mas nggak kerja? Aku siapkan sarapan, ya?” tawarku. Rasa marahku sedikit mereda melihat sikapnya barusan, semoga ini awal yang baik. “Nggak, ah. Mau di rumah aja ngerjain kamu!” Mas Panjul menarik lenganku dan terjatuh di dadanya, selimut pun ia tarik sampai menutupi tubuh kami. “Mas ... pelan-pelan!”Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu
Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali
Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu
Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah
Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia
Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan