Pov WisnuSore hari di teras rumah.Aku duduk dengan kedua tangan menarik lutut. Mata tertuju pada jeep merah yang terparkir cantik.Pemilik mobil itu mengaku sebagai calon suaminya Alina. Pasti dia bukan orang yang biasa. Dari penampilan dan kendaraannya jelas sekali orang kaya. Aku senang jika Alina sudah tidak terpuruk seperti dulu. Tetapi sisi lain dalam diri masih tak ikhlas. Jauh di dalam hati, nama Alina masih terukir dengan tinta emas.Sudahlah, Wisnu. Bukankah sudah terlalu banyak kau menyakiti Alina? Sekarang biarkan dia bahagia.Benar. Alina harus bahagia. Tapi masalahnya, apa aku bisa melihat dia bersanding dengan orang lain? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Brengsek memang, dia kukhianati tapi tak boleh dengan orang lain.“Kukira orang kaya, ternyata cuma supir.” Seperti biasa, Shena pulang dengan mengomel. Wanita yang semakin berisi itu melirik jeep merah lalu melanjutkan kalimatnya. “Haih, mobilnya ternyata cuma sewa.” Shena melenggang lagi melanjutkan
Aku hilir mudik menunggu Bang Rasya. Ke mana dia pergi? Kampung ini kan bukan tempat tinggalnya. Mana pergi tak bilang-bilang pula. "Cari siapa, Lina?" tanya bapak yang melihat kekhawatiranku. "Bang Rasya. Ke mana, ya, kok lama perginya." "Bapak lihat ngobrol sama Wisnu tadi. Mungkin masih di sana." "Di mana, Pak?" Aku mengernyit tegang. "Di rumah Shena." Ya Allah. Aku duduk dan memegangi dada. Jangan sampai hal yang dulu kejadian lagi Ya Allah. Jangan. Sungguh aku tidak akan bisa hidup jika itu sampai terjadi dua kali. Jantungku berdetak tak beraturan, telapak tangan mulai dingin. "Lin, kamu kenapa pucat sekali?" Bapak langsung duduk menyentuh lenganku. "Alina takut kejadian yang dulu terjadi lagi, Pak. Bang Rasya kenapa pergi ke rumah Shena?" Bapak mengusap-usap punggungku. "Tenang, tenang, istighfar, Rasya ngobrol sama Wisnu di depan rumah sambil ngopi ... Tenang, istighfar, tidak akan terjadi apa-apa. Atau bapak suruh Rasya pulang?" Bapak memiringkan wajah demi melihat r
Malam hari di ruang tengah."Pak, Bu. Saya tak bisa lama-lama kat sini. Sebetulnya kedatangan saya kat sini nak lamar Alina." Pria berkopiah itu bicara. Raut wajahnya menenangkan."Nak Rasya serius? Sudah benar yakin pada anak bapak?""Tentu saja, Pak. Tak kan saya datang jauh-jauh ke Indonesia bila tak serius. Saya sungguh ingin menikahi Alina. Ibu saya pun dah setuju."Bapak diam. Menunduk berpikir. "Begini Nak Rasya. Anak bapak pernah dikecewakan. Bapak tidak ikhlas dunia akhirat jika anak bapa terluka lagi. Bapak tidak akan memberikan Alina jika Nak Rasya tidak bersumpah demi Allah akan membahagiakan anak bapak dan tidak akan pernah menyakitinya."Jujur. Aku tidak suka cara bapak dan ibu bersikap baik pada Bang Wisnu juga Shena. Harusnya bapak menghapus mereka dari silsilah keluarga. Tapi sekarang aku mengerti, betapa bapak menyayangiku. Pria lanjut usia ini hanya mau merangkul semuanya."Maaf Pak, saya tak bisa mempertaruhkan nama Allah Yang Maha Besar. Saya tak mau mempertaruhka
Pov Wisnu.Kau tahu mesin press besi? Alat yang biasa digunakan untuk menghancurkan drum bekas. Cara kerjanya adalah: kau tinggal simpan drum bekas pada tempat khusus, lalu dengan perlahan silinder baja akan menekan drum sampai menjadi lempengan.Begitulah gambaran aku sekarang--seperti drum bekas. Lempengan baja sedang berjalan siap menghancurkanku dengan perlahan. Parahnya, aku tidak bisa gerak atau berontak. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan diam, meski tidak bisa diterima jiwa raga.Beginilah dilemanya punya cinta yang tak tuntas. Ingin berjuang untuk hidup bersama kembali salah! Mau melupakan tidak bisa. Membiarkan juga sama artinya bu**h diri.Dadaku dibakar cemburu ketika melihat Teuku Arasya dan Alina berpacaran di samping rumah mereka. Bahkan dengan sok akrabnya Teuku Arasya mengabarkan pertunangan mereka besok. Rasanya aku ingin melayangkan bogem pada orang seberang itu.Aku separah ini bahkan sebelum mereka menikah. Apa lagi nanti saat mereka bersanding. Andai aku tid
"Wisnu, ibu mau bicara sebentar." Ibu mertua berbisik. Aku mempersilakan para tamu untuk masuk rumah, lalu menghampiri ibu mertua. "Kenapa, Bu?" "Wisnu, boleh pinjam tempatmu untuk menerima tamu. Sekalian tunangan di sana. Ibu tidak enak kalau di sini!" pintanya. Duh, aku dilema lagi. Membantu saja sudah terpaksa apa lagi meminjamkan rumah. Tapi ibu benar. Malu kalau menyambut mereka di sini. Meskipun Teuku Arasya tidak mengakui latar belakangnya, aku yakin mereka bukan orang sembarangan. "Minta izin sama Shena saja lah, bu. Itu kan bukan rumahku." Lalu entah bagaimana, Shena yang perhitungan dan tidak mau peduli pada orang lain itu mengijinkan rumahnya untuk dipakai. Empat tamu, Teuku Arasya, dan aku duduk di ruang tamu. Para perempuan di ruang Tv--posisinya dekat ruang tamu. Sementara bapak mertua ke sana-sini terus, sibuk tidak jelas. "Ada tempat bagus untuk off road di daerah sini, Bang?" tanya salah seorang dari mereka dengan antusias. Yang tua di antara mereka hanya yang
Pov Alina"Dik." Bang Wisnu mendekati. Aku yang sedang membereskan meja bekas para tamu, segera berdiri dan mundur beberapa langkah untuk memberi jarak."Kau kemarin minta aku yang membawa acara pertunangan kalian. Sekarang kau mau calon suamimu tinggal di rumah kita. Kenapa tak kau bunuh aku sekalian, Dik!" kata pria yang matanya sendu itu.Aku mengernyit. Ekspresinya seolah diri paling teraniaya. Kalimatnya serupa jiwa yang sangat nelangsa. Hai! siapa yang kemarin memulai? Apa masih lupa kejadian yang telah lama? Kita tidak pernah bertengkar dan tak ada masalah. Lalu tanpa tedeng aling-aling, kau menghancurkan semuanya. Jika bukan karena kepepet aku juga tidak mau melihatmu.Aku mengangkat dagu. Tersenyum miris. "Abang mau mati? Mati saja, siapa yang mau peduli." Mataku membola. "Ingat. Belum ada pembagian gono-gini. Jadi di rumah ini masih ada hakku.""Abang tahu, tapi kenapa harus di rumah ini. Cari tempat yang lain.""Ada apa ini, Dik?" Bang Rasya tiba-tiba datang dan menyaksikan
"Iya ... puas?" Aku menatapnya lekat. "Mbak sudah khatam dengan karaktermu, Shena. Wisnu saja kau mau yang hanya guru honorer, apa lagi calon suamiku.""Jadi betul dia orang kaya? Mbak harus hati-hati kalau begitu. Layani dengan baik jangan sampai aku ambil lagi." Shena tersenyum puas."Shena ... Shena .... Mbak tak habis pikir. Padahal dulu kamu itu model. Mbak pikir kamu akan jadi orang sukses dan besar. Malah jadi istri kedua. Kariermu mentok gak naik lagi. Eh, malah selingkuh sama Wisnu yang hanya guru honorer." Aku menggeleng. "Padahal dulu kamu itu cantik, pasti bisa dapat yang lebih baik dari Wisnu. Sayang sekali, ya." Aku menggeleng lagi. Ini pandangan tulus seorang kakak pada adiknya.Dari kecil Shena adalah anak kebanggaan ibu dan bapak. Apa yang dia mau pasti dituruti. Shena ikut modeling ke kota. Ikut testing sana sini. Pakaian baju bagus dan mahal. Bapak sampai jual sawah untuk mengikuti semua kemauannya. Sementara aku hanya menonton dan bertepuk tangan. Karena sadar aku
Tahun 2014.Ini pertama kali aku menginjakkan kaki di negeri Jiran. Berjalan di bandara dengan membawa tas jinjing berisi beberapa helai pakaian. Menggunakan sandal teplek dan ikat rambut karet.Punya suami guru honorer yang penghasilannya beberapa ratus ribu saja, jangankan beli bedak atau lipstik. Beli baju setahun sekali saja sudah luar biasa. Penampilanku tak ayal bak gembel. Usia 30 tahun seperti 40 tahun. Ditambah ujian yang tak dapat kupikul. Lengkap sudah. Serupa mayat berjalan.Aku duduk di salah satu kursi. Menunggu seseorang. Berdasarkan informasi dari pihak penyalur tenaga kerja, akan ada yang datang menjemput. Yang paling ditakutkan orang-orang ketika menjadi TKW yaitu punya majikan yang tak berperikemanusiaan. Aku malah berdoa dapat majikan begitu agar bisa mati tanpa bunuh diri.Seorang pria tampan memakai kemeja dan dasi yang dibalut rompi menghampiri. "Name awak Alina, bukan?" tanyanya ramah."Iya, saya." Aku menjawab datar."Pekerja dari PT Khalid Anhar.""Betul, Tua