"Silakan ambil saja yang kalian suka. Bebas," ujar Yunita ketika memasuki sebuah butik branded yang terkenal dengan harga-harganya yang mahal. Dulu dia harus mikir-mikir untuk beli satu stel baju mahal, bahkan harus mengabaikan pakaian putrinya yang kebanyakan sudah sempit demi pakaian incaran. Malu kalau tidak mengikuti trend teman-temannya.Sekarang dia bahkan bisa memborong sepuasnya."Jeng, boleh aku ambil dua?" tanya Heni."Khusus untuk kamu, ambil tiga juga boleh, Beb," balas Yunita santai."Ih, pilih kasih. Kami juga mau dong." Yang lainnya menimpali."Ya sudah, ambil saja. Aku keluar dulu, ya. Mas David ngajak ketemu sebentar di luar, kebetulan lagi ada urusan di daerah sini," ujar perempuan yang sudah naik kelas secara sosial itu.Senyumnya terkembang membaca pesan dari calon suaminya. David memang sangat mencintainya dan katanya sengaja menjumpai karena rindu.Yunita celingukan melihat sekeliling, tapi tidak ada mobil suaminya."Hai, Mbak," sapa seorang perempuan yang Yunita
"Pedas atau sedang?""Eeh, se-sedang saja," balas Raya gelagapan. Tanpa sadar semua pembeli yang mengantri telah bubar. Penjualnya sangat cekatan rupanya. Tak menunggu lama, nasi goreng pinggir jalan itu sudah tersaji di depan Raya, lengkap dengan segelas air putih. Jiwa ala premannya ciut entah kemana saat si penjual duduk tepat di depannya. Menundukkan kepala sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang masih mengepulkan asap.Seumur-umur, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. Jika makan di luar, selalu di restoran atau kafe yang terjamin kebersihan dan cara pengolahannya. Makanya saat mau bersedekah pun, dia tak segan merogoh uang untuk membeli makanan dari tempat yang mahal. Padahal kalau dipikir-pikir, lebih berguna memberikannya dalam bentuk uang seharga makanan itu. Akan cukup untuk beberapa kali makan. "Kenapa cuma dilihatin terus, Mbak? Kok gak dimakan? Keburu dingin gak enak loh," celetuk lelaki tadi yang terus mengajaknya bicara. Tinggal mereka bertiga di sana. "Eh, a
"Maaf, harga nasi gorengnya cuma dua belas ribu. Ambil saja uangmu itu, saya kasih gratis karna tidak kamu habiskan. Jangan pernah datang kembali! Saya tak ingin berurusan dengan perempuan yang mulutnya tak ada rem," tegas Fajar dengan ekspresi datar. Pedas bercampur pahit rasanya tenggorokan. Sejujurnya Raya suka dengan nasi gorengnya, tapi dengan menghabiskannya sama saja artinya mengakui kalau makanan pinggir jalan yang dimasak dengan raut muka masam rasanya enak. Namun, dia sedikit lega karena dua orang itu tak memaki dengan kata-kata kasar atau menyakitinya. "Ambil saja ini untuk masnya. Anggap sebagai ganti rugi karena sudah memelintir tangan Mas ini," ujar Raya, menggeser lembaran uang merah itu ke dekat Hardi. "Bawa saja uangmu itu! Dia bukan orang miskin. Saya tak mau kalau istrinya salah paham karena menerima uang dari seorang wanita," tegas Fajar. Meskipun tidak keras suaranya, tapi intonasinya penuh penekanan. Raya mengambil cepat uang dan kunci mobilnya, lalu segera
"Mama? A-aku cuma ...."Suara Yunita menggantung di udara, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Setahunya Bu Harum sudah tidur, tapi sekarang berdiri tak jauh dari mereka. Habislah aku. "Mama senang mendengar ide cemerlang kamu. Mama sudah pusing melihat tingkah anak itu, kerjanya keluyuran terus. Sikapnya juga tak bisa kayak perempuan. Mama malu sering diledekin punya dua anak laki-laki," ujar perempuan yang mengenakan piyama itu. Menarik kursi dan duduk di dekat calon menantunya. "Dia pasti tak bisa nolak lagi. Soal cinta, bisalah itu tumbuh belakangan. Mama sama Papa dulu menikah tanpa cinta kok," imbuh Bu Harum. Dia sudah pusing dengan tingkah kedua anaknya yang sudah diatur. David sering kali bikin ulah dengan memacari istri atau tunangan orang lain. Tak jarang datang ke rumah memaki-maki mereka sekeluarga. Bikin malu memang. Kayak tak ada perempuan lain saja. Perempuan berambut pendek yang sebagian dicat dengan warna pirang itu sedikit lega karena David akhirnya menemu
Suara dering ponsel Fajar membuatnya menghentikan langkah, langsung melihat nama kontak di layar. Kesempatan itu dijadikan Raya untuk kabur sebelum semua penyamarannya terbongkar. "Assalamualaikum, Bu," sapa Fajar langsung. "Walaikumsalam, Nak. Kamu belum tidur?" Nada suara wanita tua itu sedikit cemas. Hanya lewat ponsel dia bisa memantau putranya karena kembali dipisahkan oleh jarak. Jika dulu Fajar berstatus istri orang, sekarang duda yang sedang banyak pikiran. Tentu saja berbeda kecemasan Bu Sumi terhadap putranya, dulu dengan sekarang. "Belum, Bu. Bentar lagi.""Ini udah tengah malam, Nak. Tidak akan ada lagi orang yang mau beli. Lebih baik tutup warung dan tidur. Ibu takut kalau ada orang yang berniat jahat sama kamu kalau buka sampai tengah malam.""Iya, Bu. Tidak usah cemas, Fajar bisa jaga diri.""Jangan larang seorang ibu tidak cemas pada anak yang dilahirkannya. Kamu tak bisa melarangnya, Fajar. Ibu mohon, jaga kesehatanmu, Nak. Kalau kamu sakit, Ibu jauh dan tidak bisa
"A-aku yatim piatu, Pa." Dengan susah payah dan penuh pertimbangan, kalimat itu yang meluncur dari bibir. Terpaksa dan berharap kalau itu semua tak terjadi. Yunita masih punya seorang bapak yang sudah renta dan Fajar adalah menantu kesayangan. Perceraiannya mereka saja dengan Fajar tak ia kabarkan pada orang tuanya, apalagi pernikahan kedua. Sama saja akan mencari masalah dan gagal jadi menantu orang kaya. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kalau begitu, kita ziarah saja ke sana sebelum pernikahan kalian dilangsungkan," ujar Papa. Sedikit iba melihat perempuan itu, meskipun kesan pertamanya dia tak suka. Seorang anak perempuan hidup sebatang kara pasti sangat menyedihkan. "Nantilah itu, Pa. Kita atur dulu waktunya," ujar David karena melihat kekasihnya sudah gugup dan bingung mau jawab apa. Sedikit banyaknya dia tahu tentang keluarga Yunita, termasuk calon bapak mertuanya yang lumayan cerewet. "Baiklah. Papa hanya tak ingin kalian kebablasan, makanya kalau memang sudah yakin den
"Kumisnya masih di situ. Emangnya palsu sampai bisa jatuh sendiri?" tanya Fajar bingung. Aneh sekali orang ini.Seketika Raya tersadar kalau sedang dikerjai oleh Papa, terlebih saat melihat senyuman terkulum lelaki tua itu. Berarti Papa sudah tahu kalau aku sedang nyamar. Bisa-bisanya dikerjai begini."Iya nih. Padahal saya cuma bercanda. Mas ini nganggap serius."Papa menepuk bahu Raya dengan sedikit memijit. Gadis itu berusaha menjauh dengan menggeser kursi. Bisa terbongkar penyamaran kalau begini caranya. "Mau kemana, Mas? Jangan buru-buru mau pergi. Temani saya mengobrol di sini." Papa menahan seraya tersenyum simpul. "Maaf, saya sakit perut." Raya sudah merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Padahal, tadi dia begitu senang karena para pelanggan sudah sepi dan hanya berdua saja dengan lelaki penjual nasi goreng. Kalau sesama lelaki, apalagi dipancing dengan persamaan nasib, lelaki bernama Fajar itu tak segan untuk sedikit bercerita tentang maslah kehidupannya yang dipenuhi jur
Di malam yang cerah dengan langit berhiaskan bintang dan bulan purnama, banyak orang berkumpul di halaman depan rumah Pak Tama yang luas. Beberapa rekan kerja serta keluarganya mereka, kerabat dan tetangga ikut hadir dalam acara sederhana hari anniversary Pak Tama dan Bu Harum. Meja kursi yang dibalut dengan kain putih serta diiringi lagu-lagu nostalgia yang diputar dari MP3 player. "Menunya kok kampungan banget sih, Yang? Cuma nasi goreng dan jajanan gorengan," keluh Yunita. "Hiburannya juga gak berkelas. Kita ini kayak orang gak mampu saja, Mas."Perempuan dengan riasan mencolok itu memasang muka masam. Dia sudah menyiapkan pesta mewah di sebuah hotel untuk mengambil hati mertuanya. Sayang sekali, semuanya harus gagal karena ternyata Pak Tama ingin konsep berbeda. "Sudahlah, Yang. Kita hormati keputusan Papa." David mengusap-usap lengan calon istrinya. David juga tak suka dengan acara yang tak layak disebut pesta ini. Dia pun tidak betah di sini karena tak ada acara hiburan musik