LOGINKeesokan harinya, di kantor, Farhan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun di sela-sela kesibukan itu, pikirannya terus terbayang pada Aisyah. Ia tahu bahwa perasaannya mulai tumbuh semakin dalam, dan ia semakin ingin mendekati wanita itu. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia terlalu terbuka, ia bisa saja kehilangan kesempatannya untuk mengenal Aisyah lebih jauh.
Siang itu, saat jam makan siang, Adrian dan Rizki kembali mendekati Farhan di kantin kantor. “Farhan, kita udah lama nggak makan siang bareng. Gimana kalau lo ikut kita kali ini?” ajak Adrian sambil tersenyum lebar. Farhan, meski sedikit ragu, akhirnya mengangguk. “Oke deh, gue ikut.” --- Langit pagi tampak cerah ketika Farhan memutuskan untuk mendatangi masjid yang tak jauh dari kantornya. Hari itu, ia merasa hatinya perlu bimbingan lebih untuk menghadapi perasaan yang kian dalam terhadap Aisyah. Dalam diamnya, ia berdoa agar Allah membimbingnya mencari cara terbaik untuk mendekati Aisyah tanpa melanggar syariat. Bukan hanya sekadar mendekat, tapi ia ingin melakukannya dengan cara yang Islami, yang akan diridhai oleh Allah. Setelah shalat dhuha, ia mendekati ustaz Ahmad, seorang pemuka agama yang sudah lama ia kenal. Ustaz Ahmad adalah sosok yang tenang dan bijak, selalu memberikan nasihat dengan kata-kata lembut yang menyentuh hati. Hari itu, Farhan berharap dapat meminta sedikit arahan dari sang ustaz. “Assalamualaikum, Ustaz,” sapa Farhan dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya ia merasa gugup. “Waalaikumsalam, Farhan. Alhamdulillah, senang melihatmu semakin aktif di masjid akhir-akhir ini,” jawab Ustaz Ahmad dengan senyum lembut. “Ada yang bisa saya bantu?” Farhan terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan apa yang selama ini hanya ia simpan dalam hati. “Ustaz, sebenarnya saya datang ke sini untuk meminta nasihat. Saya sedang ... tertarik pada seseorang, seorang wanita yang menurut saya memiliki nilai agama yang kuat. Tapi saya ingin mendekatinya dengan cara yang benar, yang sesuai dengan syariat.” Ustaz Ahmad mengangguk sambil tersenyum. Ia tampak tidak terkejut, mungkin karena ia telah melihat banyak pemuda yang datang dengan pertanyaan serupa. “Subhanallah, niat yang baik, Farhan. Boleh tahu siapa wanita itu?” Farhan menunduk, sedikit malu. “Namanya Aisyah, Ustaz. Dia juga sering datang ke kajian di masjid ini. Saya semakin kagum padanya setiap kali melihatnya.” Ustaz Ahmad tersenyum lebih lebar, seolah mengerti perasaan Farhan. “Aisyah, ya? Dia wanita yang baik dan memiliki prinsip yang kuat. Niat kamu untuk mendekatinya secara Islami adalah langkah awal yang baik, Farhan. Namun, ada hal-hal yang perlu kamu perhatikan agar niat baik ini tetap terjaga.” Farhan mengangguk, mendengarkan dengan sungguh-sungguh. “Apa yang harus saya lakukan, Ustaz?” “Pertama-tama, jaga niat kamu. Dalam Islam, niat sangat penting. Pastikan niat kamu benar-benar untuk membangun hubungan yang diridhai Allah, bukan karena dorongan nafsu atau sekadar kekaguman yang sesaat. Niat yang ikhlas akan membawa kamu pada jalan yang benar, meskipun tantangannya tidak sedikit,” jelas Ustaz Ahmad dengan suara lembut yang penuh kebijaksanaan. Farhan terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Ustaz Ahmad. Ia merasa bahwa langkah ini adalah awal dari perjalanan panjang yang memerlukan keteguhan hati. “Selain itu ...,” lanjut Ustaz Ahmad, “kamu harus rendah hati dan tidak terlalu memaksakan diri. Jika memang jodoh, insyaAllah Allah akan membukakan jalan. Tapi ingat, jika kamu memaksakan atau terlalu menggebu-gebu, bisa jadi hal itu malah membawa pada keburukan.” “Lalu, bagaimana cara saya mendekatinya, Ustaz?” Farhan bertanya dengan nada penuh harap. “Perbanyak doa, Farhan. Mintalah petunjuk Allah. Selain itu, kamu bisa memulai dengan niat baik dalam setiap tindakan. Jangan terlalu sering mendekati atau berbicara secara berlebihan. Jika Allah ridha, biarkan proses itu berjalan dengan sendirinya. Mungkin kamu bisa sesekali berbicara tentang hal-hal yang bermanfaat atau menyapa dengan sopan. Tapi jangan sampai melewati batas, ya,” ujar Ustaz Ahmad, mengakhiri penjelasannya dengan senyuman yang menenangkan. Farhan mengangguk dengan penuh syukur. “Terima kasih banyak, Ustaz. Nasihat Anda sangat berarti bagi saya. InsyaAllah saya akan coba menjalankannya.” Setelah berbincang cukup lama, Farhan merasa hatinya menjadi lebih tenang. Ia pulang dengan hati yang penuh harapan, namun juga dengan kesadaran bahwa perjalanan ini memerlukan kesabaran dan ketulusan yang luar biasa. Ia tak ingin terburu-buru ... ia ingin benar-benar mengikuti cara yang diridhai Allah. Hari-hari berikutnya, Farhan menjalani hidupnya dengan lebih tenang. Ia tidak memaksakan diri untuk selalu berada di dekat Aisyah, namun ia mencoba untuk lebih fokus pada perbaikan diri. Setiap malam, ia memperbanyak doa, berharap Allah memberikan petunjuk yang terbaik baginya."Mas, kamu nggak pernah mikir buat kembali lagi ke sini suatu saat nanti?" Aisyah memecah keheningan sore itu. Suaranya lembut, tapi ada nada ragu yang terselip. Ia menatap Farhan yang sedang duduk di taman kecil belakang rumah baru mereka. Bayangan senja memulas wajah suaminya yang terlihat tenang, namun pikirannya jelas sedang mengembara. Farhan mendongak, matanya bertemu dengan mata Aisyah. Ia lalu tersenyum kecil. "Aku pikirin. Tapi sekarang prioritas kita di sini, Sayang. Kamu tahu itu." "Tapi ... ada hal-hal yang nggak bisa kita tinggalkan di sana," lanjut Aisyah pelan. Matanya menerawang, mengingat semua yang pernah mereka lalui di tanah air. Suara kereta api di kejauhan, aroma masakan ibu di dapur, dan tawa Safira yang dulu sering memecah kesunyian rumah mereka. Farhan mendesah. Ia menatap dua bayi kecil mereka yang sedang bermain di atas selimut di rumput. Salah satu bayi tertawa kecil saat kakaknya menarik mainan
"Kalau nanti di tempat baru ... kita menemukan hal-hal yang nggak kita duga, apa yang akan kamu lakukan?"Farhan menatap wajah Aisyah dengan raut serius. Suaranya terdengar berat, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang lebih dalam-sebuah ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat.Aisyah terdiam sesaat. Ia memandangi suaminya dengan mata yang penuh harap, meski pikirannya sedang berkecamuk. Jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan Farhan yang lebih besar. "Mas, aku tahu ini nggak mudah ... tapi aku percaya, apa pun yang kita hadapi, kita bisa selesaikan. Bersama."Farhan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Tapi, kamu tahu kan, ini bukan cuma soal kita, Sayang. Ada dua bayi yang sekarang bergantung sama kita. Kalau kita salah langkah ....""Kita nggak akan salah langkah, Mas," potong Aisyah lembut, namun tegas. "Aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan takut. Kalau kita terus mikirin kemungkinan buruk, kita nggak aka
"Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha
"Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.
"Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku







