"Lisna mengambil ponselnya di kamar, Pak. Karena saat itu gelap gulita."Ujian pertama lolos. Jawaban Rani tidak berubah."Baik. Sekarang saya bertanya pada Anda sekali lagi. Mengapa Anda ingin mencelakai Bu Yanti? Jangan bilang kalau Anda membenci beliau. Larena gestur tubuh Anda saat mengatakannya, berbanding terbalik dengan kata-kata Anda. Jujurlah kalau Anda masih ingin menikmati matahari pagi di luar tembok penjara." Hening.Rani tidak menjawab. Ia hanya menunduk sembari memandang jari jemarinya yang saling terjalin di pangkuan. Pandangan Rani kosong."Kalau menurut Mbak Rani, siapa yang mencelakakan Bu Yanti?" Kiran mengalihkan topik pembicaraan. Terlalu ditekan bisa membuat Rani kembali diam seribu basa, seperti awal-awal interogasinya tadi."Tidak siapa-siapa, Mbak." Rani menggeleng lemah. "Bu Yanti pasti terjatuh saat mencoba memutar kursi roda di kegelapan. Bu Yanti pasti takut kembali saya celakai," imbuh Rani lagi. "Oh begitu. Lantas soal Pak Harry Soebrata. Apa Mbak ma
Kiran melirik Demitrio yang berkendara dalam diam. Kedua tangan Demitrio dengan lincah mengendalikan kemudi, sementara tatapannya lurus ke depan. Kiran amati, selama berkendara Demitrio tidak pernah memotong jalan kendaraan lagi apalagi mengebut. Demitrio adalah seorang pengguna jalan yang baik. Tidak salah memang kalau dirinya menjadi seorang polisi."Om Demit," Kiran yang tidak tahan terlalu lama berada dalam keheningan, menyapa Demitrio."Sudah saya katakan berulang kali. Jangan memanggil saya Demit. Saya juga tidak suka dipanggil om. Saya bukan om kamu," gerutu Demitrio kesal. "Sorry, Om. Kebiasaan dari kecil sih. Dulu kita 'kan musuhan." Kiran meringis.Sekarang pun masih sepertinya."Itu karena kamu terus mengingat kata-kata si Rasya sialan itu." Demitrio berdecak. Asal mula Kiran memanggilnya Demit adalah karena mulut usil Alrasya Abiyaksa. Pengacara bermulut ember itu yang memberitahu Kiran, perihal mencari tahu teman ataupun musuhnya. Jikalau teman, maka mereka akan memanggi
"Dasar bajingan!" Demitrio memaki geram setelah bayangan Kiran dan Om Bima menghilang. Hal yang pertama kali ia lakukan adalah menelepon timnya. Ia menjelaskan tentang peristiwa penembakan yang terjadi di depan rumah Om Bima. Setelahnya ia mencabut pistol dari pinggang sembari memeriksa keadaan. Sepertinya Kiran benar. Bahwa si penembak sudah pergi. Karena ia tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di TKP. Kecuali beberapa tetangga Om Bima yang mengintip dibalik pagar-pagar rumah mereka. "Keparat!" Demitrio kembali memaki. Ia melihat ada lubang bekas tembakan pada kaca samping mobilnya. Ada titik lain juga yang terlihat retak-retak di seputarannya."Nyaris saja," Demitrio menghembuskan napas napas kasar sekaligus lega. Kalau saja tadi Kiran terlambat menunduk sepersekian detik, pasti lubang kecil ini telah bersarang ke tubuhnya. Sejurus kemudian terdengar suara sirene ambulance dan polisi yang saling bersahutan. Ketika delapan orang rekannya turun dari dua unit mobil patroli, Demi
Tiga cangkir kopi yang sudah diminum setengah terhampar di meja kaca. Tampak tiga laki-laki berbeda generasi duduk saling berhadapan. Irjenpol Orlando Atmanegara duduk di kursi kebesarannya. Di hadapannya, sang putra AKP Demitrio Atmanegara duduk berdampingan dengan Bima Sakti Raffardan-- pengacara senior sekaligus alias ayah kandung Kiran."Setelah membaca hasil interogasi Juper terhadap Lisna, bagaimana tanggapan kalian berdua?" Orlando bersedekap. Menunggu tanggapan Demitrio dan Bima yang baru selesai membaca dokumen di hadapannya."Lisna memang mencurigakan. Tapi kita tetap harus mencari saksi atau bukti baru yang bisa menjerat Lisna," ucap Demitrio sembari menutup dokumen. Sedari awal sebenarnya ia sudah curiga pada Lisna. Ia hanya belum menemukan bukti saja."Apakah saat ini Lisna masih tinggal bersama dengan Pak Irman?" Bima membuka suara."Tidak lagi, Om." Demitrio menggeleng."Menurut penyelidikian salah seorang anak buah saya, Rani dan Lisna sudah dipecat oleh Pak Irman. Kar
Kiran membaca biografi Irianti Sadikin melalui laptop. Tidak bisa bekerja di lapangan, tidak menyurutkan semangatnya untuk menguak kasus tewasnya Bu Yanti. Dibantu oleh Andika dan Renny yang bolak-balik ke rumah sakit, Kiran mulai mengumpulkan fakta-fakta yang bisa mendukung kasus ini.Kiran membuka folder yang dikirimkan Renny melalui email. Ia memang meminta rekannya itu untuk mengirimkan hasil wawancaranya dengan kerabat Bu Yanti beberapa waktu lalu.Setelah email dibuka, Kiran membaca dengan seksama jati diri Bu Yanti. Bu Yanti memiliki nama lengkap Irianti Soerjadi sebelum menikah dengan Pak Irman Sadikin. Irianti Soerjadi adalah putri tunggal Pak Soerjadi dan Bu Wesiati Soerjadi. Pak Soerjadi adalah seorang pengusaha tambang batu bara. Sementara Bu Wesiati adalah ibu rumah tangga biasa. Bu Yanti lahir 37 tahun yang lalu. Pada saat Bu Yanti berusia 12 tahun, ibunya meninggal dunia karena sakit. Selanjutnya Bu Yanti remaja diasuh oleh Pak Soerjadi dibantu oleh seorang ART yang ber
"Saya yakin, anak saya tidak bunuh diri, Pak. Orang dua jam sebelum meninggal, Lisna baru saja mengantarkan uang bulanan dan uang kuliah kedua adiknya. Lisna juga berjanji akan datang lagi minggu depan, untuk memberikan uang sewa ruko. Selama kami sekeluarga bercengkrama, Lisna selalu tertawa kok. Sedikitpun tampak tanda-tanda kalau anak saya tertekan. Saya yakin anak saya ini bukan bunuh diri, tapi dibunuh!" Pak Suhendar memukul meja dengan geram. Ia masih belum bisa menerima kepergian putri sulungnya yang tragis. Padahal seminggu telah berlalu.Orlando yang saat ini tengah menginterogasi orang tua Lisna, merenung sejenak. Ia mulai bisa merangkai kepingan puzzle yang sebelumnya hilang."Jadi selama ini Lisna yang membiayai uang kuliah adik-adiknya ya?" ucap Orlando sambil mengecek sesuatu di laptop. Ya, ia mengecek data-data diri Lisna. "Iya, Pak Polisi. Biasanya Lisna datang jikalau jadwal pembayaran uang kuliah adik-adiknya sudah jatuh tempo. Ia lebih suka memberikan uangnya lang
Demitrio meringis saat melihat siapa-siapa saja yang ada di ruang makan. Adiknya sudah tiba dari Perth, berikut suami bule dan putra kecilnya. Bukan itu saja, anak-anak dari rekan kerja kedua orang tuanya juga sudah mulai berdatangan berikut keluarga kecil masing-masing. Itu artinya dirinya harus siap di kick kanan kiri atas bawah karena masih menjomblo. Di antara anak rekan-rekan kedua orang tuanya, tinggal dirinya seorang yang belum menikah. Sementara mereka yang sepantarannya sudah memiliki satu atau dua orang anak."Bang Rio, sini peluk. Mikha rindu!" Demitrio berdecak saat adiknya berlari kearahnya dengan kedua tangan terentang lebar. Mikhaila kemudian melompat dalam pelukannya dan bergelantungan seperti seekor koala.Drama pembuka telah dimulai."Pelan-pelan, Mikha. Patah nanti pinggang Abang. Kamu sekarang berat sekali." Demitrio menurunkan tubuh sang adik dengan ekspresi pura-pura keberatan."Tuh kan, Mas Bule. Kemarin saya bilang kalau saya udah gendut, Mas bilangnya tidakkk.
"Udah lama banget kita nggak me time begini ya, Mbak Lexa?"Kiran mengamati jalanan dengan mata berbinar. Nyaris sepuluh hari penuh dipingit di rumah, bisa menikmati udara segar begini rasanya sungguh menyenangkan. Menghadiri ulang tahun pernikahan Om Lando dan Tante Gadis ini adalah keluar rumah perdananya. Kedua orang tuanya menganggap lukanya sudah nyaris sembuh, makanya ia diperbolehkan menghadiri pesta ini.Kiran makin senang karena kedua orang mengizinkannya ikut dengan Alexa berkeliling kota. Saat ini ia tengah duduk di samping Alexa yang tengah menyetir. Rencananya mereka akan berkeliling-keliling kota Jakarta terlebih dahulu sebelum Alexa mengantarnya pulang ke rumah. Kedua orang tuanya masih berada di kediaman Om Orlando dan Tante Gadis. Para orang tua ingin bernostalgia mengenang masa lalu katanya. Makanya saat ini ia bisa bersenang-senang bersama Alexa. Setelah menikah dengan petani sukses Jenggala Buana Sagara, Alexa memang ikut dengan sang suami menetap di Desa Pelem. Sa