LOGINFarhan menarik napas panjang saat memasuki halaman Masjid Raya yang luas dan megah. Masjid ini selalu menjadi tempat pelariannya dari gemerlap dunia yang sebenarnya bisa ia miliki dengan mudah. Meski memiliki segalanya, ia merasa tidak pernah benar-benar puas. Di sinilah, di tempat sederhana dan penuh ketenangan ini, ia menemukan kedamaian yang tak bisa dibeli dengan harta.
Pandangannya menyapu seluruh halaman masjid. Di ujung sana, ia melihat sekumpulan perempuan tengah berbicara sambil tersenyum. Salah satu dari mereka menarik perhatiannya. Mengenakan kerudung sederhana berwarna pastel, ia terlihat begitu teduh, seperti embun yang menyelimuti bunga di pagi hari. Cara gadis itu tertawa kecil sambil menundukkan pandangannya, membuat Farhan merasa ada yang istimewa pada dirinya. “Siapa dia?” batinnya berbisik, tanpa sadar ia tersenyum kecil. Namun, Farhan segera menepis rasa itu. Bagaimana pun, ia tahu bahwa jika ia ingin mendekati gadis seperti itu, ia harus melakukannya dengan cara yang benar. Di masjid ini, ia tidak sedang mencari cinta duniawi, tetapi hatinya berkata lain ketika melihat gadis itu. Ia teringat kembali ajaran yang selalu diajarkan ustaznya, bahwa wanita yang baik adalah anugerah dari Allah untuk mereka yang menjaga diri. Farhan pun berniat untuk mengenalinya dengan cara yang tidak melanggar batas agama. Selesai melaksanakan shalat sunnah, Farhan berdiri di sudut masjid sambil memandangi sekeliling. Namun, matanya kembali tertuju pada gadis yang sama. Kali ini, gadis itu sedang duduk sendirian, menunduk, membaca Al-Qur’an dengan suara lembut yang terdengar lirih. Farhan merasa tenang hanya dengan mendengarnya, seperti menemukan pose di tengah gurun yang gersang. “Maaf, Mas, permisi,” sebuah suara tiba-tiba menyadarkannya dari lamunannya. Farhan menoleh dan melihat seorang laki-laki tua yang hendak lewat di hadapannya. “Oh, silakan, Pak,” jawabnya sambil tersenyum sopan. Setelah pria itu berlalu, Farhan kembali mencari sosok gadis itu, tetapi ia sudah tidak berada di sana. Farhan merasa sedikit kecewa, namun ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berakhir di sini. Jika Allah berkehendak, ia pasti akan dipertemukan lagi dengan gadis itu. --- Beberapa hari kemudian, Farhan kembali ke masjid yang sama, berharap bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Perasaan ini begitu aneh baginya. Selama ini, ia dikenal sebagai seseorang yang cuek, tidak mudah terpesona dengan kecantikan semata. Namun, ada sesuatu pada gadis itu yang membuat hatinya tenang sekaligus berdebar. Setelah shalat Jumat selesai, Farhan keluar dari masjid sambil memperhatikan kerumunan. Dan di sana, di sudut teras masjid, ia melihat gadis itu lagi. Kali ini, gadis itu sedang berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang tampak akrab dengannya. Farhan melihat gadis itu tersenyum ramah, membuat hatinya semakin yakin bahwa gadis ini bukanlah sembarang orang. Saat itulah, Hana, sahabat gadis itu, menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memandang Aisyah. Ia berbisik di telinga Aisyah, membuat gadis itu menoleh ke arah Farhan. Tatapan mereka bertemu untuk sesaat. Farhan segera menundukkan pandangan, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Aisyah pun tampak sedikit terkejut dan cepat-cepat mengalihkan tatapannya, kembali berbicara dengan wanita paruh baya tersebut. “Astaghfirullah …,” gumam Farhan pelan, berusaha mengendalikan hatinya. Meski demikian, ia tahu bahwa perasaan ini berbeda. Ia merasakan sesuatu yang tulus, sebuah keinginan untuk mengenal dan memahami gadis itu lebih jauh, tanpa melanggar aturan agama. --- Beberapa hari kemudian, Farhan mengambil langkah besar. Ia memutuskan untuk bertanya kepada salah seorang imam masjid yang dikenalnya baik. Mungkin, dari sana ia bisa mendapatkan informasi tentang gadis yang mencuri hatinya dengan sederhana. “Assalamu’alaikum, Ustaz,” sapa Farhan ketika menemui Ustaz Hasan seusai shalat Maghrib. “Wa’alaikumsalam, Farhan. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Ustaz Hasan dengan senyuman hangat. “Begini, Ustaz ...,” Farhan menunduk sejenak, merasa sedikit canggung. “Saya ingin bertanya... soal seseorang yang sering saya lihat di masjid ini.” Ustaz Hasan mengangguk, memberi isyarat agar Farhan melanjutkan. “Namanya Aisyah, Ustaz,” lanjutnya. “Dia sering datang ke sini, bersama beberapa teman dakwahnya.” “Oh, Aisyah? Dia memang seorang aktivis dakwah di lingkungan ini. Gadis yang baik dan penuh semangat. Kenapa, Farhan?” tanya Ustaz Hasan, menatapnya penuh pengertian. Farhan tersenyum malu. “Saya ... tertarik padanya, Ustaz. Tapi saya sadar, jika saya ingin mengenalnya lebih jauh, saya harus melakukannya secara Islami.” Ustaz Hasan tersenyum lebar mendengar niat tulus Farhan. “Maka, niatkan dengan hati yang lurus, Farhan. Ingat, jodoh ada di tangan Allah. Jika kamu benar-benar ingin mengenalnya, sampaikan niatmu dengan baik, tapi jangan tergesa-gesa. Dekati dengan cara yang Allah ridhoi.” Farhan mengangguk, merasa tenang. Ia tahu ini bukan perkara mudah, tapi ia siap menjalani proses ini dengan sabar. --- Pada hari Jumat berikutnya, Farhan melihat Aisyah lagi. Kali ini, ia berdiri di pelataran masjid sambil menunggu temannya. Farhan memberanikan diri untuk mendekatinya, tetapi tetap menjaga jarak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. “Assalamu’alaikum,” sapa Farhan dengan suara yang lembut. Aisyah menoleh dan menjawab dengan sopan, “Wa’alaikumsalam.” Wajahnya terlihat sedikit bingung, tetapi ia tetap tenang. “Maaf kalau saya mengganggu, nama saya Farhan,” ujar Farhan memperkenalkan diri. “Saya sering melihat Anda di sini, dan ... saya merasa terkesan dengan keteguhan iman Anda.” Aisyah tersenyum tipis, sedikit tersipu. “Terima kasih, Farhan. Nama saya Aisyah.” Farhan merasakan jantungnya berdebar, tapi ia tetap tenang. “Saya harap tidak salah jika saya ingin mengenal Anda lebih baik, dengan cara yang sesuai tuntunan agama tentunya.” Aisyah terdiam sejenak, menatap Farhan dengan pandangan penuh makna. “Farhan, terima kasih atas niat baik Anda. Namun, saya harap Anda tahu bahwa saya tidak mencari hubungan yang tidak sesuai syariat.” Farhan mengangguk, menghormati ketegasan Aisyah. “Saya paham, Aisyah. Saya pun memiliki niat yang sama. Jika Allah mengizinkan, saya akan menunggu hingga saat yang tepat datang.” Aisyah tersenyum, kali ini sedikit lebih tulus. “Baiklah, Farhan. Semoga Allah membimbing kita pada jalan yang benar.” Percakapan itu berakhir dengan salam yang tulus. Farhan merasa bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang panjang. Meskipun hanya obrolan singkat, ia merasa begitu dekat dengan Aisyah. Dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga niat ini tetap lurus. --- Hari-hari berikutnya, Farhan terus menjalani rutinitasnya, namun kini ada semangat baru dalam hatinya. Setiap kali mengingat Aisyah, ia merasa memiliki alasan lebih kuat untuk mendekatkan diri pada Allah. Baginya, Aisyah adalah cerminan dari kesederhanaan yang selama ini ia cari. Namun, di balik keteguhan hatinya, Farhan menyadari bahwa ini tidak akan mudah. Aisyah bukan gadis biasa; dia memiliki prinsip yang kuat dan keinginan untuk tetap menjaga kehormatannya. Farhan tahu bahwa untuk mendekati Aisyah, ia harus berani menghadapi tantangan, termasuk menyembunyikan statusnya sebagai miliarder yang selama ini selalu disembunyikannya. Di tengah kegundahan itu, tiba-tiba pesan singkat dari Ustaz Hasan masuk ke ponselnya. “Farhan, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Saya rasa, ini penting untuk kamu ketahui.” Farhan tertegun, sedikit bingung. Apa yang ingin disampaikan oleh Ustaz Hasan? Apakah ini terkait dengan niatnya untuk mengenal Aisyah lebih jauh? Tanpa ragu, ia segera membalas pesan itu dan berjanji akan menemui Ustaz Hasan setelah shalat Isya malam ini.Aisyah menarik napas panjang, lalu menatap Farhan dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, Mas ... apa kamu siap kehilangan semua ini kalau aku bilang nggak?"Farhan yang sedang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. Alisnya mengerut dalam, seperti mencoba memahami maksud sebenarnya dari pertanyaan itu. "Kehilangan semua ini? Kamu maksud apa, Aisyah?" Nada suaranya terdengar tegas, tapi jelas ada kebingungan di sana.Aisyah menghela napas sekali lagi. Tatapannya tetap tertuju pada Farhan, meskipun kini ada sedikit genangan air di sudut matanya. "Aku cuma mau tahu, Mas. Kalau aku bilang aku nggak setuju dengan rencana kamu, apa artinya kamu bakal tinggalkan aku? Kita? Rumah yang udah kita bangun selama ini?"Farhan mendekat, duduk di hadapan Aisyah. "Aisyah, kamu tahu jawabannya nggak sesederhana itu." Suaranya melembut, tapi masih ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Aku nggak pernah punya niat buat ninggalin kamu atau Anya. Tapi ini so
Aisyah masih berdiri di depan jendela kamar. Udara malam yang dingin menyusup perlahan dari sela-sela kaca, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia memeluk dirinya sendiri, mengusap lengan dengan kedua tangan. Dari kasur, Farhan memandanginya dengan napas teratur. Ketenangan itu tidak bertahan lama ketika suara lirih Aisyah akhirnya memecah keheningan."Mas ...," Aisyah tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada bintang di langit. "Aku tahu ... kamu ada sesuatu yang belum kamu kasih tahu ke aku, kan?"Farhan terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi tampak rileks berubah serius. Ia bangkit dari kasur, menarik napas panjang, dan menghampiri Aisyah. Tangannya meraih bahu istrinya dengan lembut."Aku nggak tahu harus mulai dari mana," ujar Farhan pelan.Aisyah akhirnya menoleh. Tatapan matanya lemah, tapi ada sesuatu di dalamnya yang menuntut jawaban. "Kalau itu tentang kita, aku mau tahu sekarang, Mas."Farhan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu
Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia tahu Farhan tidak akan menjawab. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya dipenuhi rasa cemas. Suaminya itu terlalu sering memilih diam, menyimpan semua beban untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat Aisyah merasa seperti berdiri di ujung tebing-seolah ia tidak tahu kapan angin kencang akan datang, menghancurkan keseimbangannya. Namun kali ini, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang keheningan. Aisyah menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. "Mas," panggilnya pelan. Tangannya kini menggenggam cangkir teh hangat, yang sejak tadi hanya ia pandangi tanpa minum. Farhan mengangkat wajah dari layar ponsel. "Iya, Sayang?" Nada suaranya lembut, seperti biasa. Tapi Aisyah menangkap sesuatu yang lain di sana. Kelelahan, mungkin. "Aku mau bilang makasih ... buat semuanya," ucap Aisyah, suaranya nyaris seperti bisikan. Farhan mengerutkan kening. Ia meletakkan ponsel di meja, memperhatikan istrinya dengan cermat. "Kamu k
"Tarik napas dalam-dalam, tahan selama tiga detik, lalu hembuskan perlahan. Ulangi beberapa kali sampai kamu merasa lebih tenang."Aisyah mencoba mengikuti, meskipun masih terlihat ragu. Matanya menatap Farhan yang duduk di hadapannya, penuh perhatian. Tangannya gemetar saat dia menekan lututnya sendiri, berusaha keras menenangkan diri. Ruang tamu rumah mereka masih terbungkus keheningan, hanya ada suara napas Aisyah yang berat dan sedikit tersendat."Pelan-pelan aja, Mas di sini," ucap Farhan lembut, mencoba memberikan rasa aman.Aisyah menarik napas lagi, kali ini lebih dalam. Matanya terpejam, mencoba mengusir gelombang kecemasan yang terus menghantam pikirannya. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Dadanya seakan dihimpit sesuatu yang berat. Ia membuka mata dengan cepat, seolah-olah mencari udara yang lebih segar."Mas, aku gak bisa," katanya, suaranya bergetar. "Aku udah coba, tapi ... tetep aja rasanya kayak ... kayak aku gak bisa bernapas. Ini kenapa, sih?" Farh
Aisyah menggeleng. "Aku malu, Mas. Aku takut kamu nggak akan mau terima aku kalau kamu tahu."Farhan menggenggam tangan istrinya erat, mencoba menyampaikan ketulusan yang mungkin tidak bisa diungkapkan hanya lewat kata-kata. "Aku nggak peduli masa lalumu, Sayang. Aku cuma peduli sama kamu. Dan aku mau kamu tahu, aku di sini buat kamu."Aisyah terdiam, bibirnya bergetar seolah ada ribuan kata yang ingin keluar tapi tertahan. Matanya yang sembab karena air mata menatap Farhan dalam-dalam. Seolah ia sedang mencari sesuatu-mungkin keyakinan, mungkin kepastian. Atau mungkin, ia hanya ingin percaya bahwa Farhan benar-benar ada untuknya."Mas ...," Aisyah memanggil pelan, suaranya hampir tenggelam oleh isakan kecil. "Aku ini ... rusak."Farhan menghela napas dalam, tapi tidak melepaskan genggamannya. "Kamu nggak rusak, Aisyah. Kamu manusia. Semua orang punya luka. Tapi luka itu nggak bikin kamu rusak."Aisyah masih ragu. Ia menunduk, menghindari
Farhan berusaha tersenyum, meskipun ia tahu senyumnya tak meyakinkan. "Nggak ada apa-apa, sayang. Cuma pesan kerjaan."Tapi pikirannya terus berputar. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa hubungannya dengan Aisyah? Dan ... apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ponselnya masih ia genggam erat, seolah takut kalau pesan itu tiba-tiba lenyap begitu saja. Di depannya, Aisyah menatapnya dengan wajah penuh curiga."Mas yakin nggak ada apa-apa?" Aisyah bertanya lagi, suaranya pelan tapi tegas. Matanya yang biasanya lembut terasa seperti sedang menyelidiki. "Kenapa Mas kelihatan gugup gitu?"Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, jika ia menjawab dengan nada salah, Aisyah pasti akan semakin menekan. "Aku beneran nggak apa-apa," jawabnya, kali ini mencoba terdengar lebih santai. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, seolah ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu disembunyikan.Tapi Aisyah tetap tidak puas. Ia melipat tangan di dada, duduk bersandar di







