"Tidak mungkin, ini tidak mungkin."
Yunita meracau. Penampilannya sudah kacau dengan mekap luntur dan rambut berantakan.
"Mas, katakan kalau kamu cuma mau menghukummu, kan? Maaf karena aku tak ada di rumah saat kamu pulang. Katakan dimana Hera, Mas! Kumohon."
Yunita masih mencoba berpikiran positif kalau ini cuma prank.
Fajar dan ibunya masih sesenggukan. Tidak seharusnya saling menyalahkan dalam duka, tapi terlalu berat untuk menerima pahitnya kenyataan.
"Bu, kenapa banyak pengharum ruangan di kamar Hera? Biasanya dia tidak suka bau jeruk."
Suaranya bergetar dan mulai melunak, menatap sang mertua dengan penuh harap.
"Cucu Ibu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dan sudah bau, Yun. Mungkin sudah beberapa hari, baru ketahuan tetangga," jawab Bu Sumi di sela tangis.
Yunita kembali meraung-raung. Ini semua bukan mimpi.
Dua minggu yang lalu, dia terlalu ingin liburan dengan teman-teman barunya. Sayang kalau tidak ikut, tapi bingung jika harus membawa Hera. Apalagi semua biaya liburannya akan ditanggung lelaki tampan bernama David.
Hera memang anak yang cantik, tapi tubuhnya sedikit bongsor karena makannya tidak teratur. Semuanya dituruti hingga berat badan meningkat.
"Gendut banget sih, padahal ibunya langsing. Mungkin karena sudah terikut-ikut pergaulan, anak sendiri jadi tak terurus," celetuk seorang ibu-ibu saat Hera bermain di halaman bersama temannya.
Gadis itu menangis dan mengadu pada Yunita.
"Kamu jangan dengerin kata orang, Her. Kamu itu lucu dan imut. Kamu berisi badannya karena sering makan enak. Mereka cuma iri sama kita karena tidak pernah makan tahu tempe lagi," balas Yunita, masih sibuk merapikan barang belanjaan.
Hera mengangguk paham, tapi kenyatannya dia masih di-bully saat sekolah. Sejak saat itu, dia jarang keluar rumah dan berniat mau diet sesuai arahan yang dia pelajari dari youtube.
Saat Yunita dengan setengah hati mengajak ikut liburan, Hera menolak dan memilih tinggal di rumah saja. Ikut pun akan membosankan karena ibunya sibuk dengan teman-temannya.
"Baiklah, Sayang. Ini uang jajan kamu. Kalau lapar, beli makan saja, ya. Ajak temanmu ke sini kalau kesepian. Kamu memang anak yang mandiri," ujar Yunita antusias, menciumi kening putrinya.
"Iya, Bu."
"Kalau Ayah menelpon, jangan diangkat. Jangan pernah kasih tahu kalau Ibu pergi, ya! Kamu gak mau, kan kalau ibumu ini dimarahi?"
Hera mengangguk paham, meskipun konsekwensinya dia harus menahan rindu.
"Ibu akan sering tanya keadaanmu nanti, ya. Oke, baik-baik di rumah, Sayang," tandas Yunita saat mendengar klakson mobil temannya yang menjemput telah tiba.
Siapa sangka, itu jadi waktu terakhir dia melihat wajah putrinya yang sedikit pucat. Tak pernah tahu kalau Hera sudah mulai menjalani diet karena jarang makan bersama. Yunita sibuk dengan ponselnya, tertawa dan bercerita dengan teman baru yang mengasyikkan.
"Aku tak pernah menyangka kalau istriku yang begitu sayang pada anaknya dengan tega meninggalkan Hera sendirian di rumah ini. Jika memang tak sayang lagi padaku, tapi bagaimana bisa abai pada anak yang dulu kamu kandung dengan penuh pengorbanan," lirih Fajar. Suaranya sedikit lebih tenang setelah mengatur napas.
Bu Sumi sudah beranjak dari kursinya sejak tadi. Dia tak mau melihat anak menantu saling menyalahkan, tapi permasalahan ini memang harus diselesaikan agar tidak berlarut-larut. Jika memang menantunya sudah berkhianat, ia pun setuju kalau keduanya bercerai saja. Tapi jika hanya keteledoran seorang ibu, bukankah setiap orang bisa melakukan kesalahan.
"Ini juga salahmu, Mas. Kenapa kamu tak memberiku uang untuk modal liburan? Coba saja kamu kasih, aku tak perlu menonaktifkan hape. Dengan begitu bisa menelpon keadaan Hera meskipun dia tak ikut," ceplos Yunita. Sebelumnya dia minta uang dengan mengaku ingin membuka usaha.
Sontak saja perkataan Yunita membuat Fajar terkejut. Dia menegakkan punggung dan menatap sang istri dengan tajam.
"Egois! Ibu tak punya hati!"
"Ingat, Mas. Kamu dulu sangat berjuang demi bisa menikahiku. Jangan sakiti aku," lirih Yunita. Kakinya mundur dengan gemetar karena Fajar melangkah mendekatinya dengan tatapan benci.
Fajar berdecak, lalu tersenyum sinis. Jika orang lain ditimpa musibah, pasangan saling menguatkan. Sedang mereka, apa-apaan ini?
"Aku tak pernah lupa bagaimana susahnya aku mendapatkan kamu, Yun. Tidak akan. Tapi aku juga tak akan pernah lupa bagaimana kamu menghancurkan semua kepercayaanku. Tenang saja, aku tak akan mengotori tanganku dengan menyakiti fisikmu. Kita akan bercerai." Fajar berucap dengan tegas.
"Apa, Mas? Jangan ceraikan aku, Mas! Biarkan Hera tenang. Dia pasti akan sedih kalau orang tuanya bercerai."
Yunita berlutut di kaki Fajar. Kelihatan kalau dia tak menginginkan perpisahan itu terjadi.
"Kita masih bisa bahagia, Mas. Kita akan memiliki anak lagi. Kumohon, Mas, berikan aku kesempatan kedua."
Fajar bergeming, meninggalkan istrinya di ruang tamu dan masuk ke kamar Hera. Mengunci dari dalam dan kembali meratapi nasib. Dia dilema. Masihkah sanggup bahagia serumah dengan wanita yang dulu dicintainya? Cinta yang telah berubah jadi benci.
*
Dua minggu telah berlalu, Fajar tak pernah mau bicara dengan istrinya. Mereka juga tidur terpisah. Dia masih bimbang dengan keputusannya karena Yunita mulai menunjukkan sikap yang baik pada mertuanya.
"Fajar, Yunita, sepertinya Ibu harus pulang hari ini," ujar Bu Sumi setelah mereka siap sarapan.
"Kenapa buru-buru, Bu? Tinggallah di sini sampai Mas Fajar mau makan masakanku," lirih Yunita.
"Ibu sudah kangen rumah, Yun. Mungkin setelah Ibu pulang, hubungan kalian akan semakin membaik.
"Baiklah, Bu. Sering-sering berkunjung ke sini, ya," balas Yunita, memeluk mertuanya. Bu Sumi sedikit bahagia karena hubunganya dengan sang menantu satu-satunya mulai menghangat. Dulu Yunita bukanlah menantu idamannya, tapi karena Fajar cinta, seorang ibu mengalah dan membuang ego demi kebahagiaan anaknya.
Namun, kebaikan Yunita tentu masih meningalkan tanda tanya. Apakah tulus atau hanya mengambil hati karena tahu dia salah.
Fajar mengantar sampai pintu dan memberikan sejumlah uang.
"Makasih, Nak. Jaga keadaanmu, ya. Apapun keputusan yang terbaik menurutmu, Ibu tidak akan turut campur. Yang penting, kamu pikirkan masak-masak."
"Iya, Bu."
Brugh.
Suara benda berat yang terjatuh ke lantai membuat ibu dan anak itu berlari menghampiri. Yunita jatuh pingsan dan ada darah membasahi kakinya.
Enam bulan berlalu dengan status sebagai duda, David perlahan menjadi insan yang lebih taat. Berkat kesabaran Hardi mengingatkannya agar salat. Tak lupa juga buku tuntunan salat jadi bacaan wajib David. Karena dasarnya dia waktu kecil adalah anak yang pintar mengaji, tak terlalu susah untuk mengembalikan kepingan ingatan. Apalagi diringi niat yang kuat. "Dav, sepertinya sudah saatnya kamu pergunakan ijazah kamu, deh. Aku yang cuma lulusan SMA sederajat tak merasa pantas punya pekerja seorang sarjana," ujar Hardi suatu hari. Dia merasa kalau David sudah benar-benar berubah dan saatnya dikembalikan ke tempat yang seharusnya. "Apa aku punya salah, Mas? Sampai-sampai harus dipecat dengan alasan seperti ini? Jika pun aku cari kerja di tempat lain, belum tentu dapat bos sebaik Mas Hardi," ujar David cemas. Sahabatnya Fajar tertawa sekilas, lalu menepuk bahu pekerjanya yang paling rajin. "Kamu tak salah apa-apa, Dav. Aku tahu kalau kamu sarjana dan kebetulan ada satu perusahaan yang lagi
"Pulang atau kopermu kubuang ke jalan!" ancam David melalui sambungan telepon. Yunita kaget, kenapa tiba-tiba suaminya yang sudah lembut kembali ke sikap aslinya. Suka marah-marah. "Oke oke. Aku balik sebentar lagi.""Sekarang.""Nanti!"Yunita mematikan ponsel sepihak. Mendengar suara musik yang hingar bingar, David tak sabar menunggu. Tak yakin kalau Yunita akan secepatnya pulang. Tak butuh lama untuk menemukan tempat tongkrongan istrinya dan pertengkaran pun tak lagi terelakkan, terlebih David memergoki Yunita sedang bermesraan dengan seorang lelaki yang kelihatan jauh lebih tua, tapi berpenampilan kaya. "Aku ini suamimu, tapi beraninya kamu bermesraan dengan kakek-kakek tua itu," sergah David. Setelah sampai rumah, tak bisa dibendung lagi kemarahan itu. Sebuah vas bunga keramik pun melayang ke lantai, sengaja dilempar agak dekat dengan Yunita hingga dia bergidik ngeri. "Kamu mau membunuhku, Mas?""Iya, daripada kamu menodai kehormatanku sebagai suamimu. Jangan-jangan kamu sudah
Di warung nasi goreng, Raya dilayani bagai ratu. Ya, semenjak dikabarkan hamil, dia tak dibolehkan bekerja oleh sang suami. Usaha loundry tetap berjalan lancar karena asisten kepercayaan Raya tidak pernah mengecewakan. Usaha nasi goreng Fajar pun sudah menggeliat. Tempat jualan utama kini dengan menu beragam, mengontrak di sebuah ruko yang tak jauh dari loundry milik sang istri sehingga dengan mudah mengontrol usaha itu agar tetap kondusif. Sementara warung sederhana yang dulu masih tetap beroperasi dengan dua mantan preman sebagai tukang masaknya. "Mas, aku mual," keluh Raya. Kebetulan pelanggan lagi sepi. "Ayo kita ke rumah sakit, Dek. Tunggu, aku tutup warung dulu." Fajar hampir menyuruh satu karyawannya untuk menutup warung, tapi Raya tertawa dan mencubit lengan suaminya. "Aku cuma mual, Mas, bukan sakit. Kata bidan ini biasa. Tak perlu ke rumah sakit kali. Aku cuma pengen air hangat," kekeh Raya. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau kamu ada keluhan lain yang lebih serius, kita perik
"Mau kemana kita ini, Mas?" cecar Yunita dengan wajah kesal. Semua impiannya jadi orang kaya telah hancur dalam sekejap. David memang tampan, tapi tidak akan bisa membahagiakan tanpa adanya uang. "Ke kontrakan kamulah. Belum habis bulannya, kan?" tanya David. Dia tak menoleh dan terus menarik kopernya, berjalan mendahului Yunita yang agak kesulitan berjalan karena masih menggunakan high heels. "Tapi aku udah ambil semua barangku dari sana, Mas. Mas kita balik lagi?" protes Yunita. Ia sedikit berlari agar bisa menyejajarkan langkah jenjang sanah suami. "Gak apa-apa. Kita ke sana lagi. Kita gak punya uang yang cukup untuk ngontrak lagi. Setidaknya untuk saat ini tak perlu mikirin uang kontrakan."Yunita menarik napas panjang. Ibu kontrakannya termasuk nyiyir karena sering menegurnya jika ketahuan mengizinkan David masuk ke rumah itu malam-malam. Dengan angkuhnya Yunita melempar kunci pada pemilik kontrakan dan mengatakan tak akan pernah kembali ke situ lagi. Seperti menjilat ludah
"Keterlaluan, kamu jahat banget sih, Raya? Aku akan balas perbuatanmu hari ini!" seru Yunita, lalu berlari ke ke kamar mandi. Rasa panas mulai menjalar di sekujur tubuh yang terkena air cabe saos itu. Belum lagi mulut yang kepedasan. Mengguyur tubuh di bawah shower sekaligus meminum air mentah jadi solusi instan. Itu belum seberapa dibanding ulahmu pada keluargaku. Dasar benalu!Raya tersenyum puas, lalu melenggang ke kamar, menyusul sang suami. Namun, dia sedikit terkejut karena Fajar berdiri di dekat pintu."Loh, kok belum tidur, Mas?" tanya Raya kikuk. Biar bagaimanapun bencinya dia pada Yunita, tetap ingin terlihat lembut di mata suami. Tak ingin kalau Fajar mengecapnya sebagai wanita yang kasar. "Mas tidak ada lagi perasaan sama Yunita, Dek. Namun, Mas tak suka kalau kamu melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain. Lebih baik menghindar dari masalah yang tak bermanfaat. Kita tak bisa mengubah seseorang seperti yang kita mau. Itu hak Allah sepenuhnya. Dinasehati dan didoakan
"Aneh sekali. Bukannya kalian saling mencintai dan akan menikah? Lalu kenapa harus ada adegan pemaksaan begini? Palingan juga kalian melakukannya atas suka sama suka, tapi kamu pura-pura dilecehkan. Iya, kan?" tuduh Raya."Kamu juga perempuan, Ray. Tega sekali kamu menuduhku seperti itu," isak Yunita, masih bersembunyi di balik selimut. "Aku bicara fakta. Soalnya Mas David juga belum bangun sejak tadi, padahal sudah berkali-kali dibangunkan. Sepertinya dia kena efek pil tidur dosis tinggi," desis Raya. Benar-benar tak menyangka kalau akan terjadi kasus seperti ini, padahal kedua orang tua David sudah merestui sejak awal. Disuruh menikah secepatnya, tapi malah diundur-undur dengan alasan Raya harus duluan menikah. "Pa, banyak wartawan yang datang ke sini," ujar Fajar dan didengar oleh Raya. Dia meninggalkan Yunita dengan segala aktingnya dan menemui wartawan. Tak lupa mengunci pintu kamar dari luar karena tahu pemburu berita itu terkadang nekad. "Kami dengar, anak lelaki Pak Pratam
"Dasar gadis kasar!" desis Yunita. Wajahnya geram, tapi tak berdaya untuk melawan. Betisnya sakit, lutut dan telapak tangan juga sedikit nyeri. Kalau dipaksakan melawan, bisa jadi Raya akan membuat tubuhnya semakin mengerikan. "Oh, Maaf. Aku bukan gadis lagi. Aku ini seorang istri sah dari Mas Fajar dan kami sudah menghabiskan malam bersama."Raya terkekeh. Semua pegawainya sudah ia suruh masuk sehingga tidak perlu tahu urusan pribadinya dengan pelanggan baru yang sok mengancam itu. "Apa? Tidak mungkin! Kamu pasti yang merayunya. Mas Fajar masih mencintaiku." "Kenapa tidak mungkin? Aku jauh lebih cantik dari kamu, Mbak. Kecantikanmu hanya dempulan dan mengundang syahwat lelaki. Jangan kira kalau suamiku masih terbayang akan masa lalunya, apalagi mencintai sampah kayak kamu! Mas Fajar sendiri yang memohon agar aku melayaninya dan aku mau karena kami saling cinta."Raya mengulum senyum. Jika dulu hanya sandiwara bermesraan di depan Yunita, sekarang sudah kenyataan. Tidak ada penyesal
Jika dipikir-pikir, mustahil seorang Raya, anak pengusaha yang punya uang berlimpah harus menghabiskan malam pengantin di sebuah perkampungan. Untung saja rumah itu disulap bagai hotel mewah. Dalam hati yang rela, meraup kisah cinta nan indah. Itulah kenyataannya. "Gimana? Berhasil, kan?" goda Hasan saat Fajar keluar kamar pagi harinya dengan senyuman tipis di wajah. Cukup bisa menjelaskan kalau malam yang mereka lalui terasa indah."Mas Hasan bisa saja bikin istri saya jengkel, tapi sekaligus juga membuktikan cintanya pada saya. Apa ada yang menyuruhmu, Mas?" cecar Fajar dengan pandangan menyelidik. "Dibilang menyuruh sih enggak, tapi saya dengan kerelaan juga melakukan ini. Hardi, temanmu saat kerja di kebun sawit adalah sepupu istri saya. Tadi pagi Hardi cerita tentangmu dan mantan istri, lalu mengatakan kalau Mas Fajar dan istri lagi berkunjung ke kampung mantan. Jadi rencana dadakan ini direstui alam dengan turunnya hujan," kekeh Hasan.Fajar tersenyum seraya menggeleng-gelengk
Hati memang bisa berbolak-balik. Yang benci jadi cinta dan sebaliknya. Tapi hati tidak bisa pura-pura dan dipaksakan semau kita. Hanya lisan saja yang sering berdusta dan seenaknya ingin mempermainkan hati. Itulah yang Yunita lakukan. Fajar benci keadaan itu. Wanita yang rencananya akan menjadi istri pertama dan terakhir telah menusuk hati dengan belati tajam. Seolah hati bagai permainan, Yunita dengan mudah meminta rujuk. Sejak awal sudah jelas di mata itu tak ada lagi cinta, tapi sedikit penyesalan dan didominasi keegoisan.Saat hati bersiap membuka pintu untuk wanita bergelar istri sah, sang mantan mulai mengusik ketenangan jiwa. Andai saja sudah saling cinta dengan Raya, mungkin akan lebih mudah melawan ombak bersama-sama. "Apa kamu mencintaiku, Raya?" tanya Fajar setelah mereka memasuki mobil. Wanita berlipstik tipis itu tak menjawab, membuang muka ke jendela mobil. Seolah memberikan jawaban kalau dia tak akan mungkin jatuh cinta dengan sang suani.Fajar sadar kalau dia dan Ray