LOGINSuasana di kantor Farhan, seperti biasa, penuh dengan energi dan kesibukan. Meja-meja dipenuhi tumpukan dokumen, sementara suara ketikan dan panggilan telepon seolah menjadi latar musik dari keseharian mereka. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai menarik perhatian teman-teman dan rekan kerjanya: perubahan sikap Farhan yang semakin terlihat belakangan ini.
Farhan, yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan bisnis, belakangan ini justru sering terlihat menghabiskan waktu di masjid. Tidak sedikit dari teman-temannya yang memperhatikan bahwa kini ia lebih sering absen di acara-acara sosial atau pesta yang biasanya ia hadiri. Alih-alih, ia lebih banyak terlibat dalam kegiatan dakwah dan kajian agama. Perubahan ini memancing rasa penasaran, bahkan sedikit keheranan, di antara mereka. “Eh, lo sadar nggak sih, Farhan belakangan ini jadi beda banget?” tanya Rizki, salah satu rekan Farhan, sambil memegang gelas kopinya di pantry kantor. “Beda gimana maksud lo?” sahut Adrian, teman dekat Farhan yang kebetulan mendengar percakapan itu. “Ya gimana ya, gue perhatiin dia jadi sering banget ke masjid, ikut kajian. Bahkan, udah jarang nongkrong bareng kita di klub,” Rizki menjelaskan dengan nada penuh rasa penasaran. Adrian mengangguk, seolah menyetujui. “Gue juga sempet perhatiin sih. Dan kayaknya dia berubah jadi lebih kalem. Jarang banget dia ngomongin bisnis atau proyek baru belakangan ini.” Rizki tersenyum kecil sambil mengangkat bahunya. “Menurut gue, pasti ada sesuatu nih. Nggak mungkin Farhan berubah gini tanpa alasan. Jangan-jangan, dia lagi suka sama cewek yang alim gitu, makanya jadi sering ke masjid.” Adrian tertawa kecil mendengar spekulasi itu, namun dalam hatinya ia pun bertanya-tanya. Farhan yang mereka kenal selalu ambisius dan penuh semangat dalam mengejar kesuksesan. Namun kini, ia berubah seakan ada magnet yang menariknya ke arah yang berbeda. Di sisi lain, Farhan sebenarnya menyadari bahwa perubahan sikapnya mulai diperhatikan oleh teman-temannya. Ia sering mendengar bisikan-bisikan kecil di kantor atau bahkan candaan yang menyinggung tentang kegiatannya yang lebih sering ke masjid. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, keputusannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah adalah sesuatu yang sangat pribadi, terutama sejak kehadiran Aisyah yang diam-diam menginspirasi dirinya untuk memperbaiki hidupnya. Siang itu, Farhan sedang duduk di ruang kerjanya, memeriksa beberapa laporan proyek. Suasana kantor mendadak hening saat Adrian masuk tanpa mengetuk pintu. “Farhan, boleh gue ngomong sebentar?” tanya Adrian dengan nada serius. Farhan mengangkat wajahnya dari laporan yang sedang ia baca dan mengangguk. “Tentu, silakan masuk. Ada apa, bro?” Adrian menutup pintu dan duduk di depan Farhan, tampak sedikit ragu sebelum akhirnya membuka mulut. “Gue cuma mau tanya langsung sama lo. Akhir-akhir ini lo sering banget ke masjid, rajin ikut kajian, bahkan lebih jarang nongkrong bareng kita. Gue penasaran, sebenernya ada apa?” Farhan tersenyum kecil, mencoba menghindari tatapan Adrian yang penuh selidik. “Nggak ada apa-apa, kok. Gue cuma lagi mau fokus perbaiki diri aja.” Adrian menghela napas, seolah tak puas dengan jawaban itu. “Lo bisa jujur, kok. Gue sama Rizki dan yang lain emang sempet mikir, mungkin lo lagi suka sama seseorang.” Perkataan Adrian membuat Farhan terdiam. Ia menatap ke arah jendela, sejenak merenungi pertanyaan temannya. Bagian dari dirinya ingin mengakui perasaannya terhadap Aisyah, tetapi ia juga tak ingin terlalu terbuka. Terutama karena perasaan itu masih terbalut ketidakpastian dan keraguan. “Gue belum siap ngomongin itu, Adrian,” jawab Farhan akhirnya, dengan suara lembut namun tegas. Adrian hanya mengangguk. “Gue ngerti. Tapi apapun itu, gue harap lo nggak ngerubah diri lo terlalu jauh. Lo tau kan, kita semua care sama lo. Jangan sampai lo kehilangan diri lo sendiri karena sesuatu yang mungkin nggak pasti.” Farhan tersenyum tipis mendengar kata-kata Adrian. Ia mengerti bahwa temannya khawatir, tapi di satu sisi, ia juga merasa ada dorongan kuat dalam hatinya untuk terus melanjutkan jalan ini. Sebuah perjalanan yang membawanya lebih dekat pada Allah dan, diam-diam, mendekatkannya pada sosok Aisyah yang selama ini ia kagumi dalam diam. “Gue baik-baik aja, Adrian. Dan makasih udah peduli,” ucap Farhan sambil menepuk bahu temannya. Malam harinya, saat kembali dari kantor, Farhan melangkahkan kaki menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat Maghrib. Ada ketenangan yang ia rasakan setiap kali memasuki masjid, seolah dunia di luar sana tidak lagi memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Di masjid, ia merasa menjadi dirinya yang sesungguhnya, tanpa embel-embel status atau harta. Setelah selesai salat, Farhan duduk sejenak, berzikir, dan merenungi semua perubahan yang ia alami. Bayangan Aisyah kembali hadir di benaknya, membuatnya semakin yakin bahwa wanita itu adalah seseorang yang istimewa. Tapi ia juga tahu bahwa ada tantangan besar yang harus ia hadapi jika ingin mendekati Aisyah. Bukan hanya tekanan dari lingkungan, tetapi juga beban untuk menjaga keikhlasan dalam setiap langkah yang ia ambil. Ketika keluar dari masjid, Farhan mendapati Rizki berdiri di depan pintu masjid, tampak menunggunya. “Farhan, gue nggak nyangka ketemu lo di sini,” sapa Rizki dengan nada sedikit terkejut. Farhan tersenyum tipis. “Lo ngapain di sini, bro?” “Gue cuma lewat, dan nggak sengaja liat lo di sini,” jawab Rizki sambil menepuk pundak Farhan. “Lo oke kan? Gue cuma nanya, karena jujur gue sama Adrian dan anak-anak yang lain pada khawatir.” Farhan mengangguk pelan. “Gue oke, kok. Gue cuma lagi cari ketenangan aja.” Rizki menatapnya dalam-dalam, seakan berusaha memahami. “Lo tahu kan, apapun yang lo jalanin sekarang, kita selalu support lo. Tapi jujur aja, gue ngerasa ada sesuatu yang lo sembunyiin. Ada yang lo nggak bilang ke kita.” Farhan terdiam, merasa sedikit terpojok. Ia tahu, teman-temannya hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, tapi ia belum siap membagikan perasaannya pada mereka. Ia belum siap untuk mengungkapkan bahwa semua perubahan ini berawal dari perasaan kagumnya pada Aisyah, yang telah membawanya lebih dekat pada agama dan membuatnya ingin menjadi pribadi yang lebih baik. “Ada beberapa hal yang emang sulit gue ceritain, Riz,” jawab Farhan akhirnya dengan nada pelan. “Tapi gue janji, gue nggak akan ninggalin kalian. Gue cuma lagi ngerasain sesuatu yang baru dalam hidup gue, yang menurut gue lebih berarti dari sekadar kerjaan dan dunia luar.” Rizki tersenyum kecil dan menepuk bahu Farhan. “Oke, gue ngerti. Tapi inget, kalo lo butuh cerita, gue sama Adrian selalu ada buat lo.” “Thanks, bro. Gue apresiasi banget itu,” ucap Farhan sambil tersenyum. Setelah percakapan singkat itu, Farhan melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia merasa bersyukur memiliki teman-teman yang peduli, meski ia tahu, mereka belum bisa sepenuhnya memahami perubahan yang ia alami. Baginya, apa yang ia rasakan sekarang adalah perjalanan spiritual yang hanya bisa ia pahami sendiri. Dan meski terasa sulit, ia tahu bahwa ini adalah jalan yang ingin ia tempuh, dengan atau tanpa pemahaman dari orang-orang di sekitarnya. Keesokan harinya, di kantor, Farhan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun di sela-sela kesibukan itu, pikirannya terus terbayang pada Aisyah. Ia tahu bahwa perasaannya mulai tumbuh semakin dalam, dan ia semakin ingin mendekati wanita itu. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia terlalu terbuka, ia bisa saja kehilangan kesempatannya untuk mengenal Aisyah lebih jauh. Siang itu, saat jam makan siang, Adrian dan Rizki kembali mendekati Farhan di kantin kantor. “Farhan, kita udah lama nggak makan siang bareng. Gimana kalau lo ikut kita kali ini?” ajak Adrian sambil tersenyum lebar. Farhan, meski sedikit ragu, akhirnya mengangguk. “Oke deh, gue ikut.”"Mas, kamu nggak pernah mikir buat kembali lagi ke sini suatu saat nanti?" Aisyah memecah keheningan sore itu. Suaranya lembut, tapi ada nada ragu yang terselip. Ia menatap Farhan yang sedang duduk di taman kecil belakang rumah baru mereka. Bayangan senja memulas wajah suaminya yang terlihat tenang, namun pikirannya jelas sedang mengembara. Farhan mendongak, matanya bertemu dengan mata Aisyah. Ia lalu tersenyum kecil. "Aku pikirin. Tapi sekarang prioritas kita di sini, Sayang. Kamu tahu itu." "Tapi ... ada hal-hal yang nggak bisa kita tinggalkan di sana," lanjut Aisyah pelan. Matanya menerawang, mengingat semua yang pernah mereka lalui di tanah air. Suara kereta api di kejauhan, aroma masakan ibu di dapur, dan tawa Safira yang dulu sering memecah kesunyian rumah mereka. Farhan mendesah. Ia menatap dua bayi kecil mereka yang sedang bermain di atas selimut di rumput. Salah satu bayi tertawa kecil saat kakaknya menarik mainan
"Kalau nanti di tempat baru ... kita menemukan hal-hal yang nggak kita duga, apa yang akan kamu lakukan?"Farhan menatap wajah Aisyah dengan raut serius. Suaranya terdengar berat, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang lebih dalam-sebuah ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat.Aisyah terdiam sesaat. Ia memandangi suaminya dengan mata yang penuh harap, meski pikirannya sedang berkecamuk. Jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan Farhan yang lebih besar. "Mas, aku tahu ini nggak mudah ... tapi aku percaya, apa pun yang kita hadapi, kita bisa selesaikan. Bersama."Farhan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Tapi, kamu tahu kan, ini bukan cuma soal kita, Sayang. Ada dua bayi yang sekarang bergantung sama kita. Kalau kita salah langkah ....""Kita nggak akan salah langkah, Mas," potong Aisyah lembut, namun tegas. "Aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan takut. Kalau kita terus mikirin kemungkinan buruk, kita nggak aka
"Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha
"Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.
"Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku







