"Yunita, kamu kenapa, Sayang?" Tanpa sadar Fajar telah mencemaskan istrinya. Secuil rasa cinta itu masih ada.
"Ayo cepat bawa Yunita ke puskesmas, Fajar!" seru Bu Sumi, tak kalah cemas. Namun ada yang lebih ia khawatirkan kalau ini adalah puncak permasalahan bagi anak menantunya. Sebagai seorang ibu, ia merasa kalau ada sesuatu yang tak beres.
Fajar berlari ke rumah tetangga untuk meminjam mobil. Mereka juga ikutan panik melihat raut wajah lelaki yang baru pulang merantau itu.
"Semoga tak terjadi apa-apaan, ya. Cepatlah bawa, minyaknya masih banyak."
"Makasih, Pak. Saya pinjam dulu mobilnya."
"Iya, sama-sama. Hati-hati dan jangan panik."
"Iya, Pak. Maksih banyak." Ternyata tetangganya masih baik, sama seperti dulu.
"Jangan-jangan dia keguguran," celetuk seorang wanita seumuran Yunita yang tak sengaja mendengar penjelasan Fajar.
Dulunya dia adalah teman akrab Yunita, tapi semenjak Fajar merantau dan dapat kiriman uang yang lumayan, perlahan hubungan mereka merenggang. Yunita sudah memiliki teman baru berkat telepon genggam yang canggih.
"Jaga bicaramu!" bisik yang lain.
Fajar berusaha menepis pikiran buruk setelah mendengar ucapan tetangga. Jika ternyata Yunita sakit beneran dan dia tak peduli, hal itu akan menjadi penyesalan seumur hidup. Biar bagaimana pun, mereka pernah saling mencintai.
Seorang tenaga medis langsung memeriksa keadaan Yunita. Raut wajah perempuan itu terlihat sedih melihat kondisi pasiennya.
"Mas, jangan tinggalkan aku!" lirih Yunita. Dia menggenggam tangan sang suami dan langsung tersenyum karena Fajar tak menarik tangannya. Suaminya pasrah saja.
"Apa yang terjadi dengan menantuku, Nak?" tanya Bu Sumi. Jantungnya berdetak lebih cepat, seperti menunggu sebuah vonis yang menyedihkan.
"Maaf sekali, janin Bu Yunita telah keguguran. Apa ini kehamilan yang tak direncanakan? Sepertinya ini terjadi akibat mengonsumsi obat penggugur kandungan."
Duar. Bagai petasan di tengah malam, memekakkan telinga.
Fajar menarik tangannya dalam genggaman Yunita, menekan dada yang terasa perih. Ini jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya.
"Jikalau pun benar kamu selingkuh, aku masih menata hati untuk bisa memperbaiki hubungan kita. Namun, semuanya sudah hancur. Hancur! Kamu berusaha menghilangkan bukti dengan menggugurkan darah dagingmu sendiri. Pembun*h."
Fajar meninju dinding hingga punggung tangannya sedikit berdarah. Andai waktu bisa diputar kembali, dia tak akan pernah mau merantau demi mencari rupiah yang lebih banyak jika kebahagiaan rumah tangga jadi tumbalnya.
"Jangan seperti ini, Nak!" lerai Bu Sumi.
"Sakitnya tangan ini hanya untuk mengalihkan pedihnya hati ini, Bu. Ayo kita pulang," ajak Fajar, tak menghiraukan panggilan Yunita yang menangis dan minta maaf.
Semuanya terlalu menyakitkan untuk menjahit luka yang telah menganga begitu dalam. Jikalau pun dipaksakan, dia akan bernanah dan menyakiti kedua belah pihak.
*
"Aku tak bisa seperti Ibu dan Bapak, berpisah karena maut yang menjemput. Maafkan Fajar, Bu," lirih lelaki yang disegani orang di perkebunan kelapa sawit itu. Jiwa kepemimpinan dan ketegasannyalah yang membuat dia cepat diangkat jadi mandor.
Namun, siapa sangka kalau hatinya sekarang sangat rapuh. Berulang kali menitikkan air mata hanya karena wanita.
"Iya, Nak. Kamu harus kuat. Kamu harus tetap melanjutkan hidup. Kamu berhak bahagia."
Fajar bergeming, menatap wajah yang sudah berkeriput itu.
"Iya, Bu. Fajar akan berusaha bangkit, meskipun ini tak akan mudah."
Barang-barang Yunita telah memenuhi dua koper besar dan diletakkan di dekat pintu. Tinggal menunggu wanita itu datang mengambil barang-barangnya.
Fajar masuk ke kamar putrinya, mengusap berbagai barang-barang peninggalan Hera. Rencananya akan disumbangkan pada orang-orang yang membutuhkan. Mungkin itu lebih bermanfaat.
Netra Fajar tertuju pada ponsel Hera yang masih tersimpan rapi di rak buku. Lekas dia mengambilnya dan ingin melihat semua gambar maupun video gadisnya. Mungkin bisa mengobati kerinduan.
Karena kelamaan tidak dicas, ponsel itu tidak menyala. Fajar langsung menghubungkan ke charger. Sembari menunggu baterainya cukup, pandangannya tertuju pada sebuah bulatan kertas yang diremas-remas.
'Yah, kenapa lama pulang sih? Hera kangen kumpul sama Ayah dan Ibu. Aku tak suka melihat Ibu peluk-pelukan dengan Om David.'
'Yah, aku mau minta ijin, mau diet. Aku gak suka diejek teman-teman. Hera belum makan dua hari, Yah. Perutku sakit banget, tapi gak boleh ngadu sama Ayah.'
'Hera sayang Ayah. Hera kangen. Hera kesepian.'
Mata Fajar memanas dan melihat obat diet dewasa yang tinggal dua biji lagi.
"Sayang, kamu tak sakit lagi, kan? Ayah juga sayang sama kamu," lirih Fajar, menciumi kertas tulisan tangan putrinya. Tak bisa membayangkan kalau gara-gara diet yang tidak diawasi dan ditinggalkan sendirian, Hera harus tiada tanpa didampingi siapa pun.
Tak sabar lagi ingin melihat isi ponsel Hera, ia menghidupkannya dalam keadaan dicas. Beruntung tidak pakai pola ataupun pin. Gadisnya memang sedikit gemuk, apalagi mulai beranjak remaja. Sebagai seorang ayah yang banyak keterbatasan, dia juga merutuki diri karena tak bisa mengawasi tumbuh kembang putrinya.
Sesekali ia tersenyum melihat foto maupun video Hera yang kebanyakan menampilkan wajah yang menggemaskan. Beberapa menampilkan badannya dan memakai baju yang sudah kekecilan. Pantas saja dia diejek karena pakaiannya saja sudah tak muat. Padahal, setiap meminta uang di luar jatah bulanan, sang istri beralasan untuk membeli baju putri mereka.
Ada satu video yang tersimpan di album khusus yang membuat darah mendidih. Tangisnya luruh, lalu memeluk guling dengan erat. Dia tak mau lagi menyakiti diri sendiri untuk keadaan yang tak bisa diperbaiki lagi.
Enam bulan berlalu dengan status sebagai duda, David perlahan menjadi insan yang lebih taat. Berkat kesabaran Hardi mengingatkannya agar salat. Tak lupa juga buku tuntunan salat jadi bacaan wajib David. Karena dasarnya dia waktu kecil adalah anak yang pintar mengaji, tak terlalu susah untuk mengembalikan kepingan ingatan. Apalagi diringi niat yang kuat. "Dav, sepertinya sudah saatnya kamu pergunakan ijazah kamu, deh. Aku yang cuma lulusan SMA sederajat tak merasa pantas punya pekerja seorang sarjana," ujar Hardi suatu hari. Dia merasa kalau David sudah benar-benar berubah dan saatnya dikembalikan ke tempat yang seharusnya. "Apa aku punya salah, Mas? Sampai-sampai harus dipecat dengan alasan seperti ini? Jika pun aku cari kerja di tempat lain, belum tentu dapat bos sebaik Mas Hardi," ujar David cemas. Sahabatnya Fajar tertawa sekilas, lalu menepuk bahu pekerjanya yang paling rajin. "Kamu tak salah apa-apa, Dav. Aku tahu kalau kamu sarjana dan kebetulan ada satu perusahaan yang lagi
"Pulang atau kopermu kubuang ke jalan!" ancam David melalui sambungan telepon. Yunita kaget, kenapa tiba-tiba suaminya yang sudah lembut kembali ke sikap aslinya. Suka marah-marah. "Oke oke. Aku balik sebentar lagi.""Sekarang.""Nanti!"Yunita mematikan ponsel sepihak. Mendengar suara musik yang hingar bingar, David tak sabar menunggu. Tak yakin kalau Yunita akan secepatnya pulang. Tak butuh lama untuk menemukan tempat tongkrongan istrinya dan pertengkaran pun tak lagi terelakkan, terlebih David memergoki Yunita sedang bermesraan dengan seorang lelaki yang kelihatan jauh lebih tua, tapi berpenampilan kaya. "Aku ini suamimu, tapi beraninya kamu bermesraan dengan kakek-kakek tua itu," sergah David. Setelah sampai rumah, tak bisa dibendung lagi kemarahan itu. Sebuah vas bunga keramik pun melayang ke lantai, sengaja dilempar agak dekat dengan Yunita hingga dia bergidik ngeri. "Kamu mau membunuhku, Mas?""Iya, daripada kamu menodai kehormatanku sebagai suamimu. Jangan-jangan kamu sudah
Di warung nasi goreng, Raya dilayani bagai ratu. Ya, semenjak dikabarkan hamil, dia tak dibolehkan bekerja oleh sang suami. Usaha loundry tetap berjalan lancar karena asisten kepercayaan Raya tidak pernah mengecewakan. Usaha nasi goreng Fajar pun sudah menggeliat. Tempat jualan utama kini dengan menu beragam, mengontrak di sebuah ruko yang tak jauh dari loundry milik sang istri sehingga dengan mudah mengontrol usaha itu agar tetap kondusif. Sementara warung sederhana yang dulu masih tetap beroperasi dengan dua mantan preman sebagai tukang masaknya. "Mas, aku mual," keluh Raya. Kebetulan pelanggan lagi sepi. "Ayo kita ke rumah sakit, Dek. Tunggu, aku tutup warung dulu." Fajar hampir menyuruh satu karyawannya untuk menutup warung, tapi Raya tertawa dan mencubit lengan suaminya. "Aku cuma mual, Mas, bukan sakit. Kata bidan ini biasa. Tak perlu ke rumah sakit kali. Aku cuma pengen air hangat," kekeh Raya. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau kamu ada keluhan lain yang lebih serius, kita perik
"Mau kemana kita ini, Mas?" cecar Yunita dengan wajah kesal. Semua impiannya jadi orang kaya telah hancur dalam sekejap. David memang tampan, tapi tidak akan bisa membahagiakan tanpa adanya uang. "Ke kontrakan kamulah. Belum habis bulannya, kan?" tanya David. Dia tak menoleh dan terus menarik kopernya, berjalan mendahului Yunita yang agak kesulitan berjalan karena masih menggunakan high heels. "Tapi aku udah ambil semua barangku dari sana, Mas. Mas kita balik lagi?" protes Yunita. Ia sedikit berlari agar bisa menyejajarkan langkah jenjang sanah suami. "Gak apa-apa. Kita ke sana lagi. Kita gak punya uang yang cukup untuk ngontrak lagi. Setidaknya untuk saat ini tak perlu mikirin uang kontrakan."Yunita menarik napas panjang. Ibu kontrakannya termasuk nyiyir karena sering menegurnya jika ketahuan mengizinkan David masuk ke rumah itu malam-malam. Dengan angkuhnya Yunita melempar kunci pada pemilik kontrakan dan mengatakan tak akan pernah kembali ke situ lagi. Seperti menjilat ludah
"Keterlaluan, kamu jahat banget sih, Raya? Aku akan balas perbuatanmu hari ini!" seru Yunita, lalu berlari ke ke kamar mandi. Rasa panas mulai menjalar di sekujur tubuh yang terkena air cabe saos itu. Belum lagi mulut yang kepedasan. Mengguyur tubuh di bawah shower sekaligus meminum air mentah jadi solusi instan. Itu belum seberapa dibanding ulahmu pada keluargaku. Dasar benalu!Raya tersenyum puas, lalu melenggang ke kamar, menyusul sang suami. Namun, dia sedikit terkejut karena Fajar berdiri di dekat pintu."Loh, kok belum tidur, Mas?" tanya Raya kikuk. Biar bagaimanapun bencinya dia pada Yunita, tetap ingin terlihat lembut di mata suami. Tak ingin kalau Fajar mengecapnya sebagai wanita yang kasar. "Mas tidak ada lagi perasaan sama Yunita, Dek. Namun, Mas tak suka kalau kamu melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain. Lebih baik menghindar dari masalah yang tak bermanfaat. Kita tak bisa mengubah seseorang seperti yang kita mau. Itu hak Allah sepenuhnya. Dinasehati dan didoakan
"Aneh sekali. Bukannya kalian saling mencintai dan akan menikah? Lalu kenapa harus ada adegan pemaksaan begini? Palingan juga kalian melakukannya atas suka sama suka, tapi kamu pura-pura dilecehkan. Iya, kan?" tuduh Raya."Kamu juga perempuan, Ray. Tega sekali kamu menuduhku seperti itu," isak Yunita, masih bersembunyi di balik selimut. "Aku bicara fakta. Soalnya Mas David juga belum bangun sejak tadi, padahal sudah berkali-kali dibangunkan. Sepertinya dia kena efek pil tidur dosis tinggi," desis Raya. Benar-benar tak menyangka kalau akan terjadi kasus seperti ini, padahal kedua orang tua David sudah merestui sejak awal. Disuruh menikah secepatnya, tapi malah diundur-undur dengan alasan Raya harus duluan menikah. "Pa, banyak wartawan yang datang ke sini," ujar Fajar dan didengar oleh Raya. Dia meninggalkan Yunita dengan segala aktingnya dan menemui wartawan. Tak lupa mengunci pintu kamar dari luar karena tahu pemburu berita itu terkadang nekad. "Kami dengar, anak lelaki Pak Pratam