Home / Romansa / Proposal Cinta Sang Miliarder / Bab 5: Tekanan dari Lingkungan Farhan

Share

Bab 5: Tekanan dari Lingkungan Farhan

Author: Resya
last update Last Updated: 2024-12-07 16:35:59

Suasana di kantor Farhan, seperti biasa, penuh dengan energi dan kesibukan. Meja-meja dipenuhi tumpukan dokumen, sementara suara ketikan dan panggilan telepon seolah menjadi latar musik dari keseharian mereka. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai menarik perhatian teman-teman dan rekan kerjanya: perubahan sikap Farhan yang semakin terlihat belakangan ini.

Farhan, yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan bisnis, belakangan ini justru sering terlihat menghabiskan waktu di masjid. Tidak sedikit dari teman-temannya yang memperhatikan bahwa kini ia lebih sering absen di acara-acara sosial atau pesta yang biasanya ia hadiri. Alih-alih, ia lebih banyak terlibat dalam kegiatan dakwah dan kajian agama. Perubahan ini memancing rasa penasaran, bahkan sedikit keheranan, di antara mereka.

“Eh, lo sadar nggak sih, Farhan belakangan ini jadi beda banget?” tanya Rizki, salah satu rekan Farhan, sambil memegang gelas kopinya di pantry kantor.

“Beda gimana maksud lo?” sahut Adrian, teman dekat Farhan yang kebetulan mendengar percakapan itu.

“Ya gimana ya, gue perhatiin dia jadi sering banget ke masjid, ikut kajian. Bahkan, udah jarang nongkrong bareng kita di klub,” Rizki menjelaskan dengan nada penuh rasa penasaran.

Adrian mengangguk, seolah menyetujui. “Gue juga sempet perhatiin sih. Dan kayaknya dia berubah jadi lebih kalem. Jarang banget dia ngomongin bisnis atau proyek baru belakangan ini.”

Rizki tersenyum kecil sambil mengangkat bahunya. “Menurut gue, pasti ada sesuatu nih. Nggak mungkin Farhan berubah gini tanpa alasan. Jangan-jangan, dia lagi suka sama cewek yang alim gitu, makanya jadi sering ke masjid.”

Adrian tertawa kecil mendengar spekulasi itu, namun dalam hatinya ia pun bertanya-tanya. Farhan yang mereka kenal selalu ambisius dan penuh semangat dalam mengejar kesuksesan. Namun kini, ia berubah seakan ada magnet yang menariknya ke arah yang berbeda.

Di sisi lain, Farhan sebenarnya menyadari bahwa perubahan sikapnya mulai diperhatikan oleh teman-temannya. Ia sering mendengar bisikan-bisikan kecil di kantor atau bahkan candaan yang menyinggung tentang kegiatannya yang lebih sering ke masjid. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, keputusannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah adalah sesuatu yang sangat pribadi, terutama sejak kehadiran Aisyah yang diam-diam menginspirasi dirinya untuk memperbaiki hidupnya.

Siang itu, Farhan sedang duduk di ruang kerjanya, memeriksa beberapa laporan proyek. Suasana kantor mendadak hening saat Adrian masuk tanpa mengetuk pintu.

“Farhan, boleh gue ngomong sebentar?” tanya Adrian dengan nada serius.

Farhan mengangkat wajahnya dari laporan yang sedang ia baca dan mengangguk. “Tentu, silakan masuk. Ada apa, bro?”

Adrian menutup pintu dan duduk di depan Farhan, tampak sedikit ragu sebelum akhirnya membuka mulut. “Gue cuma mau tanya langsung sama lo. Akhir-akhir ini lo sering banget ke masjid, rajin ikut kajian, bahkan lebih jarang nongkrong bareng kita. Gue penasaran, sebenernya ada apa?”

Farhan tersenyum kecil, mencoba menghindari tatapan Adrian yang penuh selidik. “Nggak ada apa-apa, kok. Gue cuma lagi mau fokus perbaiki diri aja.”

Adrian menghela napas, seolah tak puas dengan jawaban itu. “Lo bisa jujur, kok. Gue sama Rizki dan yang lain emang sempet mikir, mungkin lo lagi suka sama seseorang.”

Perkataan Adrian membuat Farhan terdiam. Ia menatap ke arah jendela, sejenak merenungi pertanyaan temannya. Bagian dari dirinya ingin mengakui perasaannya terhadap Aisyah, tetapi ia juga tak ingin terlalu terbuka. Terutama karena perasaan itu masih terbalut ketidakpastian dan keraguan.

“Gue belum siap ngomongin itu, Adrian,” jawab Farhan akhirnya, dengan suara lembut namun tegas.

Adrian hanya mengangguk. “Gue ngerti. Tapi apapun itu, gue harap lo nggak ngerubah diri lo terlalu jauh. Lo tau kan, kita semua care sama lo. Jangan sampai lo kehilangan diri lo sendiri karena sesuatu yang mungkin nggak pasti.”

Farhan tersenyum tipis mendengar kata-kata Adrian. Ia mengerti bahwa temannya khawatir, tapi di satu sisi, ia juga merasa ada dorongan kuat dalam hatinya untuk terus melanjutkan jalan ini. Sebuah perjalanan yang membawanya lebih dekat pada Allah dan, diam-diam, mendekatkannya pada sosok Aisyah yang selama ini ia kagumi dalam diam.

“Gue baik-baik aja, Adrian. Dan makasih udah peduli,” ucap Farhan sambil menepuk bahu temannya.

Malam harinya, saat kembali dari kantor, Farhan melangkahkan kaki menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat Maghrib. Ada ketenangan yang ia rasakan setiap kali memasuki masjid, seolah dunia di luar sana tidak lagi memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Di masjid, ia merasa menjadi dirinya yang sesungguhnya, tanpa embel-embel status atau harta.

Setelah selesai salat, Farhan duduk sejenak, berzikir, dan merenungi semua perubahan yang ia alami. Bayangan Aisyah kembali hadir di benaknya, membuatnya semakin yakin bahwa wanita itu adalah seseorang yang istimewa. Tapi ia juga tahu bahwa ada tantangan besar yang harus ia hadapi jika ingin mendekati Aisyah. Bukan hanya tekanan dari lingkungan, tetapi juga beban untuk menjaga keikhlasan dalam setiap langkah yang ia ambil.

Ketika keluar dari masjid, Farhan mendapati Rizki berdiri di depan pintu masjid, tampak menunggunya.

“Farhan, gue nggak nyangka ketemu lo di sini,” sapa Rizki dengan nada sedikit terkejut.

Farhan tersenyum tipis. “Lo ngapain di sini, bro?”

“Gue cuma lewat, dan nggak sengaja liat lo di sini,” jawab Rizki sambil menepuk pundak Farhan. “Lo oke kan? Gue cuma nanya, karena jujur gue sama Adrian dan anak-anak yang lain pada khawatir.”

Farhan mengangguk pelan. “Gue oke, kok. Gue cuma lagi cari ketenangan aja.”

Rizki menatapnya dalam-dalam, seakan berusaha memahami. “Lo tahu kan, apapun yang lo jalanin sekarang, kita selalu support lo. Tapi jujur aja, gue ngerasa ada sesuatu yang lo sembunyiin. Ada yang lo nggak bilang ke kita.”

Farhan terdiam, merasa sedikit terpojok. Ia tahu, teman-temannya hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, tapi ia belum siap membagikan perasaannya pada mereka. Ia belum siap untuk mengungkapkan bahwa semua perubahan ini berawal dari perasaan kagumnya pada Aisyah, yang telah membawanya lebih dekat pada agama dan membuatnya ingin menjadi pribadi yang lebih baik.

“Ada beberapa hal yang emang sulit gue ceritain, Riz,” jawab Farhan akhirnya dengan nada pelan. “Tapi gue janji, gue nggak akan ninggalin kalian. Gue cuma lagi ngerasain sesuatu yang baru dalam hidup gue, yang menurut gue lebih berarti dari sekadar kerjaan dan dunia luar.”

Rizki tersenyum kecil dan menepuk bahu Farhan. “Oke, gue ngerti. Tapi inget, kalo lo butuh cerita, gue sama Adrian selalu ada buat lo.”

“Thanks, bro. Gue apresiasi banget itu,” ucap Farhan sambil tersenyum.

Setelah percakapan singkat itu, Farhan melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia merasa bersyukur memiliki teman-teman yang peduli, meski ia tahu, mereka belum bisa sepenuhnya memahami perubahan yang ia alami. Baginya, apa yang ia rasakan sekarang adalah perjalanan spiritual yang hanya bisa ia pahami sendiri. Dan meski terasa sulit, ia tahu bahwa ini adalah jalan yang ingin ia tempuh, dengan atau tanpa pemahaman dari orang-orang di sekitarnya.

Keesokan harinya, di kantor, Farhan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun di sela-sela kesibukan itu, pikirannya terus terbayang pada Aisyah. Ia tahu bahwa perasaannya mulai tumbuh semakin dalam, dan ia semakin ingin mendekati wanita itu. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia terlalu terbuka, ia bisa saja kehilangan kesempatannya untuk mengenal Aisyah lebih jauh.

Siang itu, saat jam makan siang, Adrian dan Rizki kembali mendekati Farhan di kantin kantor.

“Farhan, kita udah lama nggak makan siang bareng. Gimana kalau lo ikut kita kali ini?” ajak Adrian sambil tersenyum lebar.

Farhan, meski sedikit ragu, akhirnya mengangguk. “Oke deh, gue ikut.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 88: Pengkhianatan Terakhir

    Farhan berbalik dengan cepat, matanya membelalak saat melihat sosok yang muncul dari balik asap pertempuran. Yadi. Tapi bukan itu yang membuat Farhan terkejut. Di tangan Yadi, ada sebuah tas hitam yang Farhan kenali sebagai tempat dokumen penting yang baru saja ditemukan Adnan. "Lo ngapain, Yadi?" suara Farhan rendah, tapi penuh tekanan. Matanya menatap tajam ke arah pria itu. Yadi tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh arti. "Gue cuma ngambil apa yang seharusnya jadi milik gue, Han." Adnan, yang berdiri tak jauh dari Farhan, langsung mengarahkan senjatanya ke Yadi. "Gue udah bilang, kan? Gue nggak pernah percaya sama pengkhianat ini!" "Tenang, Dan," balas Yadi santai, meskipun senjata Adnan sudah terarah ke kepalanya. "Gue nggak di sini buat cari masalah sama lo. Gue cuma mau keluar dari sini hidup-hidup." Farhan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Adnan untuk menurunkan senjatanya. "Lo pikir lo bisa kabur begitu aja, Yadi? Lo tahu dokumen itu penting buat kita."

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 87: Serangan Balik

    Semua orang langsung menoleh ke arah Yadi. Wajah Adnan berubah masam, seperti baru saja mencium bau busuk yang tak tertahankan. "Lo? Bantu? Jangan bikin gue ketawa," katanya dengan nada mengejek."Gue serius," balas Yadi, suaranya datar tapi tegas. "Gue bisa bantu lo jagain bagian belakang. Gue tahu cara pikir anak buah Rodres. Gue bisa kasih lo waktu buat kabur."Adnan menyipitkan matanya, tatapannya penuh curiga. "Dan lo pikir kita bakal percaya sama lo?""Gue nggak peduli lo percaya atau nggak," jawab Yadi dingin. "Gue cuma mau nebus kesalahan gue."Farhan, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan. "Cukup. Kita nggak punya waktu buat ribut. Yadi, lo ikut jaga bagian belakang. Tapi ingat, gue nggak bakal segan buat nembak lo kalau lo coba-coba."Yadi mengangguk pelan. "Gue ngerti."Adnan mendengus, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya melirik Farhan dengan tatapan seolah b

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 86: Operasi Ganda

    Langkah kaki itu semakin mendekat, hingga akhirnya suara pintu gudang terbuka lebar. Di sana, berdiri seorang pria dengan senyum dingin di wajahnya. "Yadi," gumam Farhan dengan nada tajam. Pria itu tertawa kecil. "Lama nggak ketemu, Farhan. Gue nggak nyangka lo masih hidup." Arman maju selangkah, wajahnya sudah dipenuhi emosi. "Apa yang lo mau, Yadi?" Yadi mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak bersenjata. "Gue cuma mau dokumen itu. Lo kasih ke gue, dan mungkin gue bakal biarin lo hidup." Farhan menyipitkan matanya, menatap Yadi tanpa sedikit pun gentar. "Lo pikir gue bakal percaya omongan lo?" Yadi tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Oh, Farhan, gue suka lo yang kayak gini. Tegas, keras kepala. Tapi lo lupa satu hal ... gue selalu ada satu langkah di depan lo." "Jangan terlalu percaya diri ... pengkhianat," Arman menyela, suaranya menggeram. "Kita udah tahu semua gerakan lo. Lo pikir lo bisa ngatur ki

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 85: Jejak Tersembunyi

    Aisyah menelan ludah, mencoba menahan air matanya. "Nggak, Nak. Om Farhan, Papa, dan Tante bakal pastiin kamu aman."Safira memeluk bonekanya erat. "Aku cuma mau kita semua bahagia lagi, Tante. Kayak dulu."Aisyah tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. "Tante juga mau, Nak. Tante janji, kita bakal bahagia lagi."Di luar gudang tua, seorang pria berdiri di bawah bayangan tembok, mengamati dari kejauhan. Wajahnya dingin, dan di tangannya ada ponsel dengan layar yang menyala. Di layar itu, terlihat foto Farhan dan keluarganya."Peta perang sudah terbuka," gumam pria itu pelan. "Kita lihat siapa yang akan bertahan sampai akhir."Safira duduk di lantai ruang persembunyian mereka yang sederhana, memegangi flashdisk kecil di tangannya. Matanya menatap benda itu dengan penuh rasa penasaran sekaligus khawatir. Di sebelahnya, Aisyah duduk sambil sesekali melirik ke arah pintu, memastikan semuanya aman."Tante," panggil Safira lemb

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 84: Peta Perang

    Farhan berdiri di depan jendela, menatap kosong ke arah halaman rumah yang kini terlihat begitu sunyi. Pikirannya masih penuh dengan penjelasan Haris tentang organisasi Rodres yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Di tangannya, amplop cokelat itu tergenggam erat. Tulisan di balik foto Ratna terus berputar di pikirannya. "Aku nggak akan biarkan mereka menang," gumam Farhan pelan, mengulang janjinya pada Aisyah tadi malam. Langkah kaki terdengar dari belakang. Adnan masuk ke ruang tamu dengan ekspresi serius. "Han," panggil Adnan sambil melirik amplop di tangan Farhan. "Lo yakin mau terusin ini semua? Gue serius nanya."Farhan menoleh, menatap sahabatnya itu dengan tatapan tajam. "Lo pikir gue punya pilihan lain, Dan? Mereka nggak akan berhenti. Kalau gue diem aja, keluarga gue bakal jadi korban."Adnan berjalan mendekat, lalu duduk di sofa. "Gue ngerti. Tapi lo tahu sendiri, ini bukan cuma soal lo lagi. Kita ini udah masuk ke da

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 83: Bayangan yang Kembali

    Farhan berdiri di ruang tamu, amplop cokelat itu masih tergenggam erat di tangannya. Foto-foto yang tersebar di meja kecil di depannya membawa kenangan yang bercampur aduk. Wajah Ratna yang tersenyum sambil memeluk Safira kecil terasa seperti hantaman keras di dadanya. Namun, tulisan di balik salah satu foto itu yang benar-benar membuat pikirannya berputar."Permainan baru dimulai. Apa yang kau temukan hanyalah awal dari semuanya."Farhan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Matanya menatap tajam ke arah jendela, di mana Safira berdiri memandang ke luar. Gadis kecil itu tampak begitu rapuh, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat."Safira," panggil Farhan lembut.Safira menoleh perlahan, matanya yang besar tampak berkaca-kaca. "Om, ada orang di luar tadi," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.Farhan langsung menegakkan tubuhnya. "Orang? Siapa, Nak?"Safira menggeleng. "Aku nggak tahu, Om. Tapi dia berd

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 82: Akhir yang Menggantung

    Langit malam di atas markas organisasi bayangan tampak kelam, seolah ikut menyembunyikan rahasia gelap yang selama ini mereka lindungi. Suara tembakan masih terdengar bersahutan, memecah keheningan malam. Farhan dan Arman berlari di lorong sempit, napas mereka memburu. Di belakang mereka, beberapa anggota organisasi terus mengejar, tak memberi ruang untuk berhenti."Han, kita nggak bisa terus lari!" teriak Arman sambil menembak ke arah musuh yang mendekat. Peluru-peluru itu memantul di dinding logam, menciptakan percikan api kecil.Farhan menoleh sekilas ke arah Arman, wajahnya penuh peluh. "Kita harus bertahan, Man! Aisyah dan Safira sedang menyelesaikan tugas terakhir mereka. Kita harus beri mereka waktu!"Arman mengangguk, meski tubuhnya mulai terasa lelah. "Tapi mereka makin banyak, Han. Kita nggak bisa terus begini."Farhan berhenti sejenak di balik sebuah pilar besar, menarik napas dalam-dalam. Ia memeriksa peluru di senjatanya-hanya tersisa

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 81: Pertempuran Akhir

    Mereka semua mulai berjalan keluar dari markas, menuju kendaraan yang akan membawa mereka ke lokasi misi. Ketegangan terasa di udara, tapi tidak ada yang mundur.Di rumah, Safira duduk di kamarnya sambil memandang keluar jendela. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak tahu apa. Di kejauhan, suara sirene terdengar samar-samar, membuat hatinya semakin gelisah."Ayah ... Om Farhan ...," bisiknya pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.Di dalam kendaraan yang melaju cepat, Farhan duduk di kursi depan bersama Adnan yang mengemudi. Arman duduk di belakang, memeriksa senjata dan perlengkapan mereka. Wajah mereka semua tegang, tapi tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat."Han," panggil Arman akhirnya, memecah keheningan. "Kamu yakin kita bisa masuk tanpa ketahuan?"Farhan menoleh sedikit, menatap adiknya. "Man, kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak coba sekarang, mereka akan terus memburu kita. Dan Safira... dia ngga

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 80: Operasi Balasan

    Arman terkejut. "Kamu yakin, sayang?"Safira mengangguk. "Iya, Ayah. Aku ingat Ibu bilang itu sangat penting."Farhan dan Arman saling bertukar pandang. Informasi ini bisa menjadi kunci untuk langkah mereka berikutnya."Safira," kata Farhan dengan suara lembut. "Kamu sudah membantu kami lebih dari yang kamu tahu. Terima kasih."Safira tersenyum kecil, meskipun matanya masih menyimpan kesedihan.Malam itu, Farhan dan Arman duduk di ruang kerja kecil di rumah Farhan. Di atas meja, laptop terbuka dengan layar penuh data yang baru saja mereka dapatkan dari Safira. Farhan mengetik cepat, sementara Arman berdiri di belakangnya, memandang layar dengan cemas."Han, kamu yakin ini semua cukup untuk menyerang mereka?" tanya Arman, suaranya rendah tapi penuh tekanan.Farhan berhenti mengetik sejenak, lalu menatap adiknya. "Man, ini bukan soal cukup atau nggak. Ini soal kita harus bertindak sekarang. Kalau kita tunggu lebih lama, me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status