“Dengarkan aku,” ucap Jade lembut. Sorot mata Jade begitu tenang. Begitu juga dengan suaranya, penuh kelembutan dan kehangatan. Sasha menyimpan sendoknya dan menenggak minumannya. Lalu, Sasha siap mendengarkan Jade dengan seksama.“Awalnya akulah yang akan menemuimu di rumah sakit saat ayahmu koma. Aku tahu keadaan keluargamu dari Nona Fel,” tutur Jade menjelaskan. “Nona Fel bilang bahwa kamu mendapat peringatan harus mengulang semester 6 karena kamu terpaksa bolos demi menjaga ayahmu.”Sasha ingat betul kejadian itu. Saat pertama kali Geoffrey koma, tidak ada siapapun yang bisa menggantikan Sasha untuk menjaga Geoffrey. Sasha tahu, ia akan kehilangan beasiswanya jika sampai mengulang. Tapi ia tidak bisa meninggalkan Geoffrey sendiri.Sasha takut ketika Geoffrey siuman, Sasha tidak di sampingnya. Atau lebih parah lagi, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jade kembali melanjutkan ceritanya. “Aku berpikir, biarlah jika beasiswamu dicabut. Sebagai gantinya, aku akan menawarka
“Aku mohon jangan lakukan itu.”Sasha memegang kedua tangan Jade. Dengan wajah memelas. Bahkan hampir menangis.“Aku tahu aku tidak lebih baik dari Val yang jelas-jelas selingkuh dengan Paula. Tapi aku tidak siap jika Val tahu yang sebenarnya tentang kita,” tutur Sasha. Tangannya yang kecil tampak mungil sekali dibanding tangan Jade.Jade melemah. Ia tidak mau melihat Sasha, gadis yang selalu ia tunggu semenjak Sasha masih kuliah, menangis karenanya.“Baiklah, aku tidak akan mengungkit lagi tentang malam pertama. Tapi boleh kan aku bertanya?” tanya Jade lembut. Sasha melepaskan pegangannya. “Paman mau tanya apa?”Jade membetulkan posisi duduknya. “Kenapa kamu tidak tinggalkan saja Val? Apa kamu masih mencintainya?”Sasha menunduk. Ia sendiri pun bingung apakah perasaannya kepada Val masih disebut cinta atau malah ia hanya takut tidak bisa membayar semua hutangnya. “Aku tidak tahu, Paman,” jawab Sasha sambil menggelengkan kepala. Mata Sasha menatap lurus ke depan. “Mungkin lebih tep
Ding! Bel tanda bus tiba di halte berbunyi. Beberapa penumpang turun di halte tersebut. Suasana bus mulai lengang. Hanya tinggal beberapa orang lagi yang masih duduk. Termasuk Sasha. Sasha baru saja terbangun dari tidurnya. Ia celingukan melihat jalan sekitar, memastikan apakah halte terakhir sudah dekat atau masih jauh. “Lima menitan lagi,” kata Sasha sambil ia melepaskan earbuds-nya dan memasukkannya ke dalam kotak.Kemudian, ia bersiap untuk turun setelah bus berhenti. Setelah turun, Sasha berjalan sekitar 500 meter ke arah barat. Melewati pertokoan dan gang kecil. Serta menaiki tangga, karena pemakaman berada di atas bukit Daffodils–begitulah warga lokal menyebutnya. Disebut bukit Daffodils karena di sana, sebelum memasuki area pemakaman, terdapat taman daffodil dengan berbagai warna yang indah. Sayangnya, Sasha datang saat musim gugur. Taman Daffodils baru berupa benih, agar bunga dapat bermekaran di musim semi. Cuaca hari itu sedang berangin. Sasha mengambil syal dari da
“Tidak bisa, tidak mungkin.”Sasha memalingkan wajahnya dan membuat Jade tersentak. “Kenapa?” tanya Jade. Tangan Sasha mengepal. “Paman tidak tahu bagaimana tersiksanya aku selama ini. Paman tidak tahu dan tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana posisi aku sekarang.”Mata Sasha mulai berkaca-kaca. Tubuhnya berguncang. Jade menekuk lututnya di depan Sasha. Menatapnya dengan penuh kelembutan dan kehangatan. “Maka dari itu, raihlah tanganku, Sha. Aku bisa lakukan apapun yang bahkan Val tidak bisa lakukan untukmu.”“Tapi beban di pundakku tidak bisa hilang begitu saja, Paman. Aku bisa pergi dari Val, bukan berarti aku benar-benar terbebas darinya.” Air mata Sasha akhirnya tumpah. Jade memegang tangan Sasha yang mengepal. “Aku tidak bisa mengingkari janji. Aku tidak mungkin mengkhianati Val,” lanjut Sasha, terisak. Jade kemudian memegang kedua bahu Sasha. “Tapi Val sudah lebih dulu mengkhianati kamu, Sha!”“Aku tahu, Paman. Aku tahu, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Yang a
“Val sudah pulang, Bu?”Kepala Sasha masih berpendar. Keringatnya juga masih mengucur. Bu Bertha segera mengambilkan baju ganti dan handuk untuk Sasha. “Sudah dari tadi, Nona. Tuan Val langsung masuk ke kamarnya begitu pulang. Sebaiknya Nona ganti pakaian dulu.”Sasha mengambil baju dan handuknya dan bergegas ke kamar mandi. Air hangat mulai membasuh tubuh Sasha. Sasha berusaha mengingat mimpinya barusan. Begitu jelas. “Apa maksud dari mimpi tadi?”Sasha menekan botol sabun dan mulai mengusapkannya ke seluruh tubuhnya. Aroma daun mint dan teh hijau menguar ke udara. Memberikan relaksasi pada otot dan saraf. “Kenapa akhir-akhir ini stress-ku meningkat? Apa aku minta izin aja ke Val untuk berkunjung ke makam Papa dan Mama?”Sasha sudah selesai mandi sekarang. Ia melihat jam. Baru jam 02:35. Rasa kantuknya sudah terlanjur hilang. Sasha mengecek ponselnya. Tidak ada notifikasi. Ia lalu mengambil ponsel khususnya dari dalam laci yang terkunci. “Ada balasan dari Paman Jade!” seru Sash
“Malam ini mau makan apa, Nona?”Bu Bertha menyadarkan Sasha dari lamunan. Sejak pulang tadi, Sasha terus melamun di meja makan. “Aku sedang tidak nafsu makan, Bu. Sepertinya aku ingin ke kamar saja,” jawab Sasha, tidak bersemangat. Bu Bertha langsung melipat tangan di dadanya. Matanya melotot. “Nona harus makan. Marah dan kecewa pun menguras banyak tenaga. Kalau begitu, saya akan membuatkan Anda camilan yang mengenyangkan.”Sasha merasa terintimidasi dengan sikap tegas Bu Bertha. “Baiklah, Bu. Bu Bertha tampak menyeramkan kalau sudah begini.”Bu Bertha kembali tersenyum. “Anda tunggu di kamar saja sambil beristirahat, ya!”Sasha mengganggu. Ia beranjak ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Sasha duduk di balik meja kerjanya. Ia mulai mencoba membuat desain untuk Fairy Goldmother. “Aku harus bisa secepatnya dapat uang dari Fairy, supaya hutangku cepat lunas,” ucap Sasha bertekad. “Jadi aku bisa segera terbebas dari Val.”Sasha menggambar sebuah sangkar burung yang indah, bertabur per