Share

bab 4

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2024-10-04 18:07:52

Sampai malam menjelang, Mas Panjul tidak kunjung datang ke rumah mama. Entah ke mana perginya suamiku itu. Pulang ke rumah, atau jangan-jangan malah pergi bersama pacar warianya.

Aku tidak bisa tinggal diam! Aku harus bertindak! Waria mana yang tidak bisa aku hadapi. Sekali tendang itu selangkangan, lumpuh sudah badan dia!

Berani coba? Sini maju!

Sampai pukul sembilan malam, akhirnya aku pulang ke rumah diantar sopir mama. Mama tentu tidak mengizinkan aku yang menantu kesayangannya pulang naik taksi. Tak lupa, saat aku hendak pulang, mama memberiku uang yang cukup banyak untuk membeli obat. Obat hasil rencana brilian mama untuk menyelamatkan rumah tangga kami.

“Mampir ke apotek ya, Pak.” Aku mengarahkan pak Alim untuk mampir ke apotek.

“Baik, Non.”

Mobil yang aku tumpangi pun berhenti di sebuah apotek yang cukup besar. Berharap obat itu dijual di sini.

Kakiku melangkah masuk dan disambut apoteker berseragam merah muda. Dua wanita itu berdiri dan tersenyum manis. “Ada yang bisa kami bantu, Bu.”

“Saya mau beli obat perangsang, Mbak. Apa di sini ada?”

Dua wanita cantik itu saling adu pandang, lalu keduanya kompak menatap ke arahku. Aku yang merasa diamati begitu tentu tidak nyaman. 

Apa salah dan dosaku sayang?

“Katanya merek Vigra bagus dan cepat reaksinya, ya?” tanyaku lagi, padahal pertanyaanku tadi tentang obat itu ada atau tidak belum dijawab.

“Maaf, Bu.”

“Saya sudah menikah. Obat itu buat suami saya, kok,” ucapku berusaha meyakinkan. 

Salah seorang apoteker itu membalikkan badan dan tangannya mencari sesuatu di rak yang menempel di dinding. Tak lama, sebuah kotak berwarna putih dan juga biru diberikan padaku.

Aku menerimanya dan langsung membayar. “Kembaliannya ambil aja. Terima kasih, ya,” ucapku dan langsung pergi dari sana.

Pak Alim langsung tancap gas saat aku sudah duduk kembali di jok belakang. Hatiku sedikit berdebar saat kepalaku membayangkan bagaimana reaksi Mas Panjul saat setelah minum obat perangsang ini.

Tidak minum obat saja dia jago, bagaimana jika kekuatannya bertambah dengan minum ini?

Aku membayangkan hal itu dengan bulu kuduk berdiri. Ngeri-ngeri sedap. Apa aku nanti bisa sanggup menghadapinya? Ah, elah. Kan, aku jadi deg-degan deh.

Aku memeriksa ponsel, tidak ada chat atau miskal dari suamiku. Entah ke mana perginya dia, padahal aku kangen dikirimi chat mesra darinya, tapi sekarang ponselku sepi kayak kuburan baru. 

Ponsel kembali aku masukkan ke dalam tas lalu merebahkan punggung di sandaran kursi dan dengan mata yang terpejam. Sebentar lagi akan sampai rumah, aku pun bertanya-tanya di mana keberadaan Mas Panjul. 

Aku membuka mata saat kurasakan mobil berhenti. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri, pukul sebelas kurang. Aku mengucapkan terima kasih pada Pak Alim karena sudah mengantarkan aku selamat sampai rumah. Sopir mama pun kembali pulang, karena memang mama menyediakan kamar khusus sopir di rumah.

Dengan jantung berdebar kencang aku pun melangkah masuk ke dalam rumah. Lampu teras dan lampu taman sudah menyala, itu pertanda Mas Panjul ada di rumah. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, lalu tak lama sosok lelaki yang aku rindukan seharian ini muncul dengan senyuman menghiasi wajahnya.

“Mas, Inah kangen!” seruku lalu menghambur ke dalam pelukannya. Mas Panjul mengusap punggungku lalu dengan sedikit menyeret agar masuk ke dalam.

“Mesra-mesranya di dalam aja, Sayang. Malu dilihat tetangga!” serunya dengan tangan kanan membalas pelukanku.

“Mas Panjul ke mana aja. Inah sama mama tungguin di rumah juga.” Aku melepas pelukannya dan menatap manik mata berwarna sedikit coklat itu.

“Habis jalan sama Jeni.” Mas Panjul menjawab enteng. Dia bahkan tidak peduli dengan hatiku. Jahat kamu, Mas!

“Mas Panjul lebih mentingin waria itu dari aku. Istri sah kamu! Tega kamu!” Aku berucap sambil memukul dada bidangnya. 

“Inah!” Mas Panjul mencekal lenganku, tapi segera aku tepis dan langsung berlari ke dalam kamar.

Aku mendengar langkah kakinya mengikuti dari belakang. Sampai di kamar, aku melempar tas ke kursi kayu dan merebahkan tubuh di kasur.

“Inah mandi dulu. Mas siapin air hangat ya buat kamu mandi,” ucap Mas Panjul sambil duduk di sebelahku.

“Nggak mau. Kalo Mas keberatan tidur sama aku yang nggak mandi. Mas bisa kok tidur di sofa, atau kamar tamu,” ucapku sambil meraih bantal guling lalu memeluknya.

“Tega banget, sih.”

Aku melempar bantal guling yang barusan aku peluk, lantas bangun dan duduk. Mas Panjul menatapku lekat, aku pun menatapnya dengan tatapan marah.

“Yang tega itu, Mas. Udah tau punya istri, masih selingkuh pula. Mending yang jadi selingkuhan itu wanita beneran. Lah, Mas selingkuh sama manusia jadi-jadian.”

“Namanya Jeni, Sayang.”

“Bodo amat!”

Aku berdiri meninggalkan Mas Panjul dan masuk ke kamar mandi. Cuci muka dan ganti baju tidur.

Dari tatapan mata Mas Panjul tadi, suamiku itu sepertinya sedang pengen. Tapi, sudah bisa dipastikan akan memakai pengaman juga. Itu artinya aku bakal tertunda punya anak.

Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Mas Panjul jago ‘main dan bisa bikin aku gagal hamil sampai bertahun-tahun begini.

Ah, sudahlah. Aku lelah bermain dan berandai-andai dengan pikiranku sendiri. Yang harus aku lakukan adalah melaksanakan rancangan rencana dengan mama siang tadi. Aku pun bergegas membereskan membersihkan diri, mengenakan pakaian tidur yang seksi seperti biasanya dan segera keluar dari kamar mandi.

Di kasur, Mas Panjul sudah berbaring dengan kedua tangan menopang kepalanya. Mata lelaki itu sudah terpejam. Aku melihat dadanya bergerak naik turun perlahan membuat jantungku berdegup cukup kencang. Dada bidangnya memang selalu bisa menggoyahkan imanku.

Aku berjalan mendekati kasur, lalu berdiri di sebelah sisi di mana Mas Panjul berbaring.

“Mas, kalo mau tidur jangan di sini. Aku masih marah sama kamu, loh. Aku heran, kamu kenapa nggak mau tinggalin Jeni. Sebenarnya aku ini kurang apa di matamu!” seruku. 

Mas Panjul tetap diam dan tidak bergerak, bahkan sekarang terdengar suara dengkuran dari mulutnya.

Dia tidur benaran atau pura-pura, sih?

Aku coba kembali berbicara.

“Kalo emang Mas Panjul berat buat tinggalin Jeni, biar aku yang pergi!” seruku lagi. Kali ini bukan hanya ucapan, aku memutar badan dan hendak keluar kamar.

 Tiba-tiba ada dua tangan memeluk perutku, lalu dengan sigap meraih tubuhku dalam gendongannya. Mata kami beradu. Tatapan Mas Panjul selalu berhasil membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.

Mas Panjul berjalan kembali mendekati ranjang, lalu merebahkan tubuhku di sana. Aku bergegas mengambil posisi duduk sebelum tubuhku diduduki olehnya.

“Kamu merencanakan apa sama mama?” tanya Mas Panjul.

Lah, dari mana dia tahu?

“M-maksud, Mas?” aku tergagap.

“Kamu sama mama merencanakan mau kasih aku obat perangsang?”

“Kok Mas tahu?”

“Ini!” serunya sambil memperlihatkan obat yang tadi aku beli.

“Mas geledah tas aku, ya?” tanyaku sedikit sewot.

“Tadi mama telepon ke ponsel kamu. Mas angkat teleponnya. Pas mau ditaro, Mas lihat ada ini.”

Aku diam. Semuanya hancur berantakan rencanaku.

“Kamu kan tahu Mas belum siap punya anak!” serunya.

“Mau sampai kapan, Mas? Kita menikah udah lama. Aku ini pengen jadi wanita seutuhnya. Punya suami juga anak. Tapi Mas selalu bilang nggak siap. Mas selalu nyuruh aku minum pil KB dan Mas pake pengaman. Itu bikin aku nggak nyaman!” seruku kesal. Tangisku pecah. Aku sudah nggak tahan dengan situasi ini.

“Inah ....”

“Kalo Mas belum siap punya anak dan memang berat buat tinggalin Jeni. Aku mau kita pisah!” seruku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria yang Dicintai Suamiku    The End

    Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu

  • Pria yang Dicintai Suamiku    kabar mantan suamiku

    Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali

  • Pria yang Dicintai Suamiku    satu tahun kemudian

    Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu

  • Pria yang Dicintai Suamiku    mertua terbaik

    Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah

  • Pria yang Dicintai Suamiku    resmi bercerai

    Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia

  • Pria yang Dicintai Suamiku    maaf untukmu sudah mati

    Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status