Apa jadinya ketika sangat suami pulang merantau diam-diam untuk memberi kejutan istrinya, malah dia dikejutkan karena yang menyambutnya adalah bendera kuning. Sanggupkah menerima kenyataan pahit yang menimpanya?
View More"Siapa yang meninggal di rumah kami? Apa istriku? Sudah satu bulan ini dia tak pernah menjawab telponku. Ah, tidak mungkin."
Hati Fajar gelisah dan terus bertanya-tanya. Tiga tahun merantau di Riau, mulai dari buruh kelapa sawit hingga jadi mandor, kini ia pulang kampung ke Sumatera Utara tanpa memberitahu kabar ini pada semua keluarga. Hanya sekali setahun berjumpa, tak tahan lagi Fajar berpisah dengan keluarga kecilnya.
Bulan yang lalu Yunita minta uang dalam jumlah yang banyak untuk membuka usaha, tapi Fajar tak mengabulkan dan akhirnya memicu kemarahan sang istri. Imbasnya, sebulan terakhir nomor Yunita jadi lebih sering nonaktif.
"Ini ongkosnya, Pak!" ujar Fajar, menyodorkan selembar uang pecahan bergambar presiden pertama kepada tukang becak tanpa meminta kembalian lagi. Ia letakkan asal tas dan kotak oleh-oleh yang ia beli saat singgah di perjalanan.
Orang-orang yang mengerumuni rumah itu terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Mereka menatapnya iba, memberi jalan agar lebih cepat masuk.
"Yunitaaaaaa!" serunya.
Bau busuk menyeruak, menusuk indra penciuman.
"Ini bukan istrimu, Fajar," ujar seorang ibu-ibu paruh baya, menepuk pundak lelaki yang sedang terpukul itu. Di dalam rumah, tak begitu banyak orang karena tak tahan mencium bau jenazah.
Fajar menoleh, mengusap sudut mata yang berair.
"Lalu siapa, Bu?"
Perempuan berjilbab hitam itu membuka penutup wajah jenazah. Netra Fajar membeliak sempurna, lalu meraung histeris. Wajah itu adalah penyemangatnya di rantau. Dia bekerja demi masa depan buah hatinya.
"Hera? Kenapa kamu bisa begini, Nak?" lirihnya di sela tangis.
"Tabahkan hatimu, Fajar. Kita harus segera menunaikan fardu kifayah anakmu. Kami tak tahu di mana istrimu, tapi kalau ibumu sedang dalam perjalanan ke sini."
Fajar mengangukkan kepala dengan pikiran yang berkecamuk. Dengan segera para pengurus jenazah memandikan dan mengkafani bocah yang belum genap berusia 12 tahun itu. Tahun ini dia akan masuk SMP dan Fajar ingin melihat gadisnya tumbuh remaja.
Fajar masih tak menyangka kalau putrinya meregang nyawa tanpa diketahui siapa pun. Menurut cerita warga, tetangga baru tahu karena mencium bau busuk dari rumah yang sering tertutup seminggu ini. Dan yang lebih membuatnya tak habis pikir adalah bahwa sang istri tidak ada di rumah.
Jenazah langsung disalatkan dan dikuburkan karena tak memungkinkan lagi untuk dilama-lamakan. Fajar begitu terpukul. Dia bekerja sampai ke Luar Provinsi demi istri dan buah hatinya. Namun, tak ada senyuman yang menyambut melainkan tangisan pilu.
*
Sudah lima hari pasca Fajar kembali ke kampung. Penampilannya memprihatinkan. Kumis dan rambutnya belum sempat dirapikan. Makan juga tak berselera, apalagi merawat diri.
"Ibu masih tak menyangka kalau Hera akan pergi secepat ini," lirih Bu Sumi, ibunya Fajar yang tinggal dikecamatan sebelah. Dia menyodorkan segelas air buat putranya.
"Iya, Bu. Fajar masih belum percaya kalau putriku sudah tak ada lagi di rumah ini."
Tatapan Fajar begitu kosong. Dia seperti kehilangan semangat hidup. Istrinya juga tak tahu entah dimana. Berkali-kali mencoba menghubungi, tapi tidak dijawab sama sekali.
"Bu, apa mungkin ada yang menculik istriku?" tanya Fajar meskipun tak yakin.
Bu Sumi menggelengkan kepala. Dia pun tak tahu tentang keberadaan menantunya. Mereka memang tidak terlalu akrab, terlebih Fajar pergi merantau. Saat berkunjung menjenguk sang cucu, sering kali Yunita pura-pura tidur dan tidak menemui mertuanya sampai pulang.
Suara deru mobil membuat Ibu dan anak itu berdiri dan menatap dari jendela yang menghadap langsung ke jalan. Besar harapan mereka bahwa yang datang itu adalah Yunita.
Fajar menyipitkan mata melihat seorang lelaki berpenampilan necis turun dari mobil, lalu memutar dan membukakan pintu lainnya. Seorang wanita berambut lurus dan pendek memakai dress selutut warna ungu menyambut tangan lelaki itu, lalu berjalan bergandengan seraya tertawa kecil.
Fajar kenal betul dengan wanita itu meskipun penampilannya berubah drastis. Rambut bergelombang yang sangat ia sukai itu sudah tak berbekas, tapi Fajar masih ingat dengan jelas wajah wanita yang dia nikahi 13 tahun lalu.
Darahnya mendidih dan langsung keluar. Yunita dan teman lelakinya terperanjat. Seketika wajah yang baru tersenyum bahagia itu jadi pucat.
Bu Sumi mengejar putranya dan mengusap bahu lelaki yang sedang diliputi amarah itu. "Jangan ambil keputusan dalam keadaan marah, Nak. Jangan terbawa emosi kalau tak ingin berujung penyesalan," lirih wanita tua itu, lalu meninggalkan anak menantunya menyelesaikan masalah mereka.
"Siapa dia?" bentak Fajar, merapatkan gigi hingga bergemeletuk.
"Ma-mas Fajar sudah pulang? Kapan? Kok gak ngasih kabar?"
Perempuan dengan lipstik merah menyala itu terbata-bata, mengalihkan pembicaran. Sesaat baru ia sadar kalau tangannya masih melingkar di lengan pria di sampingnya. Dengan cepat ia langsung bergelayut manja di lengan sang suami.
"Ayo masuk, Mas. Pasti sudah kangen sama aku, ya."
Fajar menepis tangan gemulai yang kukunya dihiasi kutek, lantas menarik kerah baju lelaki tegap di hadapannya. Ini sudah keterlaluan. Istrinya pulang dengan pria lain dan bahkan tak menanyakan keadaan putri mereka. Tega sekali meninggalkan anak yang belum dewasa tinggal sendirian di rumah berhari-hari hingga jasadnya ditemukan membusuk. Ini bukan perkara yang sepele.
"Apa hubunganmu dengan istriku? Darimana kalian? Jawab!" sergah Fajar.
"Tenang, Bro. Jangan main kekerasan begini!" balas lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Fajar. Senyumnya meremehkan dan menepis tangan lelaki berkulit sawo matang itu. Merasa jauh lebih segalanya dibandingkan lelaki dengan penampilan semrawut di hadapannya.
"Gue dan Yunita cuma sedikit bersenang-senang saja. Gue hanya membantu menunaikan tugas yang tidak bisa lo tunaikan selama di perantauan. Harusnya lo berterima kasih."
"Apa maksudmu?" Fajar semakin emosi mendengar jawaban yang masih ambigu. Hati dan otaknya bertolak belakang. Biar bagaimanapun, dia dan Yunita menikah atas dasar saling mencintai. Bekerja ke Luar Provinsi juga atas rekomendasi sang istri. Mereka jarang bertengkar dan sering bersikap romantis saat menelpon. Apa iya tega berkhianat saat suami bekerja demi hidup yang lebih layak!
"Jangan pura-pura polos, Bro. Lo di sana pasti kesepian, kan? Dan pasti ada beberapa wanita yang menggantikan posisi istrimu di sana. Jangan egoislah sebagai laki-laki! Istri lo juga berhak bahagia dengan kehangatan dari gue."
Bugh.
Satu pukulan Fajar yang sudah dikuasai emosi mendarat di perut bak roti sobek.
"Mas Daviiid! Kamu gak apa-apa, kan?"
Fajar masih ingin menghajar pria itu, tapi kakinya berat melangkah. Hatinya semakin ngilu melihat kenyataan ketika Yunita berlari menyongsong lelaki yang sudah terjungkal ke tanah yang sedikit becek, sisa hujan tadi malam. Suara istrinya terdengar cemas pada lelaki itu hingga semakin meyakinkan kalau pengakuan pria bernama David itu bukanlah dusta.
"Aaaah!"
Fajar berteriak keras dengan kedua tangan terkepal hingga buku-buku jari memucat. Sudah sedih ditinggalkan anak, kenyataan baru ini bagai menabur garam dan jeruk nipis di hati yang tersayat sembilu.
Enam bulan berlalu dengan status sebagai duda, David perlahan menjadi insan yang lebih taat. Berkat kesabaran Hardi mengingatkannya agar salat. Tak lupa juga buku tuntunan salat jadi bacaan wajib David. Karena dasarnya dia waktu kecil adalah anak yang pintar mengaji, tak terlalu susah untuk mengembalikan kepingan ingatan. Apalagi diringi niat yang kuat. "Dav, sepertinya sudah saatnya kamu pergunakan ijazah kamu, deh. Aku yang cuma lulusan SMA sederajat tak merasa pantas punya pekerja seorang sarjana," ujar Hardi suatu hari. Dia merasa kalau David sudah benar-benar berubah dan saatnya dikembalikan ke tempat yang seharusnya. "Apa aku punya salah, Mas? Sampai-sampai harus dipecat dengan alasan seperti ini? Jika pun aku cari kerja di tempat lain, belum tentu dapat bos sebaik Mas Hardi," ujar David cemas. Sahabatnya Fajar tertawa sekilas, lalu menepuk bahu pekerjanya yang paling rajin. "Kamu tak salah apa-apa, Dav. Aku tahu kalau kamu sarjana dan kebetulan ada satu perusahaan yang lagi
"Pulang atau kopermu kubuang ke jalan!" ancam David melalui sambungan telepon. Yunita kaget, kenapa tiba-tiba suaminya yang sudah lembut kembali ke sikap aslinya. Suka marah-marah. "Oke oke. Aku balik sebentar lagi.""Sekarang.""Nanti!"Yunita mematikan ponsel sepihak. Mendengar suara musik yang hingar bingar, David tak sabar menunggu. Tak yakin kalau Yunita akan secepatnya pulang. Tak butuh lama untuk menemukan tempat tongkrongan istrinya dan pertengkaran pun tak lagi terelakkan, terlebih David memergoki Yunita sedang bermesraan dengan seorang lelaki yang kelihatan jauh lebih tua, tapi berpenampilan kaya. "Aku ini suamimu, tapi beraninya kamu bermesraan dengan kakek-kakek tua itu," sergah David. Setelah sampai rumah, tak bisa dibendung lagi kemarahan itu. Sebuah vas bunga keramik pun melayang ke lantai, sengaja dilempar agak dekat dengan Yunita hingga dia bergidik ngeri. "Kamu mau membunuhku, Mas?""Iya, daripada kamu menodai kehormatanku sebagai suamimu. Jangan-jangan kamu sudah
Di warung nasi goreng, Raya dilayani bagai ratu. Ya, semenjak dikabarkan hamil, dia tak dibolehkan bekerja oleh sang suami. Usaha loundry tetap berjalan lancar karena asisten kepercayaan Raya tidak pernah mengecewakan. Usaha nasi goreng Fajar pun sudah menggeliat. Tempat jualan utama kini dengan menu beragam, mengontrak di sebuah ruko yang tak jauh dari loundry milik sang istri sehingga dengan mudah mengontrol usaha itu agar tetap kondusif. Sementara warung sederhana yang dulu masih tetap beroperasi dengan dua mantan preman sebagai tukang masaknya. "Mas, aku mual," keluh Raya. Kebetulan pelanggan lagi sepi. "Ayo kita ke rumah sakit, Dek. Tunggu, aku tutup warung dulu." Fajar hampir menyuruh satu karyawannya untuk menutup warung, tapi Raya tertawa dan mencubit lengan suaminya. "Aku cuma mual, Mas, bukan sakit. Kata bidan ini biasa. Tak perlu ke rumah sakit kali. Aku cuma pengen air hangat," kekeh Raya. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau kamu ada keluhan lain yang lebih serius, kita perik
"Mau kemana kita ini, Mas?" cecar Yunita dengan wajah kesal. Semua impiannya jadi orang kaya telah hancur dalam sekejap. David memang tampan, tapi tidak akan bisa membahagiakan tanpa adanya uang. "Ke kontrakan kamulah. Belum habis bulannya, kan?" tanya David. Dia tak menoleh dan terus menarik kopernya, berjalan mendahului Yunita yang agak kesulitan berjalan karena masih menggunakan high heels. "Tapi aku udah ambil semua barangku dari sana, Mas. Mas kita balik lagi?" protes Yunita. Ia sedikit berlari agar bisa menyejajarkan langkah jenjang sanah suami. "Gak apa-apa. Kita ke sana lagi. Kita gak punya uang yang cukup untuk ngontrak lagi. Setidaknya untuk saat ini tak perlu mikirin uang kontrakan."Yunita menarik napas panjang. Ibu kontrakannya termasuk nyiyir karena sering menegurnya jika ketahuan mengizinkan David masuk ke rumah itu malam-malam. Dengan angkuhnya Yunita melempar kunci pada pemilik kontrakan dan mengatakan tak akan pernah kembali ke situ lagi. Seperti menjilat ludah
"Keterlaluan, kamu jahat banget sih, Raya? Aku akan balas perbuatanmu hari ini!" seru Yunita, lalu berlari ke ke kamar mandi. Rasa panas mulai menjalar di sekujur tubuh yang terkena air cabe saos itu. Belum lagi mulut yang kepedasan. Mengguyur tubuh di bawah shower sekaligus meminum air mentah jadi solusi instan. Itu belum seberapa dibanding ulahmu pada keluargaku. Dasar benalu!Raya tersenyum puas, lalu melenggang ke kamar, menyusul sang suami. Namun, dia sedikit terkejut karena Fajar berdiri di dekat pintu."Loh, kok belum tidur, Mas?" tanya Raya kikuk. Biar bagaimanapun bencinya dia pada Yunita, tetap ingin terlihat lembut di mata suami. Tak ingin kalau Fajar mengecapnya sebagai wanita yang kasar. "Mas tidak ada lagi perasaan sama Yunita, Dek. Namun, Mas tak suka kalau kamu melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain. Lebih baik menghindar dari masalah yang tak bermanfaat. Kita tak bisa mengubah seseorang seperti yang kita mau. Itu hak Allah sepenuhnya. Dinasehati dan didoakan
"Aneh sekali. Bukannya kalian saling mencintai dan akan menikah? Lalu kenapa harus ada adegan pemaksaan begini? Palingan juga kalian melakukannya atas suka sama suka, tapi kamu pura-pura dilecehkan. Iya, kan?" tuduh Raya."Kamu juga perempuan, Ray. Tega sekali kamu menuduhku seperti itu," isak Yunita, masih bersembunyi di balik selimut. "Aku bicara fakta. Soalnya Mas David juga belum bangun sejak tadi, padahal sudah berkali-kali dibangunkan. Sepertinya dia kena efek pil tidur dosis tinggi," desis Raya. Benar-benar tak menyangka kalau akan terjadi kasus seperti ini, padahal kedua orang tua David sudah merestui sejak awal. Disuruh menikah secepatnya, tapi malah diundur-undur dengan alasan Raya harus duluan menikah. "Pa, banyak wartawan yang datang ke sini," ujar Fajar dan didengar oleh Raya. Dia meninggalkan Yunita dengan segala aktingnya dan menemui wartawan. Tak lupa mengunci pintu kamar dari luar karena tahu pemburu berita itu terkadang nekad. "Kami dengar, anak lelaki Pak Pratam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments