Share

Pungguk Merindukan Bulan
Pungguk Merindukan Bulan
Penulis: Humairah Samudera

Restu Menir Hank

"Saya minta, kamu segera mengatasi masalah ini, Derya!" tandas Menir Hank pada Derya yang duduk gelisah di depannya, "Saya tidak mau Seika sampai terjatuh ke tangan  Kama yang tidak berkelas itu. Kalau perlu singkirkan dia dari muka bumi ini!"

Sampai di sini Menir Hank memandang Derya dengan mata terpicing penuh kemarahan. Dahinya berkerut-kerut seperti kulit cakar ayam. 

Derya semakin gelisah. Benar, dia mendambakan cinta Seika tapi kalau sampai harus menghilangkan nyawa seseorang, sama sekali tak memiliki nyali. Kalaupun ada, sangat kecil persentasenya. Tak lebih dari lima persen. 

"Ta tapi, Menir?" tanya Derya di puncak tertinggi kegelisahannya, "Sa saya …?" 

"Tapi apa, Derya?" tanpa ampun Menir Hank menyudutkan Derya. Dia tak mau tahu. Karena Derya yang membawa informasi super penting ini maka dialah yang harus membantu menyelesaikan. Lagi pula, Menir Hank juga perlu tahu, apakah informasi ini valid atau tidak. Masalahnya selama ini dia tak pernah menangkap sesuatu yang aneh dalam diri Seika. Kecuali waktu tiba-tiba resign dari Real Publishing beberapa tahun yang lalu. 'Ya, ya. Papa tahu sekarang.  Rupanya kamu sudah  menciptakan game untuk kita mainkan bersama ya, Lieverd?'

Detik-detik begitu cepat berlalu. Ruang kerja Menir Hank semakin sepi oleh karena Derya tak juga memberikan kesanggupan. Bibirnya terkatup rapat, seolah-olah baru saja tersentuh oleh lem kayu. Wajah pucat, berkeringat tak sedikit pun berani memandang ke arah pimpinannya. 

Oleh karenanya lah, Menir Hank mengibaskan tangan. Senyum di wajahnya terlihat lebih masam dari pada bulir-bulir jeruk lemon matang. "Tidak masalah Derya, tak perlu risau. Saya bisa membayar orang yang profesional dalam hal ini. Tapi ingat, jangan selangkah pun kamu mendekati putri saya, Seika Eline. Apa kamu sudah mengerti, Derya?"

Di tempat duduknya, Derya benar-benar terhimpit kuat-kuat. Seluruh rongga dada terasa sakit dan sesak. Namun meskipun terasa sangat berat, dia berusaha untuk menggetarkan bibir, memberikan sebuah kesanggupan. Dari pada gagal mendapatkan cinta Seika? Baru membayangkan saja hatinya sudah patah menjadi seribu bagian.  "Sa saya ber bersedia, Menir."

Serta merta Menir Hank berubah gembira. Sebentuk tawa lega sekaligus puas penuh kemenangan terdengar menggema di seluruh ruangan bercat blue tosca itu. Entah mengapa, Derya semakin mengkerut di tempat duduknya yang terasa lembab. Menyusut selayaknya seekor siput yang ditaburi garam.

"Kalau begitu, tak perlu mengulur waktu lagi, Derya!" cakap Menir Hank memberikan  efek kejut tersendiri dalam diri Derya, "Segera selesaikan tugas kamu. Ingat, jangan sampai putri saya terluka dalam bentuk apa pun!" 

Tanpa menggetarkan secuil kata pun, Derya mengangguk. Sekarang dia bisa menarik napas lega. Sedikit lega. Walaupun sebenarnya masih belum tahu harus bagaimana memulai tugas super beratnya itu, Derya berusaha menyuguhkan senyum sopan untuk Menir Hank. 'Wah, gawat. Kalau sampai gagal, bisa-bisa aku yang lenyap dari muka bumi ini. Bukan si Supir buluk yang belagu itu. Menir Hank kan, nggak pernah main-main orangnya?'

Sebagai penutup, Menir Hank bertepuk tangan sambil berjalan mengelilingi meja kerja termasuk Derya. "Saya tunggu kabar baik dari kamu, Derya. Setelah ini saya akan mentransfer seribu Euro ke rekening kamu. Hahahaha, itu belum seberapa seberapa Derya. Kamu akan mendapatkan berlipat-lipat dari pada itu kalau berhasil." 

Prok, prok, prok! 

Melihat keseriusan Menir Hank untuk memisahkan Seika dari Kama, membuat Derya membeku. Masalahnya dia tahu, bagaimana dua insan itu saling mencintai dari sejak masih bekerja di Real Publishing dulu. Tak sesederhana memisahkan lebah madu dari setangkai bunga, tentu saja. Satu lagi, Derya juga tahu betapa kerasnya Seika terhadap sesuatu yang dicintainya. Cinta sampai mati lah, pokoknya. 

***

Cerah ceria, Seika berjalan ke ruang kerja Kama. Di sini, dia bukan lagi supir seperti waktu bekerja di Real Publishing, melainkan owner merangkap sebagai editor sama seperti dirinya. Benar-benar bukan perjuangan yang mudah tetapi sekarang mereka sudah mulai bisa menikmati hasilnya. Banyak penulis yang mempercayakan naskah mereka pada Seikamara Publishing. Puluhan, bahkan ratusan penulis. Wow, angka yang fantastis, bukan?

Tok, tok, tok! 

"Kama?" Seika memanggil sambil mengetuk pintu, "Aku boleh masuk?"

Gadis berdarah Indonesia - Belanda itu menggambar senyum manis. Di hatinya bermekaran bunga-bunga indah nan wangi. Seperti itulah yang dirasakannya setiap kali berdekatan dengan sang Pujaan Hati, Kama Nismara. Sampai-sampai seluruh aliran darah dalam tubuh menghangat, membuatnya panas dingin. 

"Ya, El!" sahut Kama gembira dari dalam ruang kerjanya, "Masuk, El!" 

Sembari menyimpulkan kebahagiaan dalam senyumannya, Seika membuka pintu. Mencoba untuk menurunkan kadar hangat dalam darahnya dengan menghela napas panjang. Memastikan anak rambutnya masih rapi, meskipun sudah mengikal secara alami. Demikianlah karakter rambut panjang pirangnya, ikal di bagian ujung dan anak rambut sedangkan yang lainnya lurus. Mata biru jernihnya tergenang air hangat untuk beberapa detik lamanya. Tak kuasa dia mencegah keharuan yang mengisi penuh ceruk hati.

"Hai, Kama!"

"Hai, El. Bagaimana … Kamu bahagia, kan?"

"Iya, Kama dan kamu?"

"Bahagia ,El. Seperti yang kamu lihat. Hehehehe, aku selalu bahagia El, kamu yang buat aku bahagia."

"Ah, kamu! Bisa saja? Kita saling membahagiakan kok, Kama. Aku juga bahagia karena kamu setia dalam perjuangan cinta kita."

"Oh, benarkah itu El?" 

"Ya, pindai dusta di mataku, Kama?"

Kama menggeleng-gelengkan kepala. Untuk apa dia memindai mata Seika, kekasih hatinya itu? Rasa percaya begitu besar, bulat dan utuh padanya. Tak pernah berkurang meskipun hanya sekecil debu. 

"Nggak, nggak perlu El!" tukas Kama mengutuhkan kembali keyakinan dalam hati Seika, "Oh ya, jadi kita makan siang di luar?" 

Manja, Seika mengangguk mengiyakan. "Jadi dong, Kama. Di mana enaknya kita makan? Tapi aku ingin makan selain roti."

"Selain roti?" kening Kama berkerut-kerut, "Nasi padang? Hehehehe … Memangnya kamu pingin makan apa, El?"

Giliran Seika yang menggeleng-gelengkan kepala, bingung. Tapi kemudian mengatakan ini setelah berpikir sekian detik lamanya. "Sepertinya, asyik juga kalau kita makan nasi Padang ya, Kama? Kamu juga pasti senang, kan? Gantian, hehe … Selama ini kan, kamu sudah mengikuti aku makan roti, pizza, zupparella, waffle … Bagaimana?" 

Hampir saja Kama mencuil pucuk hidung blangir Seika yang terlihat berkeringat karena gemas. Sadar, itu tidak boleh terjadi. Bagaimanapun, segemas apa pun Kama mewajibkan diri untuk bisa menahan. Karena apa? Dia berprinsip, kalau seorang pria mencintai seorang wanita maka tidak akan menyentuh barang seujung kuku pun kecuali sesudah menikah. Itu dan dia sudah berjanji untuk tidak pernah melanggarnya.

"Oke, aku tahu rumah makan Padang yang asyik buat makan siang. Spot fotonya juga keren-keren kalau kamu pingin swafoto. Ada juga terapi ikannya." Kama membeberkan perihal rumah makan Padang favoritnya di kota Yogyakarta ini, "Ada kolam untuk terapi ikan juga, El. Kamu mau?"

Seika Eline, gadis cantik berkulit seputih susu dengan rambut panjang pirang dan mata biru jernih itu tersenyum lebar. Kegembiraan memancar di wajah cantik alaminya. "Mau, yuk?"

Ting … Twiwing!

Dengan perasaan tak enak, Seika meminta izin memeriksa pesan masuk di chat room. Tentu saja Kama memberikan waktu sepenuhnya. Lagi pula dia juga harus membereskan meja kerja dulu sebelum berangkat makan siang di Rumah Makan Padang Sedap Lestari. Cukup lah, sambil menunggu Seika memeriksa pesan masuk.

"Oh, Kama!" tanpa sadar Seika terpekik, nyaris menjerit,  "Kamu …?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status