Home / Romansa / Proposal Cinta Sang Miliarder / Bab 2: Kagum dalam Kesederhanaan

Share

Bab 2: Kagum dalam Kesederhanaan

Author: Resya
last update Last Updated: 2024-12-05 07:27:31

Malam itu, selepas Isya, Farhan menuju masjid untuk menghadiri sebuah kajian rutin yang sudah lama diadakan di sana. Setiap hari Jumat malam, masjid ini ramai oleh para jamaah yang ingin mendengarkan nasihat dan ilmu dari Ustaz Hasan. Farhan jarang melewatkan kesempatan ini, namun kali ini terasa berbeda. Ada motivasi lain yang membuat langkahnya lebih ringan dan hatinya lebih bersemangat.

Ia mengenakan kemeja biasa dengan celana panjang sederhana. Penampilannya terlihat seperti kebanyakan orang yang datang ke masjid ini, tidak mencolok sama sekali. Farhan ingin agar semua orang melihatnya sebagai laki-laki biasa, terutama Aisyah. Ia ingin dikenali bukan karena kekayaannya, tetapi karena dirinya apa adanya.

Masjid mulai ramai ketika ia tiba. Di dalam, para jamaah sudah duduk rapi, dan Farhan memilih tempat di sudut belakang, tidak jauh dari pintu. Pandangannya tertuju ke depan, mencari sosok yang ingin ia temui. Benar saja, Aisyah sudah duduk di barisan wanita, tidak jauh dari panggung kecil tempat Ustaz Hasan biasanya memberikan kajiannya. Wajahnya teduh, matanya menunduk khusyuk. Farhan merasa kagum melihat sosok yang begitu sederhana namun memancarkan ketenangan yang mendalam.

Kajian malam itu dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang lembut namun menyentuh hati. Farhan mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha menyerap setiap kata yang diucapkan. Namun, tak dapat ia pungkiri bahwa sesekali matanya melirik ke arah Aisyah, memastikan bahwa ia ada di sana, bahwa semua ini nyata.

“Saudara-saudaraku, hidup di dunia ini hanya sementara. Apa yang kita miliki, apa yang kita kumpulkan, semua itu tidak akan kita bawa ke akhirat. Kita hanya akan membawa amal, dan bagaimana kita menjaga hati kita dari segala keinginan duniawi,” Ustaz Hasan mengingatkan dengan suara lembut namun penuh makna.

Farhan merasa tersentuh mendengar pesan itu. Sebagai seorang yang dianugerahi kekayaan melimpah, ia kerap merasa terbebani. Kekayaan yang dimilikinya bukan untuk dinikmati secara berlebihan, namun sebagai amanah yang harus ia jaga dengan bijak. Tapi di hadapan Aisyah, ia tidak ingin kekayaan itu menjadi penghalang atau pengubah pandangan.

“Farhan, ingatlah bahwa seseorang tidak dinilai dari apa yang ia miliki, tapi dari bagaimana ia mengabdikan dirinya kepada Allah,” kata-kata Ustaz Hasan terasa mengena di hatinya. Ia sadar, jika ingin mendekati Aisyah, ia harus mampu menjadi seseorang yang lebih baik, yang benar-benar tulus.

---

Selepas kajian, para jamaah mulai beranjak, berbincang sebentar atau sekadar menyalami satu sama lain sebelum pulang. Farhan masih duduk di tempatnya, menunggu kesempatan untuk melihat Aisyah keluar. Ia tidak ingin terlihat mencolok, tetapi hatinya berkata untuk tetap berada di sana, walau hanya sebentar lagi.

“Assalamu’alaikum,” suara lembut itu terdengar di sampingnya. Farhan menoleh dan melihat Ustaz Hasan berdiri di sana, tersenyum hangat.

“Wa’alaikumsalam, Ustaz,” jawab Farhan, mengangguk hormat.

“Kamu mengikuti kajian dengan baik, ya? Alhamdulillah,” ucap Ustaz Hasan, menepuk pundaknya.

Farhan tersenyum kecil. “Alhamdulillah, Ustaz. Saya sangat tersentuh dengan pesan yang tadi disampaikan.”

Ustaz Hasan mengangguk pelan, lalu pandangannya beralih sejenak ke arah Aisyah yang sedang berbincang dengan beberapa temannya di ujung sana. “Kadang, kita merasa perlu membuktikan diri, padahal yang Allah lihat adalah niat dan ketulusan kita.”

Farhan merasakan makna dalam kata-kata itu. “Saya hanya berharap niat saya ini diridhoi, Ustaz. Saya ingin mengenalnya dengan cara yang benar.”

Ustaz Hasan tersenyum, menepuk bahu Farhan dengan lembut. “Sabar, Farhan. Tidak perlu tergesa-gesa. Jika niatmu baik, insya Allah akan ada jalannya.”

Farhan mengangguk, menyimpan nasehat itu dalam hati. Ia kembali menoleh ke arah Aisyah, yang sedang berpamitan dengan temannya. Seketika hatinya berdebar. Ia merasakan harapan kecil bahwa suatu saat nanti, ia bisa lebih dekat, mengenal Aisyah dan memahami sosoknya dengan lebih mendalam.

Ketika Aisyah berjalan mendekat untuk keluar dari masjid, Farhan dengan sengaja menunduk, menghindari tatapan langsung, namun matanya tetap memperhatikan dari ekor mata. Ia tidak ingin terlihat berlebihan, tetapi rasa kagumnya semakin dalam setiap kali melihat keteduhan yang terpancar dari sosok gadis itu.

“Aisyah,” panggil seorang teman wanita di belakangnya, membuat Aisyah berhenti sejenak. Mereka berbicara sebentar, lalu Aisyah tersenyum kecil sambil mengangguk sebelum melanjutkan langkahnya keluar.

Farhan merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dalam hati ia berdoa, memohon petunjuk dan kekuatan untuk tetap tulus dalam niatnya.

---

Beberapa minggu berlalu, dan Farhan semakin sering mengikuti kajian di masjid itu. Bukan semata-mata karena Aisyah, tapi ia merasakan kedamaian yang jarang ia dapatkan di tempat lain. Setiap kali melihat Aisyah, ia merasa hatinya semakin mantap bahwa gadis inilah yang ia cari selama ini. Seorang perempuan yang tidak hanya cantik secara fisik, namun juga memiliki keteguhan iman yang sulit ditemukan di zaman ini.

Pada suatu hari Jumat, setelah selesai shalat dan kajian, Farhan tidak sengaja mendengar percakapan antara Aisyah dan seorang temannya.

“Aisyah, kamu nggak tertarik sama orang yang mapan? Maksudku, setidaknya bisa menjamin masa depanmu,” tanya temannya dengan nada canda namun serius.

Aisyah tersenyum tipis. “Aku nggak cari orang yang cuma kaya. Aku butuh pasangan yang bisa menuntun aku menuju ridha Allah. Kalau hanya harta, aku yakin itu nggak cukup untuk buat hidup kita tenang.”

Farhan yang berada tak jauh dari mereka mendengar jawaban itu. Hatinya tergerak, merasa bahwa pemahaman Aisyah begitu dalam dan murni. Tanpa sadar, ia menggenggam tangannya, berdoa dalam hati agar ia bisa menjadi seseorang yang mampu memenuhi keinginan Aisyah, bukan dari segi harta, tetapi dari keteguhan iman dan kebaikan hati.

Ketika Aisyah akhirnya pamit dan melangkah keluar dari masjid, Farhan merasakan ada dorongan untuk mendekatinya, meski hanya sekadar menyapa.

“Assalamu’alaikum, Aisyah,” sapa Farhan perlahan, sedikit ragu namun berusaha tegar.

Aisyah menoleh, tersenyum sopan sambil menjawab, “Wa’alaikumsalam, Farhan. Apa kabar?”

Aliran hangat di hati Farhan seolah meyakinkan dirinya. “Alhamdulillah, baik. Saya sering melihat Aisyah di sini, sering mengikuti kajian?”

Aisyah mengangguk, matanya bersinar lembut. “Iya, saya merasa tenang kalau ikut kajian. Di sini saya bisa belajar dan mengingatkan diri untuk selalu mendekat pada Allah.”

Farhan mengangguk penuh pengertian. “Saya pun merasakan hal yang sama. Semakin sering saya datang ke sini, semakin saya sadar bahwa dunia ini hanya sementara.”

Aisyah tersenyum, menundukkan pandangan sejenak. “Kita hanya bisa berharap agar langkah-langkah kita diberkahi.”

Percakapan sederhana itu membuat Farhan merasa tenang. Meski ia tak banyak bicara, ia merasa sudah lebih dekat mengenal Aisyah. Namun, di balik percakapan singkat ini, Farhan menyadari tantangan besar yang akan ia hadapi.

Jika Aisyah tahu siapa dirinya sebenarnya, seorang miliarder yang menjalani hidup sederhana demi tidak terjebak dalam gemerlap dunia, akankah ia menerima Farhan apa adanya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 146:

    Aisyah menarik napas panjang, lalu menatap Farhan dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, Mas ... apa kamu siap kehilangan semua ini kalau aku bilang nggak?"Farhan yang sedang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. Alisnya mengerut dalam, seperti mencoba memahami maksud sebenarnya dari pertanyaan itu. "Kehilangan semua ini? Kamu maksud apa, Aisyah?" Nada suaranya terdengar tegas, tapi jelas ada kebingungan di sana.Aisyah menghela napas sekali lagi. Tatapannya tetap tertuju pada Farhan, meskipun kini ada sedikit genangan air di sudut matanya. "Aku cuma mau tahu, Mas. Kalau aku bilang aku nggak setuju dengan rencana kamu, apa artinya kamu bakal tinggalkan aku? Kita? Rumah yang udah kita bangun selama ini?"Farhan mendekat, duduk di hadapan Aisyah. "Aisyah, kamu tahu jawabannya nggak sesederhana itu." Suaranya melembut, tapi masih ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Aku nggak pernah punya niat buat ninggalin kamu atau Anya. Tapi ini so

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 145: Langkah Berat di Antara Bintang

    Aisyah masih berdiri di depan jendela kamar. Udara malam yang dingin menyusup perlahan dari sela-sela kaca, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia memeluk dirinya sendiri, mengusap lengan dengan kedua tangan. Dari kasur, Farhan memandanginya dengan napas teratur. Ketenangan itu tidak bertahan lama ketika suara lirih Aisyah akhirnya memecah keheningan."Mas ...," Aisyah tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada bintang di langit. "Aku tahu ... kamu ada sesuatu yang belum kamu kasih tahu ke aku, kan?"Farhan terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi tampak rileks berubah serius. Ia bangkit dari kasur, menarik napas panjang, dan menghampiri Aisyah. Tangannya meraih bahu istrinya dengan lembut."Aku nggak tahu harus mulai dari mana," ujar Farhan pelan.Aisyah akhirnya menoleh. Tatapan matanya lemah, tapi ada sesuatu di dalamnya yang menuntut jawaban. "Kalau itu tentang kita, aku mau tahu sekarang, Mas."Farhan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 144:

    Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia tahu Farhan tidak akan menjawab. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya dipenuhi rasa cemas. Suaminya itu terlalu sering memilih diam, menyimpan semua beban untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat Aisyah merasa seperti berdiri di ujung tebing-seolah ia tidak tahu kapan angin kencang akan datang, menghancurkan keseimbangannya. Namun kali ini, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang keheningan. Aisyah menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. "Mas," panggilnya pelan. Tangannya kini menggenggam cangkir teh hangat, yang sejak tadi hanya ia pandangi tanpa minum. Farhan mengangkat wajah dari layar ponsel. "Iya, Sayang?" Nada suaranya lembut, seperti biasa. Tapi Aisyah menangkap sesuatu yang lain di sana. Kelelahan, mungkin. "Aku mau bilang makasih ... buat semuanya," ucap Aisyah, suaranya nyaris seperti bisikan. Farhan mengerutkan kening. Ia meletakkan ponsel di meja, memperhatikan istrinya dengan cermat. "Kamu k

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 143: Next

    "Tarik napas dalam-dalam, tahan selama tiga detik, lalu hembuskan perlahan. Ulangi beberapa kali sampai kamu merasa lebih tenang."Aisyah mencoba mengikuti, meskipun masih terlihat ragu. Matanya menatap Farhan yang duduk di hadapannya, penuh perhatian. Tangannya gemetar saat dia menekan lututnya sendiri, berusaha keras menenangkan diri. Ruang tamu rumah mereka masih terbungkus keheningan, hanya ada suara napas Aisyah yang berat dan sedikit tersendat."Pelan-pelan aja, Mas di sini," ucap Farhan lembut, mencoba memberikan rasa aman.Aisyah menarik napas lagi, kali ini lebih dalam. Matanya terpejam, mencoba mengusir gelombang kecemasan yang terus menghantam pikirannya. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Dadanya seakan dihimpit sesuatu yang berat. Ia membuka mata dengan cepat, seolah-olah mencari udara yang lebih segar."Mas, aku gak bisa," katanya, suaranya bergetar. "Aku udah coba, tapi ... tetep aja rasanya kayak ... kayak aku gak bisa bernapas. Ini kenapa, sih?" Farh

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 142: Luka yang Mulai Terbuka

    Aisyah menggeleng. "Aku malu, Mas. Aku takut kamu nggak akan mau terima aku kalau kamu tahu."Farhan menggenggam tangan istrinya erat, mencoba menyampaikan ketulusan yang mungkin tidak bisa diungkapkan hanya lewat kata-kata. "Aku nggak peduli masa lalumu, Sayang. Aku cuma peduli sama kamu. Dan aku mau kamu tahu, aku di sini buat kamu."Aisyah terdiam, bibirnya bergetar seolah ada ribuan kata yang ingin keluar tapi tertahan. Matanya yang sembab karena air mata menatap Farhan dalam-dalam. Seolah ia sedang mencari sesuatu-mungkin keyakinan, mungkin kepastian. Atau mungkin, ia hanya ingin percaya bahwa Farhan benar-benar ada untuknya."Mas ...," Aisyah memanggil pelan, suaranya hampir tenggelam oleh isakan kecil. "Aku ini ... rusak."Farhan menghela napas dalam, tapi tidak melepaskan genggamannya. "Kamu nggak rusak, Aisyah. Kamu manusia. Semua orang punya luka. Tapi luka itu nggak bikin kamu rusak."Aisyah masih ragu. Ia menunduk, menghindari

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 141: Retakan di Balik Obsesi

    Farhan berusaha tersenyum, meskipun ia tahu senyumnya tak meyakinkan. "Nggak ada apa-apa, sayang. Cuma pesan kerjaan."Tapi pikirannya terus berputar. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa hubungannya dengan Aisyah? Dan ... apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ponselnya masih ia genggam erat, seolah takut kalau pesan itu tiba-tiba lenyap begitu saja. Di depannya, Aisyah menatapnya dengan wajah penuh curiga."Mas yakin nggak ada apa-apa?" Aisyah bertanya lagi, suaranya pelan tapi tegas. Matanya yang biasanya lembut terasa seperti sedang menyelidiki. "Kenapa Mas kelihatan gugup gitu?"Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, jika ia menjawab dengan nada salah, Aisyah pasti akan semakin menekan. "Aku beneran nggak apa-apa," jawabnya, kali ini mencoba terdengar lebih santai. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, seolah ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu disembunyikan.Tapi Aisyah tetap tidak puas. Ia melipat tangan di dada, duduk bersandar di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status