Share

Malaikat Kecil Papa

Di puncak kegelisahannya, Menir Hank menanti kepulangan malaikat kecilnya, Seika Eline di balkon. Dari sanalah dia terus memandang ke arah pintu gerbang utama, tak lekang meski oleh hembusan angin sore yang mulai mengantarkan dingin. Baginya, Seika adalah segala-galanya dalam hidup ini. Harta yang paling berharga, tiada tara. Bagaimana bisa, dia abai seperti ini? Sampai-sampai tidak tahu kalau di belakangnya Seika sudah berjaya dengan perusahaan  penerbitannya sendiri. 

"Aku tahu itu perusahaan Seika tapi tak pernah menduga kalau dia akan senekat itu!" gumam Menir Hank sambil menyapu wajah tampan sendunya dengan telapak tangan  kanan, "Bisa-bisanya dia bekerja sama dengan Kama Nismara? Tidak tahukah Seika kalau dia itu tak sekelas dengannya? Tidak berkelas sama sekali!"

Kini, Menir Hank bangkit dari tempat duduknya. Perlahan-lahan namun pasti, berjalan mendekati pagar. Berdiri di sana, memandang jauh ke bawah secara merata. Mulai dari pintu gerbang, jalan kecil beraspal yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, taman bunga kecil di sudut halaman sebelah kanan … Menir Hank menyedekapkan kedua tangan. Mendesah berat, menghela napas panjang lalu bergumam lirih, "Maafkan Papa, Seika. Papa nggak mungkin membiarkan kamu terperangkap ke dalam kehidupan Kama. Apa pun yang terjadi, Papa hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu. Kebahagiaan hidup kamu, Seika!"

Tanpa disadari, air mata Menir Hank merembes hangat. Begitu cepat waktu berlalu, begitu cepat menumbuhkan kembangkan malaikat kecilnya menjadi seorang gadis cantik, cerdas dan matang. Hatinya sejernih embun pagi. Tapi sayang, dia telah menjatuhkan hatinya itu pada seseorang yang salah. Sejernih apa pun embun, pasti akan menjadi keruh jika terjatuh ke hamparan tanah, bukan? 

"Ah, Seika!" gumam Menir Hank sedih sembari menyeka air mata dengan lengan baju, "Kamu terlalu berharga untuk bersama dia. Menjauh Lieverd, jangan dekati dia lagi. Papa tidak mau kamu tergores barang seujung rambut pun. Tidak mau kamu ternoda, meskipun hanya sekecil debu!"

Di antara pintalan pemikiran yang semakin kusut, Menir Hank mencoba menghubungi Seika. Tidak biasanya dia terlambat pulang. Paling sore jam lima sudah sampai di rumah. Ini, sudah lewat empat puluh lima menit dari jam lima. Kegelisahan Menir Hank semakin memuncak. 

The number you are calling is switched off. Please try again later.

Kegelisahan hati Menir Hank sudah benar-benar mencapai puncak tertinggi sekarang, bercampur dengan fakta yang dilaporkan Derya dan sikap Seika yang biasa-biasa saja selama ini. Saat itulah bayangan istrinya, Mevrouw Gendhis melintasi benaknya. Mencuri sudut terkecil yang bisa dikatakan hampa. 

"Be calm, Hank!" bayangan wajah cantik khas wanita Yogyakarta dengan senyum merekah indah itu berbisik lirih di telinganya, "Don't worry of her. Please trust me, Hank!"

Menir Hank merapatkan rahang, mengenggam erat-erat ponsel di tangannya seolah-olah itu selembar roti tawar tanpa mentega atau pun selai. Dalam sekejap mata hatinya terisi oleh sebuah konflik yang cukup rumit dengan sempurna. Di satu sisi, dia begitu mempercayai mendiang istrinya tapi di sisi yang lain, dia juga mencemaskan nasib Seika. 

"Hehehehe … Gendhis! Kau lihatlah sekarang, malaikat kecil kita bukan lagi bayi yang bisa kita timang setiap hari. Dia sudah besar, Gandhis. Sudah berani menyemai benih cintanya tanpa sepengetahuan kita." Menir Hank memandang ke bawah lagi dan masih sama. Pintu gerbang utama masih tertutup rapat, mobil Seika pun belum terpakir di bawah pohon matoa, tempat parkir favoritnya. Perlahan-lahan namun  pasti, pria berusia lima puluh delapan tahun itu memutar badan, berjalan ke arah tangga yang menuju ke lantai dua. 

Meskipun masih terlilit konflik tapi perasaannya sudah sedikit membaik. Dia ingat, sudah ada Derya yang bekerja keras untuknya, tentu saja. 

***

"Thanks banget ya, Welas?" Seika berseru riang, "Untung ada kamu, kalau nggak?" 

Dua sahabat itu saling memandang dengan penuh rasa kasih sayang dan ketulusan. Mereka baru saja pulang dari membeli kado untuk Kama di bilangan Malioboro. "Ah Sei, sama-sama. Aku seneng banget kok, bisa bantuin kamu."

Seika mengerling ke arah Welas yang masih mengulum senyum manis. "Doakan aku ya, Welas? Nanti malem aku mau buat dinner surprise buat Kama. Semoga lancar dan sukses semuanya, ya?"

Welas mengangguk kecil. "Pasti, Sei. Aku selalu doakan yang terbaik buat kalian, kok." 

"Oke, Welas. Aku juga, kok. Aku doakan ya, semoga tahun ini kamu bener-bener jadian sama Damar, ya?"

"Aamiin. Thanks, Sei … Tapi kayaknya mustahil deh, Sei. Mamakku nggak suka sama Damar gara-gara penampilannya yang kayak gitu. Tahu kan, maksudku?"

"Hei, Welas! Kita sama-sama tahu kan, tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Karena Tuhan punya segala-galanya. Iya, kan? Come on Welas, don't give up! Lagian aku yakin, mamakmu nggak bisa nerima Damar karena dia belum paham kalau Damar itu laki-laki yang baik. Dua juga tulus, jujur dan juga setia sama kamu, kan? Aku percaya Welas, suatu saat nanti mamakmu pasti menyadari itu. Don't judge a book by it's cover."

"Ya Sei, makasih banget ya?"

"Nah gitu dong, Welas. Keep spirit and negeri give up!"

Baik Seika maupun Welas sama-sama terdiam sekarang. Seika lebih fokus ke jalanan sedangkan Welas kembali pening dengan kenyataan pahit yang dialaminya. Mana mungkin dia menikah dengan laki-laki yang tak dicintai sama sekali, siapa pun itu. Hatinya sudah dipersembahkan untuk Damar, seutuhnya. 

"Sei, kayaknya aku turun di sini saja, ya?" kata Welas tiba-tiba menyita sekian persen konsentrasi menyetir Seika, "Aku mau singgah sebentar ke galeri Damar. Nanti pulangnya jalan kaki saja. Nggak apa-apa, kan?"

Seika merekahkan senyum tulus, setelah mengetahui alasan sahabat dekatnya minta diturunkan di jalan. Kekhawatiran yang sempat mengisi benaknya kembali menguap dan hilang dalam sebuah harapan, semoga sahabat dekatnya itu selalu dalam kebahagiaan. Semoga Damar adalah jodoh yang telah digariskan Tuhan untuknya. 

"Oke, Welas. Kalau gitu sih, aku nggak apa-apa. Hehehehe, aku pikir kamu kenapa tadi?" Seika menyahut sambil mengurangi kecepatan mobil. Galeri Damar masih sekitar lima puluh meter lagi di depan sana, "Tapi aku nggak ikut turun nggak apa-apa ya, Welas? Salam saja buat Damar."

Welas mengacungkan ibu jarinya. "Oke, Sei. Nggak apa-apa kok, dianterin gini aja aku sudah seneng banget, kok."

Dengan senang hati, Seika menghentikan mobil di depan pintu gerbang Damar's Gallery. Menyalami tangan Welas yang dingin, menunggu sampai sahabat setianya itu turun. Sekian detik setelahnya, Seika membalas lambaian tangan Welas lalu tanpa niat menyia-nyiakan waktu sedikit pun melanjutkan perjalanan pulang. Bukan tak tahu, Seika pun yakin kalau Menir Hank sudah menunggu-nunggu di rumah. Terlahir menjadi putri semata wayang, membuat Seika paham bagaimana Menir Hank selalu mengkhawatirkannya. 

Jangankan pulang terlambat seperti ini, sedangkan pulang tepat pada waktunya saja tak bisa dikatakan tenang. Ada saja pertanyaan yang dilemparkan padanya. Dari mana, Lieverd? Ada apa Lieverd, kenapa baru pulang? Jalan-jalan ke mana saja tadi Lieverd, bersama Welas saja, kan? Kadang-kadang Seika sampai tertawa kecil antara lucu dan geregetan dengan sikap padanya tetapi tentu saja Menir Hank tak memperdulikan akan hal itu. 

"Papa, Papa!" gumam Seika sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Bagaimana nanti kalau Seika sudah menikah dengan Kama? Padahal, Kama akan langsung membawa Seika ke rumahnya lho, Papa. Sepertinya Papa harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang, Papa?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status