Share

Kemana Retno!

Pertemuan yang seharusnya membuat kedua teman masa kecil itu berbahagia saat ini, tapi duka yang terjadi membuat pertemuan itu terasa berbeda.

Angga tidak banyak bersuara, Yotta yang dikenalnya adalah sosok gadis yang sedikit tomboy, bukan dari penampilannya yang biasa saja melainkan apa yang dulu mereka lakukan bersama.

Ketika Yotta kecil meskipun seorang perempuan, tapi dia cukup lincah memainkan segala permainan yang berhubungan dengan anak laki-laki.

Yotta sangat lincah memanjat pohon, dia tidak akan takut sekalipun pohon yang tidak bercabang.

Tapi gadis yang di hadapannya saat ini tampak berbeda, selain parasnya yang bertambah cantik, kepribadiannya juga sedikit berubah.

Tidak ada lagi Yotta kecil yang tomboy, sekarang dia berubah menjadi gadis muda seperti pada umumnya.

Terlebih saat ini, dengan kedua mata sembab itu semakin membuatnya tampak menjadi sosok gadis lemah dan lembut.

Sosok yang begitu hangat dan penyayang dengan kedua adiknya, Angga tidak pernah berpikir waktu begitu cepat berlalu dan merubah seseorang.

"Ngga, maaf aku sudah terlalu merepotkan dirimu, padahal kau baru saja kembali,” ucap Yotta membuka suara.

"Hmm, kau temanku, aku merasa cukup beruntung bisa berada disini saat kau sedang mendapat musibah,” balas Angga.

" . . . " Yotta kembali diam.

"Yo, jangan sungkan terhadapku, jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa bicarakan hal itu padaku.” Angga melanjutkan kalimatnya.

"Kau bahkan masih seorang mahasiswa," Sela Yotta, sebuah garis melengkung terukir di bibirnya, sebuah senyuman manis yang cukup singkat.

"Kau masih bisa mengejekku.” Angga menangkap senyuman singkat dari gadis dihadapannya.

"Hmm, aku cukup terhibur. Setidaknya ada seseorang yang menemaniku disini." Ucap Yotta, kalimat itu keluar begitu saja, sedangkan kedua matanya menatap sesuatu diluar sana sana.

Pandangan yang tidak jelas, Yotta menyembunyikan kesedihan yang dia rasakan saat ini.

"Tunggu sebentar, aku akan membuatkan minuman untuk dirimu." Yotta bangkit dari kursi bambu tempat keduanya duduk, dan melangkah masuk.

Langkah itu terhenti di tengah dapur, kedua mata indah itu kembali memanas, melihat tungku yang dingin tak tersentuh api.

Biasanya pagi-pagi sekali, api di tungku itu pasti sudah menyala. Sang ibu sudah bergelut dengan asap dari kayu bakar untuk membuat sarapan ketika mereka semua masih terlelap di buai mimpi.

Kenangan yang membuat hati kembali terasa sakit, Yotta menghapus bulir bening yang lolos dari sudut matanya, mengambil beberapa potong kayu dan menyalakan api untuk memasak air.

Api menyala, asap putih kembali terlihat perlahan mengisi ruangan, Yotta duduk memeluk kedua kakinya, menyembunyikan wajah yang kembali menangis.

Rasa pilu dalam hati semakin menjadi-jadi, luka yang terasa semakin dalam seiring asap yang semakin menyebar.

Meskipun sudah mencoba berulang kali, membuat dirinya lebih tenang agar bisa menjadi sosok yang kuat untuk si kembar, nyatanya dia begitu rapuh.

Kehilangan kedua orang tua, adalah kepahitan yang tidak bisa digambarkan, hatinya begitu pilu, duka nestapa yang terpaksa harus ditelan demi untuk terlihat tegar.

"Jika aku sedikit memaksa hari itu, mungkin semua tidak akan terjadi, ini salahku, aku membiarkanmu pergi dalam keadaan sakit," bisik Yotta dalam hari kecilnya.

"Ayah, ibu.. kenapa kalian pergi begitu cepat, aku tidak tau apa yang akan aku lakukan sekarang. Bagaimana caraku untuk bisa menjaga Yora dan juga Yoga, saat aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Bu… apa yang harus aku lakukan," gumam Yotta.

Api yang menyala besar membuat air mendidih begitu cepat, air yang meluap membasahi kayu yang terbakar.

Desiran itu membuat Yotta kembali pada dirinya, gadis itu bangkit mengambil gelas dan membuat segelas teh hangat untuk orang yang sudah membantunya.

"Mana Retno!!” Terdengar seseorang berbicara dengan nada tinggi di luar rumah.

Suara itu membuat kegiatan Yotta terhenti, si gadis muda meletakkan sendok yang baru dipakai untuk mengaduk teh yang sedang dibuat dan segera berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Maaf pak, ada apa ini?” tanya Yotta pada dua orang laki-laki yang terlihat berbicara seolah menantang pada Angga temannya.

"Ohh!! kau gadis kecil, mana ibumu? Bukankah hari ini dia sudah berjanji untuk membayar hutangnya? Kami sudah cukup memberikan kelonggaran pada ibumu, mana dia suruh keluar!! " ucap pria itu dengan berang.

"Apa maksudmu, aku tidak mengerti. Ibuku tidak pernah membicarakan mengenai hal ini,” awab Yotta, pandanganya turun tidak berani menatap laki-laki di depannya.

"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan ini padamu, suruh keluar ibumu sekarang!!" bentak pria yang memiliki wajah lebih garang.

"Maaf pak, apa kau tidak melihat tanda di depan itu, mereka baru saja mengalami musibah. Dan orang yang kalian cari baru saja dikuburkan," sela Angga.

Pria muda itu mendekat, berdiri di depan Yotta untuk menjawab dua orang laki dewasa yang datang menagih hutang.

Kedua pria itu menoleh pada tanda di depan rumah, sesaat keduanya diam karena mengerti apa yang terjadi.

Tapi mereka sedang bekerja, mereka tetap harus mendapatkan sesuatu sebelum pergi.

"Bagaimana dia bisa mati secepat ini, siapa yang akan membayar hutang-hutang yang ditinggalkan," gumam salah satu dari mereka.

"Berapa hutang bu Retno?" tanya Angga.

Pria muda itu begitu lantang dalam bersuara, seolah tidak ada rasa takut di dalam hatinya.

Kedua pria itu terlihat mengeluarkan selembar kertas, dan memberikan pada Angga.

Kertas yang berisi surat perjanjian piutang antara Bu Retno dengan pihak mereka.

Angga membaca isi kertas itu dengan seksama, sedangkan Yotta mengintip dari balik tubuh pria muda itu.

"Seratus lima puluh juta!!! " Yotta tersentak dengan jumlah hutang yang tertulis.

** Selamat Membaca **

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status