Hari itu, suasana di rumah Pak Ahmad terasa lebih tegang dari biasanya. Aisyah yang baru saja selesai shalat Subuh, duduk di ruang tengah dengan wajah yang tak bisa disembunyikan. Matanya masih merah, bekas begadang semalam setelah menemukan artikel yang mengguncang seluruh keyakinannya tentang Farhan. Pikiran-pikiran yang berkecamuk, rasa kecewa yang tumbuh semakin besar, dan rasa bingung yang mendalam, semuanya bercampur dalam satu kegelisahan. Tapi hari ini, ia harus menghadapi kenyataan itu-sesuatu yang ia takuti, yang harus dihadapi dengan kepala dingin.
Pagi ini, Pak Ahmad meminta Farhan untuk datang ke rumah mereka. Aisyah tahu betul bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di baliknya, sesuatu yang tak bisa lagi dihindari.Saat Farhan datang, ia disambut dengan tatapan tajam Pak Ahmad yang duduk di ruang tamu, sementara Aisyah hanya bisa diam, duduk di sudut ruangan. Farhan mengangguk hormat kepada Pak Ahmad, meski di dalamPagi itu, Aisyah duduk termenung di teras rumahnya, memandang halaman yang tampak tenang. Burung-burung berkicau di pohon-pohon yang rindang, seolah tak peduli dengan kegelisahan yang mengganggu hati Aisyah. Pikirannya berlarian ke sana kemari, memutar ulang percakapan panjang yang baru saja terjadi. Kata-kata Farhan, kata-kata ayahnya, dan bahkan apa yang ia temui dalam artikel bisnis yang menunjukkan status kekayaan Farhan, semua itu membingungkan dirinya. Di satu sisi, ia merasa dikhianati oleh kebohongan yang terungkap begitu lama disembunyikan. Namun, di sisi lain, hatinya berontak, mempertanyakan apakah Farhan benar-benar berdusta ataukah ada alasan di balik semua ini.Aisyah, menggenggam erat secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pandangannya kosong, terfokus pada sesuatu yang tak terlihat. Sejak awal, ia tahu bahwa ia harus memilih jalan yang benar, jalan yang tidak hanya berdasarkan pada perasaan, tetapi juga prinsip agama yang selama ini ia pegang teguh. Namun, k
Pagi itu, Aisyah duduk di beranda rumahnya, menatap sekeliling dengan perasaan yang berat. Udara pagi yang sejuk tidak mampu mengusir kegelisahan yang meresap dalam hatinya. Di kejauhan, tampak anak-anak bermain di halaman masjid, sementara ibu-ibu berbincang di warung kopi. Semua terasa biasa, namun bagi Aisyah, dunia seakan terhenti. Perasaan bingung, cemas, dan ragu bercampur aduk dalam dadanya. Apa yang seharusnya ia lakukan? Haruskah ia percaya pada Farhan, ataukah ia akan kembali ke jalur yang lebih aman, menjauh dari segala yang tidak pasti?Pikirannya melayang ke masa lalu, saat pertama kali ia bertemu Farhan. Sosok yang sederhana, penuh semangat dalam berdakwah, yang selalu ada untuk membantu orang lain. Tetapi, setelah semua yang terjadi, setelah semuanya terbuka tentang kekayaan Farhan, rasa sakit itu muncul. Ia merasa seperti dikhianati, meski ia tahu, pada dasarnya, Farhan tidak pernah menyembunyikan dirinya. Hanya saja, Aisyah merasa jauh lebih sulit untuk men
Pagi itu, Farhan duduk di ruang kerjanya, memandang lembaran-lembaran dokumen yang tersebar di mejanya. Semua itu adalah rencana dan perhitungan untuk proyek sosial yang sedang ia jalankan-proyek yang menuntut lebih dari sekadar ide atau niat baik, tetapi juga pengorbanan besar. Setelah percakapan dengan Pak Ahmad, segala yang sebelumnya Farhan anggap biasa, kini terasa berbeda. Ia sudah bersiap untuk melepaskan sebagian besar aset pribadinya demi memastikan keberlanjutan proyek ini. Semua demi satu hal: membuktikan niatnya yang tulus, bukan hanya untuk Aisyah, tetapi juga untuk diri sendiri, dan tentu saja, untuk masyarakat yang membutuhkan.Farhan menghela napas panjang, menatap layar laptopnya yang menampilkan rencana anggaran dan alur kerja proyek. Ia tahu, jika proyek ini gagal, bukan hanya kepercayaan dari Pak Ahmad yang hilang, tetapi juga kesempatan untuk menunjukkan kepada semua orang, terutama Aisyah, bahwa ia bisa mengorbankan kekayaannya demi sesuatu yang lebih
Pagi itu, langit di atas kota tampak cerah meskipun angin berhembus agak kencang, membawa kesegaran yang menenangkan. Farhan berjalan menyusuri trotoar yang rapi di depan kafe favoritnya, tempat ia sering bertemu dengan Aisyah. Ia memeriksa ponselnya sekali lagi-Aisyah sudah mengirim pesan. "Ketemu di kafe jam 10? Ada yang ingin aku bicarakan."Pesan itu terasa seperti benih harapan yang mulai tumbuh. Farhan tahu ini bukan hanya tentang proyek sosial yang baru saja selesai dengan sukses, meskipun itu juga bagian penting dari pertemuan mereka. Yang lebih besar dari itu adalah percakapan yang sedang menunggu mereka. Percakapan yang bisa menentukan masa depan mereka.Setibanya di kafe, Farhan mencari Aisyah yang sudah duduk di meja yang biasa mereka pilih. Gadis itu terlihat sedikit gelisah, menatap ke luar jendela, tampaknya sedang berpikir keras. Farhan menarik kursi dan duduk di hadapannya."Pagi," ucap Farhan dengan senyum tipis, mencoba mencair
Hari itu, udara terasa lebih panas dari biasanya. Di luar, langit siang yang cerah dipenuhi dengan awan yang bergerak cepat, seakan mencerminkan gejolak yang ada dalam hati Aisyah. Ia duduk di ruang tamu rumahnya, di hadapan kedua orang tuanya. Pak Ahmad duduk di kursi kayu besar, wajahnya masih tampak serius seperti biasanya. Sementara Ibu Aisyah yang duduk di sebelahnya, tampak sedikit lebih rileks, meskipun matanya masih menunjukkan kekhawatiran yang dalam.Aisyah menggigit bibir, menahan diri untuk tidak membuka percakapan lebih dulu. Selama beberapa hari terakhir, setelah semua yang terjadi, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak tahu harus ke mana. Di satu sisi, Farhan telah menunjukkan lebih banyak ketulusan daripada yang ia harapkan. Namun, di sisi lain, Ayahnya, Pak Ahmad, masih belum sepenuhnya menerima kenyataan itu.Ibu Aisyah akhirnya memecah kesunyian yang mencekam. "Pak, kamu harus mulai mempertimbangkan bahwa Farhan telah membuktika
Hari-hari menjelang pernikahan semakin mendekat, dan Aisyah merasa campur aduk. Ada kegembiraan, tetapi juga rasa khawatir yang tak bisa ia hindari. Setelah restu dari ayahnya, semuanya mulai terasa lebih nyata. Farhan, pria yang kini ia cintai, telah membuktikan ketulusannya dengan mengorbankan banyak hal demi hidup yang lebih sederhana. Namun, meski begitu, perjalanan mereka belum sepenuhnya mulus.Di ruang tamu rumah Aisyah yang sederhana namun nyaman, Aisyah sedang duduk di depan laptop, membuka beberapa referensi tentang pernikahan islami yang sederhana. Ia sudah memutuskan, bahwa pernikahan mereka akan tetap sesuai dengan syariat, tanpa embel-embel kemewahan yang tidak perlu. Farhan, yang duduk di sampingnya, ikut menatap layar laptop. Mata mereka bertemu, dan meskipun tampak tenang, keduanya tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidaklah mudah."Aisyah," Farhan memulai, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Aku ingin semuanya sesederhana mungkin. Ini bukan ha
Pernikahan mereka akhirnya terlaksana. Tanpa gemerlap pesta mewah, tanpa hiasan yang mencolok, dan tanpa undangan selebriti yang ramai di media sosial. Hanya ada keluarga terdekat, sahabat-sahabat yang tulus, dan tentunya doa yang mengalir tanpa henti. Itulah yang Farhan dan Aisyah inginkan. Sesederhana itu. Dan meski ada banyak suara yang mencoba mengubah keputusan mereka, akhirnya mereka berhasil bertahan pada prinsip yang sudah mereka pegang sejak awal.Farhan dan Aisyah berdiri di pelaminan sederhana yang dihiasi bunga-bunga putih dan dekorasi minimalis yang sangat elegan. Setiap sudut ruangan terasa penuh dengan makna. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang berlebihan. Semua serba sederhana, tapi terasa begitu indah.Aisyah menatap Farhan, dan dalam tatapannya, ia melihat kebahagiaan yang tulus. "Kita berhasil," kata Aisyah dengan suara lembut, menggenggam tangan Farhan erat. "Akhirnya, kita sampai di sini."Farhan tersenyum, namun senyum itu terli
Pernikahan mereka baru saja dimulai. Namun, kehidupan yang sederhana dan penuh ketulusan itu tak pernah terasa begitu penuh makna bagi Farhan dan Aisyah. Kehidupan mereka jauh dari gemerlap dunia yang dulu dikelilingi oleh kesibukan bisnis dan uang. Setiap hari, mereka menjalani rutinitas penuh cinta dan doa, merasakan kebahagiaan yang sederhana-namun memiliki kedalaman yang tak bisa dibeli dengan uang.Suatu sore, setelah shalat Ashar, Aisyah duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat di tangan. Pikirannya teralihkan oleh Hana, sahabat lama yang kerap mengunjunginya. Aisyah selalu merasa nyaman berbicara dengan Hana. Mereka sering berdiskusi tentang dakwah dan kehidupan. Hana adalah sosok yang cerdas dan punya semangat yang tinggi, sama seperti dirinya. Aisyah tak pernah menyangka bahwa kedekatan mereka berdua akan membawa masalah di kemudian hari.Farhan keluar dari ruang kerja, matanya menangkap Aisyah yang sedang asyik dengan teh di tangannya. Wajah istrin
Ledakan kecil yang mengguncang rumah Farhan membuat malam itu berubah menjadi mimpi buruk. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu, dan suara langkah kaki terdengar dari luar, semakin mendekat. Farhan segera meraih pistol yang disembunyikan di dalam laci meja, lalu memberikan isyarat kepada Adnan dan Arman."Cepat ke lantai atas. Amankan Safira," perintah Farhan dengan suara rendah tapi tegas.Arman, yang awalnya terpaku mendengar suara itu, langsung bergerak. Kegelisahan terlihat jelas di wajahnya. "Safira ...," gumamnya sambil berlari ke arah tangga.Aisyah keluar dari dapur dengan wajah panik. "Farhan, apa yang terjadi?"Farhan menatap istrinya sekilas, lalu mendekat. "Aisyah, kamu ikut Arman ke atas. Lindungi Safira. Jangan keluar sampai aku bilang aman.""Tapi, Han-""Nggak ada tapi. Cepat ke atas!" bentaknya, meski suaranya tetap terkontrol. Aisyah menelan ludah, lalu mengangguk sebelum berlari menyusul Arman.Adnan s
Malam itu, suasana rumah Farhan terasa sunyi. Lampu ruang tamu yang temaram memancarkan aura tenang, tetapi di balik dinding-dinding rumah itu, ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Arman duduk di sofa, wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Di hadapannya, Farhan berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya serius, seakan memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya."Aku masih nggak percaya kita bisa sampai di titik ini," ujar Arman, suaranya berat. "Semua ini ... Ratna, Safira, dan sekarang organisasi itu."Farhan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mau nggak mau, kita harus hadapi ini, Man. Kalau kita terus lari, mereka nggak akan berhenti. Safira bisa jadi korban."Arman terdiam. Kata-kata Farhan selalu tepat sasaran, meski terkadang terasa seperti tamparan. Dia menunduk, memandangi secangkir kopi di atas meja. "Aku cuma nggak tahu apakah aku bisa melindungi Safira. Dia masih kecil, Han. Dia nggak tahu apa-apa soal ini semua."
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar rumah Farhan. Setelah kejadian mencekam di rumah sakit, mereka memutuskan untuk sementara waktu tinggal bersama di rumah besar Farhan yang terletak di pinggiran kota. Meski sederhana dibandingkan properti lain yang dimilikinya, rumah ini tetap terasa nyaman, terutama dengan pemandangan kebun luas di belakangnya. Safira sedang duduk di lantai ruang keluarga, bermain dengan boneka kecil yang diberikan Farhan. Wajahnya tampak ceria, tapi sesekali ia melirik ke arah ayahnya, Arman, yang duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ada sesuatu di wajah Arman yang membuat Safira tahu bahwa pria itu sedang memikirkan hal berat. "Safira, sayang. Kamu lapar?" suara lembut Farhan memecah keheningan. Ia baru saja selesai membuat teh di dapur, membawa nampan kecil berisi cangkir dan beberapa kue kering. Safira menggeleng kecil, namun matanya berbinar saat melihat kue di tangan Farhan. "Aku mau kuenya aja, O
Lorong rumah sakit malam itu terasa begitu sunyi, tapi ada sesuatu yang mencurigakan di udara. Farhan berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan wajah serius. Sebuah panggilan telepon baru saja ia tutup. Ia menoleh ke arah Arman yang sedang duduk di sofa kecil sambil menemani Safira yang tertidur lelap di pangkuannya."Arman," kata Farhan, suaranya rendah tapi tegas. "Mereka bergerak."Arman mengangkat wajahnya, matanya tajam. "Kamu yakin?"Farhan mengangguk pelan. "Barusan aku dapat kabar dari Jamil. Mereka sudah dekat. Kemungkinan besar, mereka akan menyerang malam ini."Arman menghela napas panjang. Ia memandangi Safira yang terlelap dengan wajah polos, tak tahu apa-apa soal bahaya yang mengancam. "Kita nggak bisa biarkan mereka sampai ke sini, Han. Safira harus selamat."Farhan merapatkan jaketnya, lalu berjalan ke arah pintu. "Aku sudah hubungi polisi. Mereka bilang butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke sini. Tapi kita ta
Suasana di ruang tunggu rumah sakit masih dipenuhi ketegangan. Farhan duduk dengan pandangan kosong, sementara Arman bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Wajah lelah mereka terlihat jelas, tetapi pikiran mereka terlalu sibuk untuk memikirkan rasa kantuk atau kelelahan fisik. Kabar dari dokter tadi masih terngiang di kepala mereka."Safira selamat ... tetapi kondisinya sangat kritis."Farhan menghela napas panjang, kedua tangannya mengepal erat di lutut. Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Pikirannya berputar-putar, memutar kembali semua yang terjadi malam itu. Jamil yang gugur, Safira yang terluka, dan Arman yang akhirnya berhasil ia selamatkan. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir.Arman menatap saudaranya. Ia tahu Farhan sedang menyalahkan dirinya sendiri. "Farhan," panggilnya pelan.Farhan membuka matanya perlahan, menoleh ke arah Arman. "Ya?" suaranya terdengar berat."Aku tahu ap
Udara malam terasa dingin menusuk tulang, tetapi itu tidak mengurangi tekad Farhan dan timnya. Mereka berjalan dengan langkah hati-hati di sekitar pabrik tua yang gelap dan sunyi, hanya ditemani suara angin yang berdesir pelan. Cahaya bulan samar-samar menerangi area sekitar, cukup untuk membuat mereka melihat jalan, tetapi tidak terlalu terang hingga keberadaan mereka mudah terdeteksi.Farhan berhenti di belakang sebuah dinding beton yang sudah mulai retak. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat kepada timnya untuk berhenti. "Haris," bisiknya pelan. "Cek area sekeliling. Pastikan tidak ada penjaga yang berkeliaran."Haris mengangguk tanpa suara, lalu bergerak dengan tubuh merendah ke arah yang ia tuju. Sementara itu, Farhan, Adnan, dan Jamil tetap di tempat, mengawasi dengan penuh kewaspadaan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detiknya membuat ketegangan di dada mereka semakin berat.Ketika Haris kembali, wajahnya tampak serius. "Ada dua penjaga
Di ruang kerjanya yang sederhana namun rapi, Farhan duduk dengan wajah serius. Di meja, peta besar dan beberapa dokumen berserakan. Matanya menelusuri setiap detail, seolah-olah mencari celah untuk menyusun strategi yang sempurna. Di seberang meja, Adnan, salah satu teman kepercayaannya, duduk sambil memegang lembaran kertas yang sama. "Farhan, rencana ini terlalu berisiko," ujar Adnan, suaranya penuh kekhawatiran. "Kita bahkan belum tahu pasti lokasi tempat Arman ditahan. Kalau sampai salah langkah, akibatnya bisa fatal." Farhan mendongak. Tatapannya tajam, tetapi tidak kehilangan kelembutan yang selalu ada dalam dirinya. "Adnan, ini bukan soal risiko. Ini soal keluarga. Arman adalah saudara saya, dan saya tidak bisa diam saja sementara dia ada di tangan orang-orang seperti itu." Adnan menghela napas panjang. "Aku tahu, Han. Tapi kita harus realistis. Kalau kita gegabah, mereka bisa bertindak lebih ekstrem. Bahkan nyawa Arman bisa teranc
Farhan berdiri di depan pintu rumahnya, memandangi jalanan yang mulai gelap. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Pikirannya penuh, bercampur aduk antara kekhawatiran dan harapan. Pria yang tadi menemuinya di gudang telah memberikan informasi yang mengguncang hatinya: Arman, saudara kembarnya yang selama ini dianggap hilang, ternyata masih hidup. Namun, kabar itu datang dengan harga yang mahal. Di dalam rumah, Aisyah duduk di ruang tamu, memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Farhan. Ia tahu suaminya sedang menghadapi sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih tasbih di meja dan mulai berdoa. "Ya Allah, lindungi dia. Berikan dia kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya," bisiknya pelan. Farhan akhirnya masuk ke dalam rumah, langkahnya berat. Ia melihat Aisyah yang menatapnya dengan penuh tanya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Aisyah lembut. Farhan mengangguk, mesk
Farhan menatap Aisyah, berharap menemukan jawaban di matanya. Tapi Aisyah hanya diam. Tatapan lembutnya menyimpan kebimbangan yang sama. Ia tahu, di satu sisi, Arman adalah saudara kandung Farhan, darah daging yang harus diselamatkan. Tapi di sisi lain, situasi ini menyeret mereka semakin dalam ke dalam bahaya. Aisyah ingin bicara, tapi kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan.Yusuf memecah keheningan. "Farhan, waktu terus berjalan. Kalau kamu terus terjebak dalam kebimbangan ini, kita bisa kehilangan dua hal sekaligus-Arman, dan mungkin, kesempatan untuk memperbaiki semuanya."Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk lagi, kedua tangannya masih mengepal erat. "Aku tahu, Yusuf. Tapi bagaimana aku bisa membuat keputusan ini? Safira masih kecil. Dia butuh aku di sini. Di sisi lain, aku tidak bisa membiarkan Arman begitu saja. Kalau dia benar-benar dalam bahaya, apa aku tega membiarkannya?"Aisyah akhirnya membuka suara, suaranya tenang, tapi sarat d