Share

Derya si Jahat

Dug! 

Betapa terkejutnya hati Seika begitu membaca pesan Welas di chat room. Bagaimana bisa dia melupakan sesuatu yang sangat penting dan mungkin saja berarti dalam hidup Kama, kekasihnya? Dia merasa seluruh otaknya sudah mengalami konsleting dalam sekejap mata sehingga macet total untuk beberapa saat lamanya. 

"Seika, kamu nggak apa-apa?" Kama bertanya dengan kekhawatiran menjalar cepat menuju hati, "Kamu baik-baik saja, kan?"

Diperhatikan setulus itu oleh urat nadinya, kulit wajah cantik alami Seika berubah menjadi merah jambu. Senyum manis tergambar lamat-lamat membuat Kama menarik sebuah kesimpulan sederhana. Mungkin belahan jiwanya teringat sesuatu yang jauh lebih penting dari pada makan siang bersamanya. Dia juga berpikir, mungkin Seika meninggalkan sedikit pekerjaan di ruangannya.

"Oh, Kama … Aku, aku minta maaf ya?"

"Lho, kok minta maaf? Untuk apa, Seika?"

"Aku benar-benar melupakan sesuatu  dan sepertinya sekarang harus kembali ke ruang kerja. Oh Kama, maafkan aku karena harus membatalkan makan siang kita hari ini. Mungkin besok? Ah, hari Senin, maksudku."

Seika menjadi semakin gugup ketika teringat kalau besok ini Sabtu dan Seikamara Publishing libur. "Oke, Kama? Apa ini nggak apa-apa?" 

Penuh pengertian, Kama memandang bola mata Seika yang terlihat seperti blue ocean. Lebih tepatnya, blue ocean dengan airnya yang meluap-luap ke teringat pantai. Dari sanalah Kama tahu kalau Seika dalam keadaan tidak baik-baik saja. 

"Seika, dengarkan aku!" sabar, Kama memulai percakapannya, "Asal kamu nggak apa-apa, aku juga akan baik-baik saja. Tak jadi soal, kalau kita tunda rencana makan siang kita hari ini. Terpenting kamu benar-benar nggak ada apa-apa. Oke?"

Seika mengangguk kecil, hatinya seperti daratan kering kerontang yang tersiram gerimis besar-besar. "Ya, Kama. Aku  nggak apa-apa. Oh, aku kembali ke ruang kerja sekarang ya, Kama? Nanti kita ketemu lagi, sebelum pulang. Bisa?"

Kali ini gantian Kama yang menganggukkan kepala, tanda setuju. Lagi pula, semua pekerjaannya sudah selesai hari ini. Tinggal beberapa naskah hasil revisi yang harus diperiksa, itu pun untuk jadwal kerja pekan depan. Tak masalah, jika harus bertemu dengan Seika terlebih dahulu sebelum pulang. 

"Hati-hati Seika dan semoga sukses, ya?"

"Oke, Kama. Kamu juga. See you later!"

"Ya, Seika. See you later! 

Sesegera mungkin Seika berjalan keluar. Dalam hati dia menggerutu, jengkel sekaligus merasa bodoh. Bagaimana mungkin dia melupakan hari lahir Kama? 'Ya Tuhan, hari ini Kama ulang tahun dan aku lupa? Oh, my God! Untung Welas mengingatkan, kalau tidak?'

Sambil terus berjalan cepat menuju ruang kerja yang masih beberapa meter lagi di depan sana, Seika berpikir keras, kado apa yang akan dibelinya untuk Kama. Tahun kemarin, laptop. Kemarin lusa, kamera. Kemarin lusanya lagi, sepeda gunung. Nah, empat tahun yang lalu tepat mereka saling mengungkapkan perasaan cinta, Seika membelikan smartphone. Sekarang? Apa yang harus dia berikan?

"Aku tahu, Kama nggak pernah mengharapkan apa pun dari aku kecuali cinta yang tulus, kejujuran  dan kesetiaan. Tapi bagiku memperingati hari lahir itu sesuatu yang penting dalam hidup. Karena apa? Karena di hari itulah Tuhan memberikan  kepercayaan untuk aku menjalani semua yang telah digariskan-Nya di dunia fana ini." 

To: Welas Asih

From: Seika Eline

[Oh, thanks banget ya Welas?]

[Kamu sudah mengingatkan aku]

[So, kamu bisa kan, menemani aku membeli kado?]

[Sekalian having lunch, yuk?]

Ting … Twiwiwiwing!

New Chat@Welas Asih

[Yuk, sama-sama Sei]

[Bisa, ayuk?]

[Yeee, dapet traktiran makan siang. Happy, dong!]

***

"Sial, sial!" Derya memaki dirinya sendiri selepas menemui Menir Hank di ruang kerjanya, "Bodoh! Apa sih, yang susah kulakukan? Kenapa malah mendekati bara api seperti ini? Ugh, ugh! Awas kamu, Kama!" 

Tut, tut, tuuuttt!

Sedikit lega hati Derya begitu Hiranur mengangkat voice call-nya. Entah bagaimana tiba-tiba terlintas dalam benaknya, kalau hanya dialah yang bisa memisahkan Seika dari Kama. Padahal dia juga belum tahu apakah antara Hiranur dan Kama pernah terjalin kedekatan atau semacamnya. Tapi seingatnya, dulu Hiranur sering tebar pesona di hadapan Kama. Dulu, saat mereka masih sama-sama bekerja di Real Publishing. 

"Halo, Bang Derya?" Hiranur menyahut dengan suara lembut manjanya yang khas, "Bagaimana, Bang?"

"Ya Hir, lagi di mana ini?" Derya mengetuk-ngetukkan pensil mekanik di meja, tanda sedang berpikir super keras, "Aku mau ada perlu nih, sama kamu. Bisa?"

Hiranur membenarkan letak kerudung merah mawarnya yang terasa miring. Tanpa disadari keningnya berkerut-kerut, memikirkan keperluan apa yang dimaksud oleh Derya. Bukan apa-apa. Selama ini mereka tidak bisa dikatakan dekat, meskipun  sudah hampir empat tahun  bekerja di perusahaan penerbitan yang sama. Aneh baginya, kalau tiba-tiba Derya mendekat seperti ini. 

"Maaf sebelumnya ya, Bang Derya?" sahut Hiranur sembari men-shutdown laptopnya, "Memangnya ada perlu apa Abang sama Hira, Bang?" 

Mendapat respon yang sebaik itu, Derya tak mau kehilangan peluang barang sekecil debu pun. Oleh karenanya  langsung saja dia mengutarakan apa yang menjadi maksud hati dan tujuannya. Tapi tentu saja dia harus menyusun sebuah opening yang super menarik, bukan? Dia tahu, dara cantik berdarah Aceh itu tidak selemah boneka bayi yang lucu dan menggemaskan. 

"Gimana kalau kita makan malam di luar, Hira? Aku jemput kamu di kost, ya?" tenang, Derya memulai pembukaannya, "Soalnya ini penting banget Hira, nggak efektif lah kalau kita bicarakan di telepon. Ya? Aku jemput kamu di kost. Aku janji, kita nggak akan lama kok. Aku tahu, gimana aturan tinggal  di kost, kok. Kamu tenang saja, Hira."

Di kamar kostnya, Hiranur merasa semakin aneh dengan sikap Derya. Selama menjadi cover designer di Real Publishing baru kali ini dia sampai  mengajaknya makan malam. 'Ada apa, lho? Pening kali kutengok, orang itu?'

Sejenak, Hiranur memandangi pantulan wajahnya di kaca cermin berukuran 10R yang terletak di samping laptop. "Oke, Bang Derya. Tapi betul ya, tidak lama? Masalahnya Hira masih banyak yang harus dikerjakan, Bang."

"Siap, Bos!" Derya menyahut penuh kemenangan. Baginya ini adalah permulaan yang sangat bagus. Selanjutnya, tinggal memikirkan  bagaimana caranya mengafirmasi Hiranur supaya mau mendekati Kama dalam tanda kutip. Mendekati sekaligus menjadi perantara untuk menyelesaikan misi Menir Hank. Wah, belum-belum Derya sudah memberikan  standing applause untuk idenya yang cemerlang itu. Lebih cemerlang berkali-kali lipat dari pada sabun pencuci piring di rumah, sungguh. 

"Siap Bos, siap Bos!" Hiranur berseloroh, "Tapi betul ya Bang Derya, Hira harus sampai di rumah sebelum jam setengah sepuluh malam. Kalau nggak, besok-besok Hira tak mau berurusan sama Abang lagi. Titik."

Derya tertawa kecil di seberang sana, membayangkan bagaimana mimik wajah Hiranur saat mengucapkan semua perkataannya tadi. Lucu, lugu atau bagaimana? Tambah cantik pasti tapi dia menangkis pemikiran yang baru saja mengisi ruang hampa otaknya, tidak mungkin Hiranur bersikap galak. Dia kan, gadis yang lembut. Selembut salju. 

"Idih, galaknya? Iya. Tenang saja, aku nggak bakal ingkar janji, kok."

"Oke, Bang Derya. Kalau begitu Hira siap-siap dulu, ya?"

"Sip. Dandan yang cantik ya Hir, biar lancar urusan kita."

Klik tut, tut … Tuuuttt!

Cukup terkejut juga Derya, ketika menyadari kalau Hiranur telah memutuskan sambungan voice call-nya. Tetapi justru itulah yang bisa membuatnya tersenyum simpul. Artinya, dia tidak salah memilih orang. Dia juga yakin, dalam waktu singkat, Kama akan tersingkirkan dari kehidupan Seika. Itu berarti, Seika akan dengan mudah terjatuh ke dalam pelukannya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anura Su
lanjuut kaak ... saran nih hadiahnya gausah yg mahal tpi berkesan, hihihi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status