LOGINMalam yang hangat membalut kota saat Farhan melangkah keluar dari masjid. Langit cerah, bintang-bintang tampak bersinar lembut di atas sana, seolah ikut mendengarkan doa-doa yang baru saja dipanjatkan para jamaah. Suasana damai setelah kajian terasa menenangkan, namun hati Farhan justru bergejolak.
Langkah kakinya pelan saat ia menyusuri pelataran masjid yang mulai sepi. Bayangan wajah Aisyah masih tertinggal di benaknya, mengisi relung hati dengan rasa kagum yang tak biasa. Sifat sederhana dan keteguhan iman Aisyah memikatnya lebih dari apapun, lebih dari segala kemewahan yang ia miliki. Tapi di sanalah letak kegundahan Farhan. Bisakah ia mendekati Aisyah tanpa membiarkan statusnya sebagai seorang miliarder terungkap? “Ya Allah, jika memang ini perasaan yang Engkau kehendaki, maka dekatkanlah dia dalam hidupku dengan cara yang baik. Jangan biarkan hatiku terjerat duniawi dalam mengejarnya.” Farhan menutup matanya sejenak, merasakan kedamaian doa yang ia panjatkan. Perlahan, ia melanjutkan langkahnya menuju mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, seolah setiap detik memberinya waktu untuk merenungkan segala keputusan yang harus ia ambil. Farhan tahu, cinta yang ia rasakan ini tidak bisa dibiarkan tumbuh tanpa niat yang tulus dan suci. Baginya, Aisyah bukan hanya sosok wanita, tetapi cerminan dari kehidupan yang sederhana dan penuh makna, sesuatu yang tak ternilai oleh uang. Saat memasuki mobilnya, Farhan terdiam sejenak. Ia menatap kursi penumpang di sampingnya, membayangkan Aisyah duduk di sana, mengenakan hijab sederhana dengan senyum lembut yang menghiasi wajahnya. Bayangan itu membuatnya tersenyum kecil, namun segera diiringi oleh kekhawatiran. “Apakah aku bisa jujur padanya tentang siapa aku sebenarnya ?” Farhan bergumam pada dirinya sendiri. Ketika cinta bertemu dengan ketulusan, tidak seharusnya ada rahasia, namun ia juga sadar bahwa kekayaan yang dimilikinya bisa menjadi beban dalam hubungan ini. --- Hari-hari berikutnya, Farhan semakin tekun dalam ibadah dan doanya. Setiap malam, ia memohon petunjuk dari Allah agar perasaannya ini tidak mengarah pada hal yang salah. Ia berusaha menjaga niatnya tetap tulus, tidak ingin tergoda untuk menggunakan hartanya hanya demi mendapatkan perhatian dari Aisyah. Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha muda, ia menyempatkan diri untuk menghadiri kajian di masjid yang sama setiap Jumat malam. Semakin sering ia datang, semakin ia merasa menemukan kedamaian yang jarang ia rasakan sebelumnya. Suasana masjid, suara lembut tilawah, dan nasihat Ustaz Hasan menjadi pelipur bagi hatinya yang resah. Pada suatu malam, selepas kajian, Farhan berusaha mencari kesempatan untuk berbicara dengan Aisyah. Ia menunggu di luar masjid, berharap bisa menyapanya secara singkat. Namun, kali ini tampaknya kesempatan itu belum datang. Aisyah terlihat bersama teman-temannya, dan Farhan merasa enggan untuk mengganggu mereka. Saat hendak melangkah pulang, suara lembut Ustaz Hasan memanggilnya. “Farhan, ada waktu sebentar ?” Farhan menoleh dan tersenyum. “Tentu, Ustaz. Ada yang bisa saya bantu ?” Ustaz Hasan tersenyum hangat, mengisyaratkan Farhan untuk duduk di bangku kayu di depan masjid. “Saya merasa, kamu belakangan ini sering datang ke kajian. Ada sesuatu yang sedang kamu cari, Farhan ?” Farhan terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Ustaz. Saya … ingin lebih mendekatkan diri pada Allah. Dan … ada seseorang yang membuat saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik.” Mendengar itu, Ustaz Hasan mengangguk penuh pemahaman. “Cinta yang tulus adalah cinta yang bisa mendekatkan kita pada Allah. Tapi ingat, Farhan, cinta juga adalah ujian. Jangan sampai niatmu ternoda hanya karena rasa ingin memiliki.” Farhan menunduk, menyerap kata-kata itu dalam hatinya. Ia tahu, perjuangan untuk menjaga keikhlasan ini tidak mudah, terutama ketika cinta itu sendiri membawa konflik dalam batinnya. “Saya hanya ingin mendekatinya dengan cara yang baik, Ustaz. Saya tidak ingin menaklukkan hatinya dengan kekayaan atau apa pun selain niat yang tulus.” Ustaz Hasan menepuk pundaknya, memberikan semangat. “Kalau begitu, sabarlah, Farhan. Doa yang kamu panjatkan akan menemukan jalannya jika niatmu benar. Jangan terburu-buru, biarkan semuanya berjalan sesuai kehendak-Nya.” Setelah perbincangan singkat itu, Farhan merasa sedikit lebih tenang. Ia menyadari bahwa apa pun yang ia rasakan saat ini adalah bagian dari proses yang harus ia jalani dengan sabar dan penuh kesabaran. --- Waktu berlalu, dan suatu sore, Farhan memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu bersama mereka, dan pertemuan ini selalu menjadi momen untuk meresapi kembali nilai-nilai yang diajarkan keluarganya sejak kecil. Ayahnya, Pak Rahman, adalah sosok yang tegas namun penuh cinta, sedangkan ibunya selalu menjadi sumber kelembutan dan nasihat yang menyejukkan. Saat mereka sedang berbincang di ruang keluarga, ibunya menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. “Farhan, belakangan ini kamu terlihat berbeda. Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak ?” Farhan tersenyum tipis. “Mungkin saya sedang … dalam proses menemukan arah hidup yang lebih baik, Bu. Ada seseorang yang membuat saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik.” Ibunya tersenyum penuh harap. “Semoga itu wanita yang baik dan bisa membimbingmu di jalan yang benar.” “Aamiin,” balas Farhan sambil tersenyum. “Dia memang wanita yang baik, Bu. Sangat sederhana dan berprinsip kuat dalam agamanya. Tapi … saya khawatir jika dia tahu siapa saya sebenarnya.” Ayahnya yang mendengar pembicaraan itu menatapnya serius. “Farhan, jika kamu merasa ini adalah jalan yang baik, jangan takut dengan status yang kamu miliki. Jika niatmu tulus, Allah akan memberikan jalan.” Farhan mengangguk, menyimpan nasihat itu dalam hatinya. Ia tahu bahwa untuk mendekati Aisyah, ia harus berserah penuh pada kehendak Allah. Di saat yang sama, ada rasa takut yang terus membayangi — takut jika suatu saat Aisyah mengetahui kebenaran tentang dirinya dan justru menjauh. --- Suatu malam, Farhan kembali duduk di masjid seusai kajian. Ia duduk sendiri, merenungi perasaan dan niat yang semakin kuat dalam hatinya. Dalam doa yang panjang, ia memohon agar Allah memberinya petunjuk dan keberanian untuk menjalani jalan ini tanpa mengkhianati keikhlasannya. Tiba-tiba, suara Aisyah terdengar dari arah belakangnya. “Assalamu’alaikum, Farhan. Maaf, mengganggu .” Farhan terkejut namun segera menenangkan dirinya. “Wa’alaikumsalam, Aisyah. Tidak mengganggu sama sekali .” Aisyah tersenyum, duduk di dekatnya. “Saya sering melihat kamu di kajian ini, sepertinya sangat rajin hadir setiap Jumat.” Farhan tersenyum kecil. “Iya, saya merasa damai setiap kali datang ke sini. Kajian ini selalu mengingatkan saya untuk tidak terjerat dalam kesenangan dunia yang sementara.” Mata Aisyah berbinar, mendengarkan ucapannya dengan penuh perhatian. “Banyak orang lupa akan hal itu, padahal hidup ini sementara. Saya sangat menghargai orang yang punya kesadaran seperti itu.” Perkataan Aisyah membuat hati Farhan bergetar. Ia tahu, wanita di hadapannya ini bukan hanya berbicara tentang prinsip, tetapi juga menjalankannya dengan sepenuh hati. Sambil menatap wajah lembut Aisyah, ia merasakan keinginan yang kuat untuk membuka hatinya dengan lebih jujur. “Jika suatu saat kamu tahu siapa saya sebenarnya … apakah kamu akan memandang saya dengan cara yang berbeda ?” tanyanya pelan, dengan nada suara yang penuh keraguan. Aisyah terdiam, tampak berpikir. “Saya tidak tahu, Farhan. Mungkin saya akan kaget, tapi jika seseorang tulus dan menjalankan agamanya dengan benar, maka status atau harta bukan hal utama.” Mendengar jawaban itu, Farhan merasa harapan tumbuh dalam hatinya. Namun, perasaan cemas itu tetap ada. Ia tahu, suatu saat kebenaran ini tidak akan bisa disembunyikan selamanya. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa agar apa yang ia rasakan ini dapat ia jaga dengan baik."Mas, kamu nggak pernah mikir buat kembali lagi ke sini suatu saat nanti?" Aisyah memecah keheningan sore itu. Suaranya lembut, tapi ada nada ragu yang terselip. Ia menatap Farhan yang sedang duduk di taman kecil belakang rumah baru mereka. Bayangan senja memulas wajah suaminya yang terlihat tenang, namun pikirannya jelas sedang mengembara. Farhan mendongak, matanya bertemu dengan mata Aisyah. Ia lalu tersenyum kecil. "Aku pikirin. Tapi sekarang prioritas kita di sini, Sayang. Kamu tahu itu." "Tapi ... ada hal-hal yang nggak bisa kita tinggalkan di sana," lanjut Aisyah pelan. Matanya menerawang, mengingat semua yang pernah mereka lalui di tanah air. Suara kereta api di kejauhan, aroma masakan ibu di dapur, dan tawa Safira yang dulu sering memecah kesunyian rumah mereka. Farhan mendesah. Ia menatap dua bayi kecil mereka yang sedang bermain di atas selimut di rumput. Salah satu bayi tertawa kecil saat kakaknya menarik mainan
"Kalau nanti di tempat baru ... kita menemukan hal-hal yang nggak kita duga, apa yang akan kamu lakukan?"Farhan menatap wajah Aisyah dengan raut serius. Suaranya terdengar berat, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang lebih dalam-sebuah ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat.Aisyah terdiam sesaat. Ia memandangi suaminya dengan mata yang penuh harap, meski pikirannya sedang berkecamuk. Jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan Farhan yang lebih besar. "Mas, aku tahu ini nggak mudah ... tapi aku percaya, apa pun yang kita hadapi, kita bisa selesaikan. Bersama."Farhan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Tapi, kamu tahu kan, ini bukan cuma soal kita, Sayang. Ada dua bayi yang sekarang bergantung sama kita. Kalau kita salah langkah ....""Kita nggak akan salah langkah, Mas," potong Aisyah lembut, namun tegas. "Aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan takut. Kalau kita terus mikirin kemungkinan buruk, kita nggak aka
"Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha
"Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.
"Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku







