Share

5. Sangsi Telah dijatuhkan pada Sang Gadis

Niken menunduk di hadapan Anggodo. Lelaki enam puluh tahun itu menatapnya tajam. Sedangkan Jodi tak bersuara menunggu bentuk pertanggung jawaban apa yang aku diberikan pada Niken.

"Ferdi ayahmu harusnya sudah mati di tangan algojoku. Karena siapa saja yang mundur dari usahaku ini hanya maut yang menjadi bagiannya!" Anggono bersuara tegas walau sudah tak muda lagi

Niken pernah juga membaca dari beberapa berita kriminal narkoba. Bahwa kaki tangan bandar narkoba pantang untuk berhenti, atau mati. Apa pun alasannnya, tetap tak boleh mundur menjadi kaki tangan pengedar.

Niken menggigil mendengarnya. "Ya Allah betapa kejamnya mereka yang telah dibutakan uang, hingga menghalalkan jalan haram. Tak tahukah pada dosa yang telah mereka kumpulkan itu?" Batinnya menangis betapa banyak sudah anak muda terjerumus oleh keserakahan mereka yang berotak licik itu?

"Kau harusnya berterima kasih pada Jodi karena dia masih mau mengampuni ayahmu dan mau menerimamu sebagai gantinya!" Masih dengan tegas Anggodo berbicara dari kursi kebesarannya yang terbuat dari ukiran jati yang dicat warna emas.

Niken masih menunduk. Di ruangan besar dan megah itu hanya ada mereka bertiga. Anggodo, Jodi dan dirinya.

"Coba lebih mendekat padaku ..."

Niken berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan ke depan Anggodo. Setelah satu meter lebih jarak ke lelaki tua berbadan gempal tapi tak terlalu tinggi itu, ia berhenti. Tetap menunduk.

"Angkat dagumu!" Yang dimaksud Anggodo supaya gadis itu menatapnya.

Niken mengangkat wajahnya dan kini tatapannya langsung beradu dengan sepasang mata Anggodo yang tajam bagai elang.

Sebenarnya Niken bergidik, tapi ia coba untuk tidak menunduk.

Anggono untuk beberapa detik terpanah. Gadis polos tanpa mike up itu begitu menawan. Sepasang matanya bening. Hidung cukup mancung, sepasang bibir yang terkatup rapat itu sangat indah dengar warna merah jambu alami.

"Wajahmu jelita, tinggimu semampai. Walau tubuhmu terbalut busana muslim, tapi aku yakin dibalik pakaianmu yang longgar, tubuhmu pasti molek ..."

Niken semakin bergidik dengan kata kata yang keluar dari mulut tua itu.

"Umurmu?"

"Dua puluh dua tahun, Tuan, "

"Tidak terlalu muda tapi juga belum tua. Untuk lima tahun ke depan dirimu masih bisa meraup uang. Nilai jualmu tinggi ..."

Niken terkejut.

"Aku memandang Jodi anak angkatku kalau menuruti maunya, bahwa engkau tidak jmau jadi kurir, baiklah, untuk gantinya kau harus bisa menghasilkan rupiah yang banyak dengan pelayananmu pada setiap pelanggan yang datang ke kamarmu ..."

"Oh!" Tercekat hati Niken. Jantungnya serasa mau copot. Berarti aku akan dijadikan pelacur?

Jodi di kursinya sempat terhenyak. Walau sempat mengira tugas apa yang akan diberikan Anggono, toh, saat ayah angkatnya itu mengatakannya secara terang dan jelas, ada ketidak tegaan pada Gadis yang berdiri menyamping dari tempatnya duduk itu.

"Aku cukup toleransi untuk memberimu pilihan. Menolak berarti ayahmu seumur hidupnya akan menjadi kurirku, atau mati. Sedangkan aku hanya memintamu bekerja lima tahun saja. Setelah itu kubebaskan kalian, asal jangan buka mulut di luar sana. Berkhianat kalian semua binasa, karena orang orangku tersebar!"

Niken diam kaku bagai patung. Dadanya masih bagai lesung yang ditumbuk alu. Sakit bertubi tubi. Bahkan mengucur darah.

"Karena angin akan membawa kicauan kalian. Ke lubang semut pun kalian bisa aku temukan, anak buahku banyak dan jago untuk mencari orang buron ..." lanjut Anggodo memberi ancaman.

Niken diam terpekur. Tak terbayangkan tubuh sucinya akan direjam berbagai lelaki entah dari mana. Pasti sangat menakutkan sekaligus menjijikkan. Tapi jika menolak ayahnya harus kembali menjadi kurir atau mati. Hukuman apa ini?

Gadis itu menjerit tanpa suara. Merintih dalam relung hatinya yang kini menjadi kelam.

"Sebelum engkau bekerja aku memberimu waktu istirahat dua hari. Supaya engkau bisa relax dan mempersiapkan semuanya, akan ada yang mengajarimu dan menjemputmu, " ujar Anggodo lalu menghubungi pelayan perempuan lewat airphone.

Tergopoh datang pelayan menghadap pada Anggodo.

"Gadis ini namanya Niken. Dia dua hari di sini. Lusa sore sudah dijemput madem Sonya. Urusan makan dan lainnya tanggung jawabmu, Sumi, "

"Ya saya akan mengurusnya, Ndoro Tuan, " angguk Sumi mengangguk santun.

"Carikan dia baju ganti,"

"Akan segera saya ambilkan di toko pakaian Ndoro Tuan,"

"Secepat mungkin kamu suruh orang mengambilnya untuk dua hari, dan tidak boleh gadis ini keluar dari kamarnya,"

"Saya akan patuhi perintah Tuan, " angguk perempuan tiga puluh lima tahun itu.

"Hai gadis ikutlah dengan dia, katakan apa menu makannya, jaga stamina dan jangan sampai kekurangan tenaga, " ujar Anggodo menatap tajam tapi suaranya tak setegas tadi.

Niken yang merasa tak ada pilihan lain, selain hanya pasrah pada nasib yang menimpanya saat ini, hanya bisa patuh. Saat langkahnya mengikuti Sumi diam dian ekor mata Jodi mengikutinya.

"Jodi ..."

"Ya Ayah Angkat

"Kamu masih setia pada ayah angkatmu ini?"

"Kenapa ditanyakan soal itu, Ayah, tiga puluh tahun bersamamu, apa itu kurang?" Jodi balik bertanya.

"Bagaimana tentang wanita?"

"Ayah sudah memutuskan, " singkat jawaban Jodi. Bukankah ayah angkatnya telah mengatur semuanya? Sudah sepuluh tahun lelaki itu menutup hasrat birahinya pada lawan jenis.

"Ingat tak ada tempat di masyarakat untuk pengedar. Tak ada wanita yang mau diperistri pengedar. Karena selain musuh polisi dan sampah masyarakat nyawa perempuan yang mau sama pengedar.setiap saat terancam maut!"

Jodi yang setiap bertemu bos sekaligus ayah angkatnya selalu didoktrin oleh kalimat itu, hanya mengangguk.

"Terima kasih kalau begitu, " angguk Anggodo. Tapi diam diam ia tak puas dengan jawaban Jodi.

Anggodo lelaki tua yang berpengalaman terhadap dunia laki laki dan perempuan. Walau memilih tidak beristeri bukan berarti dia menutup mata pada hal hal yang berhubungan dengan rasa suka terhadap lawan jenis.

Tatapan Jodi terhadap Niken memiliki arti luas. Bisa terharu. Bisa kasihan. Bisa juga suka. Nah dari suka bisa jatuh hati.

Penyetopan birahi Jodi terhadap lawan jenisnya, belum berarti bisa menghilang rasa simpati lelaki itu pada wanita?

Mata Jodi telah menceritakan sebenarnya. Jangaan sampai ia kehilangan anak angkatnya. Jodi tak boleh simpati pada perempuan mana pun kalau tak mau membuat usahanya jadi bahaya.

Anggodo mulai berpikir untuk membuat Jodi secara permanen tak suka perempuan!

"Saya pulang kalau Ayah angkat sudah tak ada lagi yang mau dibicarakan, " pamit Jodi.

"Ada, "

"Apa ada kerjaku yang tak beres?"Jodi menatap Anggodo.

"Sebagai wakilku kamu bisa diandalkan. Tapi umurmu masih bisa dibilang muda untuk ukuran laki laki untuk berhubungan dengan perempuan, jadi mengerti, kan yang Ayah angkatmu ini maksudkan?"

Jodi menatap Anggodo.

"Birahimu tak ada, tapi hatimu masih normal. Jaga pandangganmu terhadap perempuan!"

Jodi mengerti ayah angkatnya takut dirinya simpati pada lawan jenis. O ... oh, apakah lelaki itu bisa menangkap pandangannya pada Niken.

"Saya hanya kagum pada pengorbanan anaknya si Ferdi. Itu saja ..." sebisa mungkin Jodi meyakinkan Anggodo.

"Jaga ucapanmu. Hilangkan rasa kagum itu. Sudah salah Ferdi, dan anaknya memang pantas menggantikan ayahnya? Jika dari pekerjaannya itu bisa berlipat lipat dari kerja Ferdi itu namanya aku sedang memetik bunga ..." sungguh lelaki tua itu tak ada puasnya dengan uang.

Niken sudah ditempatkan di sebuah kamar lux dan luas.

Sumi membawa handuk bersih dan teh panas manis.

"Ini handuknya, Non, "

"Terima kasih, " lirih suara Niken.

"Tehnya, Non ,"

"Terima kasih, Mbak, "

"Di kulkas ada aneka minuman, juga buah, silahkan saja Non ngambil kalau mau, "

Niken hanya mengangguk.

"Makan malam menu apa maunya, Non?"

Manamungkin mempunyai selera makan dalam suasana seperti keadaan dirinya?

Tapi Niken gadis yang tak mau apatis. Jika saat ini tak berminat makan, setidaknya sedikit saja buah di kulkas bisa mengisi perutnya.

"Sebaiknya aku makan buah saja, "

"Tapi jika Non berubah pikiran dan mau makan malam hubungi saya lewat airphone. Tekan angka 05 ya, itu khusus menghubungi pelayan,"

Niken mengangguk.

"Silahkan duduk Non, dibuat yang santai saja di kamar ini, "

Niken duduk di sofa tak jauh dari jendela yang memiliki akses pandangan ke taman samping rumah, dimana telah tercipta taman indah lengkap dengan kolam ikan serta air mancur yang meliuk liuk diantara tumpuhan beraneka bunga.

Untuk mempermuda nona titipan ndoro tuannya menikmati teh manis buatannya, segera Sumi memindahkan cangkir teh ke meja di depan sofa yang diduduki Niken.

"Saya sedang meminta pelayan toko untuk membawa salin baju Non,"

Niken menoleh pada Sumi tanpa suara.

"Tuan punya Toserba besar, ya mirip mal gitu Non .." rupanya Sumi yang sudah belasan tahun kerja di istana Anggodo tak pernah tahu apa kegiatan utama bosnya, yang berkedok pemilik Toserba yang cukup besar dan mewah itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status