"Mau kemana kamu, Fajar?" Bu Sumi keheranan melihat wajah putranya yang tegang.
"Aku tak ingin kalau Yunita datang lagi ke rumah ini, Bu. Biar aku sendiri yang mengantar barang-barangnya ini."
Perempuan tua yang hanya punya satu orang putra itu menghembuskan napas dengan kasar. Tidak tahu mau memberikan saran apa lagi.
"Hati-hati." Hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir Bu Sumi. Setelah anaknya pergi menggunakan mobil tetangga yang belum dikembalikan, wanita tua itu hanya bisa pasrah dan banyak berdoa agar Fajar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Dia tak ingin kalau harta satu-satunya harus mendekam di balik jeruji besi.
Fajar adalah tipe suami yang penurut dan sangat mencintai pasangannya. Namun, jika sudah fatal bisa kalap.
"Maaf, dia sudah pulang, Pak. Tadi dijemput seorang temannya."
"Baik, makasih."
Fajar meninggalkan puskesmas dan segera mencari keberadaan Yunita. Dia belum menemukan petunjuk dimana ibu dari mendiang putrinya sekarang. Tak mungkin kalau menelpon wanita itu.
Media sosial Yunita. Ya, mungkin saja bisa jadi petunjuk. Aku harus periksa.
Selama di perantauan, Fajar hampir tidak pernah membuka akun facebooknya karena sulitnya jaringan. Menelpon saja harus mencari tempat tertentu agar suara tidak terputus-putus.
Hati Fajar mencelos melihat wanita yang tadi masih sempat berteriak minta maaf agar tidak ditinggalkan, tapi ternyata sekarang sedang nonton drama Korea lewat laptop di sebuah kafe.
"Jika dia hanya membuatmu menangis, aku siap menjadikanmu wanita paling bahagia di dunia ini."
Caption yang ditandai sebuah akun bernama David Reza Prayoga bersama akun Yunita, lengkap dengan alamat kafenya. Ini seperti disengaja agar diketahui keberadaan mereka dengan mudah. Terlebih Yunita seperti tidak sadar kalau dia sedang dikamera. Darah kembali mendidih mengingat tentang video yang ia lihat di ponsel putrinya.
Fajar memacu mobil dan berhenti di depan sebuah kafe yang terlihat sepi. Hanya beberapa pengunjung yang duduk berpasangan, salah satunya pasangan yang belum menikah itu.
"Oh, ternyata ada yang sedang bahagia di sini," ujar Fajar dengan sinis, menahan gejolak emosi.
"Mas? Kamu di sini? Mau menjemputku, kan?"
"Jangan bermuka dua, Yun! Kamu mungkin tak mau kehilangan siapa-siapa. Serakah."
"Apa maksudmu, Mas? Aku dan Mas David tak ada hubungan spesial. Semuanya terjadi karena 'kecelakaan'. Aku pun tak pernah menginginkan hamil anak dia, makanya kugugurkan," jelas Yunita.
David tersenyum miris. Dia memang lelaki yang suka dengan tantangan. Mencintai istri atau tunangan orang lain adalah hobinya. Terakhir dia mau serius karena sudah dituntut orang tua agar menikah, ternyata Yunita yang awalnya mengaku gadis dan sudah mencuri hatinya rupanya istri orang lain. Kepalang basah, ia ingin menjadi dapatkan wanita itu bagaimana pun caranya.
Padahal, bagaimana bisa menciptakan kebahagiaan jika harus menghancurkan keharmonisan rumah tangga orang lain?
"Kecelakaan? Apa maksudmu juga tidak sadar melakukan dan merekam semua ini? Dan lebih tak bisa kucerna, kamu menyimpan video ini di ponsel putriku," bentak Fajar.
Yunita gemetaran. Semuanya sudah kandas. Secuil rasa cinta itu sudah tak ada harapan. Rekaman video call tak senonoh dengan David terpampang di depan mata, tapi ia tak pernah merasa merekamnya.
"Apa kamu yang melakukan ini, Mas? Kita kan sudah sepakat kalau hanya untuk bersenang-senang sebelum suamiku pulang. Kenapa malah kamu simpan di ponsel Hera?"
Yunita menarik kerah baju pacar yang sering dia akui sebagai sepupu kepada tetangganya.
"Karena aku ingin kalian bercerai, Sayang. Aku ingin Hera mengadu pada ayahnya. Sudahlah, lupakan dia. Kamu akan bahagia denganku," balas David dengan santai.
"Aku tak mau buang-buang waktu melihat kemesraan yang menjijikkan ini. Tapi sebagai perpisahan, mungkin kamu harus merasakan masuk rumah sakit dulu, David."
Adu fisik pun terjadi membuat kegaduhan di kafe itu. David yang lebih tinggi tegap sudah berjaga-jaga kalau akan mendapat serangan.
"Lo itu bukan tandingan gue, Bro. Udah sakit hati, jangan ditambah patah tulang," ejek David.
Bugh.
Kesombongannya tak terbukti karena satu pukulan mendarat di pipinya yang putih membuatnya oleng, disusul dengan injakan kaki Fajar.
"Kamu salah kalau mengira aku lemah. Aku kerja di perkebunan dan mengangkat benda berat itu sudah jadi santapan sehari-hari. Kalau diperturutkan, aku ingin mengangkat badanmu dan menghempaskannya dengan kasar ke lantai hingga persendianmu lepas. Tapi tenang saja. Aku kasihan pada Yunita. Dia pasti akan sedih kalau melihat kekasihnya m*ti di hadapannya."
Fajar menatap Yunita yang kelihatan takut.
"Dan kamu, Yunita binti Hariman, kamu bukan istriku lagi. Kita bercerai. Aku akan segera urus perceraian kita agar kamu menikah dengan selingkuhanmu itu. Jangan berzina lagi!" tandasnya.
Yunita lunglai. Fisiknya masih lemah karena banyak kehabisan darah akibat keguguran. Ia lebih syok melihat kemarahan lelaki yang dulu sangat memanjakannya meskipun dalam ekonomi yang belum mapan. Kemarahan yang paling mengerikan.
Fajar melempar dua koper mantan istrinya, lalu melajukan kenderaan roda empat yang ia pinjam dengan kecepatan sedang.
Sebenarnya Fajar tak ingin berurusan dengan David lagi. Kesalahan lelaki itu dan Yunita sudah tak bisa diperbaiki lagi. Namun yang membuatnya tak bisa menahan diri adalah sebuah chatingan dari kontak bernama 'Om David'.
[Kalau kalian jalan berdua sama ibumu, kalian kayak kakak adek loh, Hera]
[Kamu sih, gendut banget]
[Coba minum obat ini, ya, biar langsing dan cantik lagi. Jangan bilang ibumu, ya. Om sudah selipkan obatnya di bawah bantalmu]
Sebuah foto bungkus pil pelangsing yang sama dengan yang ia temukan tadi di rak buku Hera. Kemungkinan besar, Hera overdosis dan tidak cepat mendapatkan penanganan. Belum lagi dia kelaparan dan tak ada tempat mengadu.
Netra Fajar kembali gerimis dan langsung menepikan mobil karena pandangan sudah mengabur. Ia tak ingin kalau sampai kecelakaan. Selain membahayakan dirinya ataupun orang lain, mobil yang dipakai juga punya tetangga. Bisa menambah masalah.
"Sayang, mungkin Ayah harus merantau lagi. Ayah tak kuat di rumah sendirian. Ayah tak ingin depresi dan akhirnya punya penyakit gangguan jiwa. Ayah masih ingin waras, Nak. Kalau Ayah sakit, tidak ada lagi yang perhatian sama Ayah," lirih Fajar, lalu menangis sekali lagi.
Mama tidak bisa tinggal diam melihat anak mama babak belur begini. Katakan siapa yang melakukan ini, David! Mama akan penjarakan dia," seru perempuan berpenampilan modis yang tetap cantik di usia yang tak muda lagi. Bu Harum namanya. Begitu panik setelah seseorang mengabari kalau putranya masuk rumah sakit akibat berkelahi dengan seseorang. "Dia pasti tak sayang dengan hidupnya sampai-sampai ingin berurusan dengan keluarga Prayoga.""Sudahlah, Ma. Mama tidak usah cemas, aku baik-baik saja kok," balas David. Wajahnya sedikit meringis. Meskipun berusaha terlihat kuat, tapi kenyataan kalau seluruh badan terasa remuk. "Coba ceritakan, kenapa kamu bisa dihajar seperti ini?""Gak perlu dibahas lagi, Ma. Mana Yunita, Ma?""Yunita siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa di sini," balas Bu Harum bingung. "Coba lihat di luar, Ma."Bu Harum menurut saja. Dia melihat seorang perempuan dengan penampilan semrawut sedang duduk di kursi tunggu.Terlihat cantik sih. Mungkin dia begini karena mengkh
"Silakan ambil saja yang kalian suka. Bebas," ujar Yunita ketika memasuki sebuah butik branded yang terkenal dengan harga-harganya yang mahal. Dulu dia harus mikir-mikir untuk beli satu stel baju mahal, bahkan harus mengabaikan pakaian putrinya yang kebanyakan sudah sempit demi pakaian incaran. Malu kalau tidak mengikuti trend teman-temannya.Sekarang dia bahkan bisa memborong sepuasnya."Jeng, boleh aku ambil dua?" tanya Heni."Khusus untuk kamu, ambil tiga juga boleh, Beb," balas Yunita santai."Ih, pilih kasih. Kami juga mau dong." Yang lainnya menimpali."Ya sudah, ambil saja. Aku keluar dulu, ya. Mas David ngajak ketemu sebentar di luar, kebetulan lagi ada urusan di daerah sini," ujar perempuan yang sudah naik kelas secara sosial itu.Senyumnya terkembang membaca pesan dari calon suaminya. David memang sangat mencintainya dan katanya sengaja menjumpai karena rindu.Yunita celingukan melihat sekeliling, tapi tidak ada mobil suaminya."Hai, Mbak," sapa seorang perempuan yang Yunita
"Pedas atau sedang?""Eeh, se-sedang saja," balas Raya gelagapan. Tanpa sadar semua pembeli yang mengantri telah bubar. Penjualnya sangat cekatan rupanya. Tak menunggu lama, nasi goreng pinggir jalan itu sudah tersaji di depan Raya, lengkap dengan segelas air putih. Jiwa ala premannya ciut entah kemana saat si penjual duduk tepat di depannya. Menundukkan kepala sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang masih mengepulkan asap.Seumur-umur, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. Jika makan di luar, selalu di restoran atau kafe yang terjamin kebersihan dan cara pengolahannya. Makanya saat mau bersedekah pun, dia tak segan merogoh uang untuk membeli makanan dari tempat yang mahal. Padahal kalau dipikir-pikir, lebih berguna memberikannya dalam bentuk uang seharga makanan itu. Akan cukup untuk beberapa kali makan. "Kenapa cuma dilihatin terus, Mbak? Kok gak dimakan? Keburu dingin gak enak loh," celetuk lelaki tadi yang terus mengajaknya bicara. Tinggal mereka bertiga di sana. "Eh, a
"Maaf, harga nasi gorengnya cuma dua belas ribu. Ambil saja uangmu itu, saya kasih gratis karna tidak kamu habiskan. Jangan pernah datang kembali! Saya tak ingin berurusan dengan perempuan yang mulutnya tak ada rem," tegas Fajar dengan ekspresi datar. Pedas bercampur pahit rasanya tenggorokan. Sejujurnya Raya suka dengan nasi gorengnya, tapi dengan menghabiskannya sama saja artinya mengakui kalau makanan pinggir jalan yang dimasak dengan raut muka masam rasanya enak. Namun, dia sedikit lega karena dua orang itu tak memaki dengan kata-kata kasar atau menyakitinya. "Ambil saja ini untuk masnya. Anggap sebagai ganti rugi karena sudah memelintir tangan Mas ini," ujar Raya, menggeser lembaran uang merah itu ke dekat Hardi. "Bawa saja uangmu itu! Dia bukan orang miskin. Saya tak mau kalau istrinya salah paham karena menerima uang dari seorang wanita," tegas Fajar. Meskipun tidak keras suaranya, tapi intonasinya penuh penekanan. Raya mengambil cepat uang dan kunci mobilnya, lalu segera
"Mama? A-aku cuma ...."Suara Yunita menggantung di udara, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Setahunya Bu Harum sudah tidur, tapi sekarang berdiri tak jauh dari mereka. Habislah aku. "Mama senang mendengar ide cemerlang kamu. Mama sudah pusing melihat tingkah anak itu, kerjanya keluyuran terus. Sikapnya juga tak bisa kayak perempuan. Mama malu sering diledekin punya dua anak laki-laki," ujar perempuan yang mengenakan piyama itu. Menarik kursi dan duduk di dekat calon menantunya. "Dia pasti tak bisa nolak lagi. Soal cinta, bisalah itu tumbuh belakangan. Mama sama Papa dulu menikah tanpa cinta kok," imbuh Bu Harum. Dia sudah pusing dengan tingkah kedua anaknya yang sudah diatur. David sering kali bikin ulah dengan memacari istri atau tunangan orang lain. Tak jarang datang ke rumah memaki-maki mereka sekeluarga. Bikin malu memang. Kayak tak ada perempuan lain saja. Perempuan berambut pendek yang sebagian dicat dengan warna pirang itu sedikit lega karena David akhirnya menemu
Suara dering ponsel Fajar membuatnya menghentikan langkah, langsung melihat nama kontak di layar. Kesempatan itu dijadikan Raya untuk kabur sebelum semua penyamarannya terbongkar. "Assalamualaikum, Bu," sapa Fajar langsung. "Walaikumsalam, Nak. Kamu belum tidur?" Nada suara wanita tua itu sedikit cemas. Hanya lewat ponsel dia bisa memantau putranya karena kembali dipisahkan oleh jarak. Jika dulu Fajar berstatus istri orang, sekarang duda yang sedang banyak pikiran. Tentu saja berbeda kecemasan Bu Sumi terhadap putranya, dulu dengan sekarang. "Belum, Bu. Bentar lagi.""Ini udah tengah malam, Nak. Tidak akan ada lagi orang yang mau beli. Lebih baik tutup warung dan tidur. Ibu takut kalau ada orang yang berniat jahat sama kamu kalau buka sampai tengah malam.""Iya, Bu. Tidak usah cemas, Fajar bisa jaga diri.""Jangan larang seorang ibu tidak cemas pada anak yang dilahirkannya. Kamu tak bisa melarangnya, Fajar. Ibu mohon, jaga kesehatanmu, Nak. Kalau kamu sakit, Ibu jauh dan tidak bisa
"A-aku yatim piatu, Pa." Dengan susah payah dan penuh pertimbangan, kalimat itu yang meluncur dari bibir. Terpaksa dan berharap kalau itu semua tak terjadi. Yunita masih punya seorang bapak yang sudah renta dan Fajar adalah menantu kesayangan. Perceraiannya mereka saja dengan Fajar tak ia kabarkan pada orang tuanya, apalagi pernikahan kedua. Sama saja akan mencari masalah dan gagal jadi menantu orang kaya. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kalau begitu, kita ziarah saja ke sana sebelum pernikahan kalian dilangsungkan," ujar Papa. Sedikit iba melihat perempuan itu, meskipun kesan pertamanya dia tak suka. Seorang anak perempuan hidup sebatang kara pasti sangat menyedihkan. "Nantilah itu, Pa. Kita atur dulu waktunya," ujar David karena melihat kekasihnya sudah gugup dan bingung mau jawab apa. Sedikit banyaknya dia tahu tentang keluarga Yunita, termasuk calon bapak mertuanya yang lumayan cerewet. "Baiklah. Papa hanya tak ingin kalian kebablasan, makanya kalau memang sudah yakin den
"Kumisnya masih di situ. Emangnya palsu sampai bisa jatuh sendiri?" tanya Fajar bingung. Aneh sekali orang ini.Seketika Raya tersadar kalau sedang dikerjai oleh Papa, terlebih saat melihat senyuman terkulum lelaki tua itu. Berarti Papa sudah tahu kalau aku sedang nyamar. Bisa-bisanya dikerjai begini."Iya nih. Padahal saya cuma bercanda. Mas ini nganggap serius."Papa menepuk bahu Raya dengan sedikit memijit. Gadis itu berusaha menjauh dengan menggeser kursi. Bisa terbongkar penyamaran kalau begini caranya. "Mau kemana, Mas? Jangan buru-buru mau pergi. Temani saya mengobrol di sini." Papa menahan seraya tersenyum simpul. "Maaf, saya sakit perut." Raya sudah merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Padahal, tadi dia begitu senang karena para pelanggan sudah sepi dan hanya berdua saja dengan lelaki penjual nasi goreng. Kalau sesama lelaki, apalagi dipancing dengan persamaan nasib, lelaki bernama Fajar itu tak segan untuk sedikit bercerita tentang maslah kehidupannya yang dipenuhi jur