"Pulang atau kopermu kubuang ke jalan!" ancam David melalui sambungan telepon. Yunita kaget, kenapa tiba-tiba suaminya yang sudah lembut kembali ke sikap aslinya. Suka marah-marah. "Oke oke. Aku balik sebentar lagi.""Sekarang.""Nanti!"Yunita mematikan ponsel sepihak. Mendengar suara musik yang hingar bingar, David tak sabar menunggu. Tak yakin kalau Yunita akan secepatnya pulang. Tak butuh lama untuk menemukan tempat tongkrongan istrinya dan pertengkaran pun tak lagi terelakkan, terlebih David memergoki Yunita sedang bermesraan dengan seorang lelaki yang kelihatan jauh lebih tua, tapi berpenampilan kaya. "Aku ini suamimu, tapi beraninya kamu bermesraan dengan kakek-kakek tua itu," sergah David. Setelah sampai rumah, tak bisa dibendung lagi kemarahan itu. Sebuah vas bunga keramik pun melayang ke lantai, sengaja dilempar agak dekat dengan Yunita hingga dia bergidik ngeri. "Kamu mau membunuhku, Mas?""Iya, daripada kamu menodai kehormatanku sebagai suamimu. Jangan-jangan kamu sudah
Enam bulan berlalu dengan status sebagai duda, David perlahan menjadi insan yang lebih taat. Berkat kesabaran Hardi mengingatkannya agar salat. Tak lupa juga buku tuntunan salat jadi bacaan wajib David. Karena dasarnya dia waktu kecil adalah anak yang pintar mengaji, tak terlalu susah untuk mengembalikan kepingan ingatan. Apalagi diringi niat yang kuat. "Dav, sepertinya sudah saatnya kamu pergunakan ijazah kamu, deh. Aku yang cuma lulusan SMA sederajat tak merasa pantas punya pekerja seorang sarjana," ujar Hardi suatu hari. Dia merasa kalau David sudah benar-benar berubah dan saatnya dikembalikan ke tempat yang seharusnya. "Apa aku punya salah, Mas? Sampai-sampai harus dipecat dengan alasan seperti ini? Jika pun aku cari kerja di tempat lain, belum tentu dapat bos sebaik Mas Hardi," ujar David cemas. Sahabatnya Fajar tertawa sekilas, lalu menepuk bahu pekerjanya yang paling rajin. "Kamu tak salah apa-apa, Dav. Aku tahu kalau kamu sarjana dan kebetulan ada satu perusahaan yang lagi
"Siapa yang meninggal di rumah kami? Apa istriku? Sudah satu bulan ini dia tak pernah menjawab telponku. Ah, tidak mungkin."Hati Fajar gelisah dan terus bertanya-tanya. Tiga tahun merantau di Riau, mulai dari buruh kelapa sawit hingga jadi mandor, kini ia pulang kampung ke Sumatera Utara tanpa memberitahu kabar ini pada semua keluarga. Hanya sekali setahun berjumpa, tak tahan lagi Fajar berpisah dengan keluarga kecilnya.Bulan yang lalu Yunita minta uang dalam jumlah yang banyak untuk membuka usaha, tapi Fajar tak mengabulkan dan akhirnya memicu kemarahan sang istri. Imbasnya, sebulan terakhir nomor Yunita jadi lebih sering nonaktif."Ini ongkosnya, Pak!" ujar Fajar, menyodorkan selembar uang pecahan bergambar presiden pertama kepada tukang becak tanpa meminta kembalian lagi. Ia letakkan asal tas dan kotak oleh-oleh yang ia beli saat singgah di perjalanan.Orang-orang yang mengerumuni rumah itu terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Mereka menatapnya iba, memberi jalan agar l
"Jual sayur tak seberapa uangnya, Mas. Apalagi tetangga sering berhutang dan tak tahu kapan dibayar. Mas juga dibilangin, jangan kasih utangan, tetap aja dikasih. Pokoknya Mas harus coba merantau. Kemarin ada orang yang cari anggota baru untuk memanen sawit," ujar Yunita tiga tahun lalu. Fajar yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling menghembuskan napas kasar. Dia juga sudah tahu tentang tawaran pekerjaan ini dari salah seorang temannya. Sudah banyak yang pergi ke sana dan pulangnya mereka berhasil membangun rumah atau modal usaha. "Tapi Mas tak mau jauh dari kalian, Sayang. Kamu dan Hera di sini berdua, tak ada laki-laki. Mas cemas kalau ada orang yang berniat jahat karena tahu tak ada laki-laki di rumah ini.""Haduh, Mas. Apa pernah kejadian di kampung ini penjahat masuk rumah? Berapa banyak janda di kampung ini, tak pernah ada berita maling. Kecuali barang diletakkan di luar semalaman, baru hilang," ujar Yunita mulai kesal. Fajar termasuk lelaki yang selalu ingin dekat deng
"Tidak mungkin, ini tidak mungkin."Yunita meracau. Penampilannya sudah kacau dengan mekap luntur dan rambut berantakan."Mas, katakan kalau kamu cuma mau menghukummu, kan? Maaf karena aku tak ada di rumah saat kamu pulang. Katakan dimana Hera, Mas! Kumohon."Yunita masih mencoba berpikiran positif kalau ini cuma prank.Fajar dan ibunya masih sesenggukan. Tidak seharusnya saling menyalahkan dalam duka, tapi terlalu berat untuk menerima pahitnya kenyataan."Bu, kenapa banyak pengharum ruangan di kamar Hera? Biasanya dia tidak suka bau jeruk."Suaranya bergetar dan mulai melunak, menatap sang mertua dengan penuh harap."Cucu Ibu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dan sudah bau, Yun. Mungkin sudah beberapa hari, baru ketahuan tetangga," jawab Bu Sumi di sela tangis.Yunita kembali meraung-raung. Ini semua bukan mimpi.Dua minggu yang lalu, dia terlalu ingin liburan dengan teman-teman barunya. Sayang kalau tidak ikut, tapi bingung jika harus membawa Hera. Apalagi semua biaya liburannya
"Yunita, kamu kenapa, Sayang?" Tanpa sadar Fajar telah mencemaskan istrinya. Secuil rasa cinta itu masih ada."Ayo cepat bawa Yunita ke puskesmas, Fajar!" seru Bu Sumi, tak kalah cemas. Namun ada yang lebih ia khawatirkan kalau ini adalah puncak permasalahan bagi anak menantunya. Sebagai seorang ibu, ia merasa kalau ada sesuatu yang tak beres.Fajar berlari ke rumah tetangga untuk meminjam mobil. Mereka juga ikutan panik melihat raut wajah lelaki yang baru pulang merantau itu."Semoga tak terjadi apa-apaan, ya. Cepatlah bawa, minyaknya masih banyak.""Makasih, Pak. Saya pinjam dulu mobilnya.""Iya, sama-sama. Hati-hati dan jangan panik.""Iya, Pak. Maksih banyak." Ternyata tetangganya masih baik, sama seperti dulu."Jangan-jangan dia keguguran," celetuk seorang wanita seumuran Yunita yang tak sengaja mendengar penjelasan Fajar.Dulunya dia adalah teman akrab Yunita, tapi semenjak Fajar merantau dan dapat kiriman uang yang lumayan, perlahan hubungan mereka merenggang. Yunita sudah memi
"Mau kemana kamu, Fajar?" Bu Sumi keheranan melihat wajah putranya yang tegang."Aku tak ingin kalau Yunita datang lagi ke rumah ini, Bu. Biar aku sendiri yang mengantar barang-barangnya ini."Perempuan tua yang hanya punya satu orang putra itu menghembuskan napas dengan kasar. Tidak tahu mau memberikan saran apa lagi."Hati-hati." Hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir Bu Sumi. Setelah anaknya pergi menggunakan mobil tetangga yang belum dikembalikan, wanita tua itu hanya bisa pasrah dan banyak berdoa agar Fajar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Dia tak ingin kalau harta satu-satunya harus mendekam di balik jeruji besi.Fajar adalah tipe suami yang penurut dan sangat mencintai pasangannya. Namun, jika sudah fatal bisa kalap."Maaf, dia sudah pulang, Pak. Tadi dijemput seorang temannya.""Baik, makasih."Fajar meninggalkan puskesmas dan segera mencari keberadaan Yunita. Dia belum menemukan petunjuk dimana ibu dari mendiang putrinya sekarang. Ta
Mama tidak bisa tinggal diam melihat anak mama babak belur begini. Katakan siapa yang melakukan ini, David! Mama akan penjarakan dia," seru perempuan berpenampilan modis yang tetap cantik di usia yang tak muda lagi. Bu Harum namanya. Begitu panik setelah seseorang mengabari kalau putranya masuk rumah sakit akibat berkelahi dengan seseorang. "Dia pasti tak sayang dengan hidupnya sampai-sampai ingin berurusan dengan keluarga Prayoga.""Sudahlah, Ma. Mama tidak usah cemas, aku baik-baik saja kok," balas David. Wajahnya sedikit meringis. Meskipun berusaha terlihat kuat, tapi kenyataan kalau seluruh badan terasa remuk. "Coba ceritakan, kenapa kamu bisa dihajar seperti ini?""Gak perlu dibahas lagi, Ma. Mana Yunita, Ma?""Yunita siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa di sini," balas Bu Harum bingung. "Coba lihat di luar, Ma."Bu Harum menurut saja. Dia melihat seorang perempuan dengan penampilan semrawut sedang duduk di kursi tunggu.Terlihat cantik sih. Mungkin dia begini karena mengkh