"Yang Mulia Harrison. Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya sosok vampir dewasa sambil memberikan hormat yang diikuti oleh sepuluh orang pria di belakangnya.
"Bukankah itu kepala keamanan Kastel Haltz, Vero de Haltz!?" ucap para vampir penyerang menyadari siapa yang datang.
"Ah... rupanya kau, Vero. Hampir saja aku membunuhmu karena mengganggu waktu bermainku," jawab Rai seraya menoleh, membuatnya Vero yang melihatnya langsung gemetar.
Bagaimana tidak? Dia sangat tahu arti dari iris merah darah ini, aura membunuh ini, dan seringai yang menakutkan. Saat ini, Rai sedang benar-benar marah. Senyuman di wajahnya bukan senyuman yang hangat. Itu adalah senyuman kematian.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," balas Vero membungkuk hormat diikuti oleh para prajuritnya yang juga terlihat gemetar.
"Aku jadi kehilangan selera untuk bermain," ujar Rai.
"Ck! Kenapa aku harus bertemu dengannya saat seperti ini," batin Vero menyadari nyawanya yang terancam.
"Bisa kau bereskan ini, Vero?" Rai menunjuk dua tubuh vampir tanpa kepala.
Vero mengangkat wajahnya, namun seketika ia langsung terkejut. "Ada apa ini Yang Mulia, kenapa ada...? Apa Anda diserang, Yang Mulia!?" tanyanya panik.
"Aku? Diserang? Yang benar saja," balasnya angkuh. "Anak ini yang diserang. Aku hanya sedang bermain," tambahnya seraya menunjuk ke arah Al.
Vero langsung mengedarkan pandangannya dan melihat sosok Albert dengan tubuh penuh luka-luka.
"Anak itu!" serunya. "Yang Mulia, jangan dekat-dekat dengan anak itu! Dia vampir hibrida! Dia menjijikkan! Dia aib bagi bangsa vampir! Yang Mulia harus membunuhnya! Vampir hibrida ini pantas ma—“
"Sshhh... kau banyak bicara," sela Rai yang kini sudah duduk di pundak Vero, dan menggoreskan kuku tajam miliknya ke lehernya.
"Berapa kali kau menyebutnya, hmm? Vampir... hibrida...?" tanya Rai sambil menggoreskan kuku miliknya lebih dalam.
"D-d-dua... kali," balas Vero gemetar.
Para prajurit yang melihatnya hanya bisa memejamkan mata dan mengalihkan pandangan. Ini benar-benar akhir bagi Vero. Vampir ini sudah lancang dan dia akan mati.
"Kau tahu benar siapa aku, tapi lancang sekali kau menyuruhku untuk membunuhnya," ucap Rai.
"Ini adalah kesalahanku, Yang Mulia. Aku bersalah," ucap Vero.
Rai langsung meloncat turun dan menghampiri Albert. "Tentu ini kesalahanmu. Memang kau kira ini kesalahan vampir kecil itu?" ujarnya menunjuk Al.
"Ingat baik-baik, Vero. Hanya aku yang boleh memanggilnya vampir hibrida, dan dia adalah milikku sekarang. Tidak ada yang boleh memerintahnya selain aku. Untuk kali ini, aku memaafkanmu," tambahnya.
Albert melihat Rai dengan wajah kebingungan. Dia menerka-nerka siapa sebenarnya vampir kecil di hadapannya ini. “Vampir kecil ini, dia sepertinya bukan vampir biasa,” batin Al.
"Suruh anak buahmu menangkap ketiga vampir itu dan bereskan dua tubuh menjijikkan yang ada di sana. Bawa mereka semua!” perintahnya.
Rai berbalik pergi namun ia kemudian berhenti dan menoleh, “Oh... dan katakan pada keluarga mereka untuk mengambil tubuh vampir itu di kastelku," tidak lupa dengan senyum yang mengerikan.
"Baik, Yang Mulia," balas Vero segera melaksanakan perintah.
"Kau, ikut mereka ke kastelku," kata Rai ke Albert.
"Ke kastelmu? Untuk apa?"
"Kau sekarang adalah vampir Klan Haltz. Kau tidak punya siapa-siapa dan kau tidak bisa menolakku. Mulai sekarang, aku adalah tuanmu. Kau harus menuruti apa yang aku katakan jika kau tidak mau menyusul ibumu saat ini juga," jelasnya kemudian meninggalkan tempat ini dalam hitungan detik.
"Apa? Kenapa dia terus memerintahkan vampir-vampir untuk melakukan ini dan itu. Dan kenapa juga aku harus melakukan apa yang dia katakan? Siapa dia?" batin Al.
"S-sebenarnya siapa vampir kecil ini? Kenapa dia...?" tanya salah satu vampir yang sedang ditangkap.
"Bodoh! Kau tidak mengenalnya?" tanya Vero dan vampir ini pun hanya menggeleng. "Dia adalah Yang Mulia Harrison. Raizel Harrison de Haltz. Dia adalah pemimpin Klan Haltz."
"APA!? Yang Mulia Harrison!? Kau bilang dia Yang Mulia Harrison? Vampir terkuat yang memimpin Klan Haltz!?"
Vero yang mendengarnya menoleh, “Vampir terkuat? Anak itu...?”
“Kau sangat, sangat, dan sangat.... bodoh karena telah berurusan dengannya. Kau dan keluargamu akan dihancurkan sampai ke akar. Bahkan, aku hampir kehilangan kepalaku tadi. Dia sangat kejam. Kau sangat bodoh berurusan dengannya.”
Para vampir ini pun hanya bisa terdiam, mereka tahu mereka akan mengalami hal yang mengerikan nantinya, karena Rai pasti tidak akan mengampuni mereka. Sedangkan Al terus memikirkan vampir kecil aneh yang sekarang berubah menjadi vampir yang menakutkan.
***
"Selamat datang, Yang Mulia Harrison," sambut para pelayan dan pengawal di kastel tersebut. Seperti biasa, Rai tidak menjawab sambutan tersebut. Dia langsung bergegas menuju ke tempat singgasananya berada.
"Yang Mulai Harrison," ucap Vero memberi hormat.
Rai langsung mengalihkan pandangannya ke para vampir dan juga Albert yang berada di belakang Vero.
"Kau, siapa namamu tadi?" tunjuknya ke Al.
"Saya... Albert Valentino," jawabnya sambil menundukkan kepala.
"Oh... sekarang setelah tahu siapa aku, kau memutuskan untuk memberikanku hormat? Hmm... tidak buruk juga. Angkat kepalamu—“ Al menaati perintah tersebut, “—kau bisa memanggilku Rai."
"Yang Mulia!" protes Vero karena Rai menyuruh Albert memanggilnya hanya dengan nama.
"Kau ini banyak sekali berbicara, Vero. Mau aku bantu untuk menutup mulutmu ini?"
"Tidak, Yang Mulia," balasnya cepat seraya menutup mulutnya rapat-rapat.
Rai lalu mengalihkan pandangannya ke arah tiga vampir yang dibawa Vero ke hadapannya. "Kalian ketiga vampir menjijikkan akan aku hukum untuk menjadi budak di Klan Raltz," serunya, membuat ketiga vampir ini bernapas lega.
"Dan kirim keluarga mereka ke Klan Waltz!" tambahnya.
"A-apa? Yang Mulia! Kami mohon jangan kirim mereka ke Waltz! Kami...! Kami yang akan pergi ke sana!!" seru para vampir.
"Berani sekali kalian mengubah keputusanku!? Mau aku ubah hukuman kalian menjadi hukuman mati!?" dan para vampir ini langsung terdiam.
"Aku tidak menerima penolakan. Vero! Cepat laksanakan tugasmu!" perintahnya, dan Vero langsung membawa pergi ketiga vampir ini dari hadapannya.
Setelah kepergiannya, Rai beranjak dari singgasananya dan mendekati Albert. Dipandangnya lekat-lekat manik mata miliknya hingga membuat vampir hibrida ini menjadi salah tingkah.
"Ibumu biasa memanggilmu apa?”
"Al... Albert," jawabnya ragu-ragu.
"Mulai sekarang kau akan menjadi tangan kananku, orang kedua yang berpengaruh di klan ini. Kau akan tinggal di sini. Kau hanya akan menerima dan mematuhi perintahku," jelas Rai.
"Apa?!? Aku tidak mau!" tolaknya mentah-mentah.
Rai menarik paksa wajahnya. Lalu dia melukai jarinya sendiri dan meneteskan darahnya ke mulut Al. "Kau sudah meminumnya, darah vampir murni milikku. Sekarang kau bagian Klan Haltz dan tangan kananku."
Al langsung mengelap kasar mulutnya, "Kenapa kau semena-mena sekali!?" ucapnya kesal.
"Oh ya...? Memang begitulah aku," balasnya dingin.
#bersambung ke BAB 3 – Diabaikan (Bagian 1)
Di dunia ini hanya terdapat tiga klan vampir yaitu, Haltz, Raltz, dan Waltz. Semua berada di wilayah berbeda dengan batasan kekuasaan wilayah masing-masing. Klan yang pertama adalah klan Haltz.Haltz adalah klan yang memiliki lima puluh persen darah vampir murni di keluarga utamanya. Kekuatan para keturunannya sangat luar biasa, dan merupakan klan yang paling ditakuti.Pemimpin klan ini adalah orang yang sangat berpengaruh, dan Haltz memiliki kekuasaan wilayah di bagian selatan. Walaupun ada penegak hukum atau komite vampir yaitu Harawaltz, yang terdiri dari perwakilan para vampir senior yang diajukan dari setiap klan. Namun tetap saja, pemimpin Klan Haltz memiliki pengaruh tersendiri, karena darah vampir murni yang dimilikinya paling besar.Berikutnya, klan yang kedua adalah Raltz. Klan yang memiliki tiga puluh persen darah vampir murni di keluarga utamanya. Para keturunannya memiliki kekuatan di bawah para keturunan Klan Haltz. Mereka memiliki
Al kemudian pergi menyelusuri Hutan Silver, berharap menemukan mangsa untuk menjadi santapan tuannya. Sebagai tangan kanan, Al memang menjadi orang kepercayaan Rai, hanya dia satu-satunya vampir yang dipercayai untuk mencari makanannya.Rai memang bisa meminum darah siapa pun, entah perempuan atau laki-laki, baik tua ataupun muda. Tapi, ia lebih memilih meminum darah seorang perempuan yang masih perawan. Bukan tanpa alasan, darah perawan memiliki rasa yang sangat manis dan aroma yang juga manis, persis seperti madu.Hal inilah yang membuat Rai menyukai darah mereka. Namun, permasalahannya adalah sulit untuk menemukan wanita yang masih perawan. Ini adalah Hutan Silver. Dengan legenda vampir yang ada, para perawan biasanya enggan untuk datang ke sini.Di satu sisi, Al tidak mungkin menculik seorang perawan dari dunia manusia, sebab jika ia ketahuan maka habislah nasib dunia vampir. Selama ini dia hanya menculik perawan yang tersesat di dalam hutan
"Tunggulah di sini," ucap Al.Kini, wanita ini sudah berada di kamar khusus tempat Rai biasa menyantap makanannya. Dia berjalan menuju jendela, membukanya, dan terdiam di sana. Dia hanya mengamati langit gelap berawan ini tanpa ada suara sedikit pun yang keluar dari mulutnya."Jangan harap kau bisa kabur, di bawah sana banyak prajurit yang berjaga, dan tentunya jika kau memilih untuk meloncat, kau akan mati dengan mengenaskan. Tersangkut di pohon-pohon, dan mungkin tubuhmu akan tertembus dahan runcing yang dimiliki pohon tersebut," ucap Al memperingati.Hening. Wanita ini hanya diam tidak membalas. Ini sangat aneh namun Al tidak mau lagi memikirkannya, ia pun segera pergi dari sana dan menemui Rai di singgasananya."Rai, saya sudah kembali," ucap Al sesampainya di ruangan singgasana seraya membungkuk hormat."Mana makananku?""Seperti biasa, di dalam kamar."Tanpa membalas ucapannya, Rai langsung pergi ke kamar. Dibuk
Rai yang baru saja memasuki kamar benar-benar terkejut melihat apa yang ada di depannya. Al memang tidak bercanda. Wanita ini benar-benar masih hidup. Dia dapat dengan jelas mendengar detak jantung manusia!Wanita itu terduduk diam di atas tempat tidur. Tatapan matanya kosong, entah apa yang dia pikirkan. Kakinya menekuk dan dipeluk erat oleh kedua tangannya. Rambut berwarna merahnya terurai, menyembunyikan sebagian wajahnya."Ini tidak mungkin terjadi! Bagaimana bisa!? Taringku mengandung racun, biarpun aku tidak menghisap darahnya sampai habis, dia akan tetap mati! Dia akan mati karena racunku! Tapi apa ini!? Kenapa dia masih hidup!? Bahkan dia dalam posisi seperti itu!? Mustahil!!!" batin Rai terus berbicara."Rai..." panggil Al karena Rai hanya terdiam menatap wanita aneh itu dari tadi.Rai pun tersadar. "Kau! Kenapa kau masih hidup!? Aku sangat yakin telah menghisap habis darahmu semalam! Seharusnya kau sudah mati! Jik
Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian yang menghebohkan itu dan seperti katanya, Rai sama sekali tidak peduli dengan wanita itu. Tapi kabar mulai menyebar di kastelnya, para pelayan dan juga prajurit mulai membicarakan keberadaan wanita itu.Tentu saja hal ini membuat Rai gerah, mau tidak mau dia harus memikirkan cara untuk menghentikan omong kosong ini sebelum menyebar lebih luas, atau parahnya menyebar ke Klan Raltz dan Waltz."Albert!" seru Rai."Ya, Rai," balasnya."Bagaimana dengan wanita itu? Dia belum mati juga?" dan Al pun menggelengkan kepalanya."Sial! Bagaimana bisa dia tetap hidup! Sekuat apapun tubuhnya, dia tidak akan bisa menghadapi racun dari taringku, dia akan tetap mati dalam waktu tiga hari! Tapi ini sudah lebih dari tiga hari dan dia masih hidup!?""Bahkan sistem tubuhnya kembali normal, benar-benar tidak bisa dipercaya," ucap Al menambahi kenyataan bahwa wanita itu memang aneh."Cepat bawa dia ke
PRANG!Sebuah suara mengejutkan mereka. Karena terus saja saling dorong-dorongan, akhirnya tidak sengaja Ika menyenggol sebuah vas yang ada di meja. Namun, bukan itu saja yang mengejutkan.Ada hal yang lebih mengejutkan, dan itu adalah karena wanita yang tadi berdiri di sebelah Al sudah berpindah ke tempat Rika dan Riki berada untuk melindungi mereka dari vas yang terjatuh."Apa yang terjadi!?" ucap Rai menghampiri mereka dengan wajah menampilkan ekspresi marah.Ika tidak menjawab, dia hanya menangis di pelukan wanita aneh ini, sepertinya Ika benar-benar terkejut. Iki pun hanya diam tidak jauh dari tempat Ika menangis. Dia sama sekali tidak bergerak."Iki! Ada apa ini!? Jelaskan padaku!" bentak Rai.Bentakan tersebut membuat Iki langsung menangis. Anak ini juga dalam posisi terkejut, namun Rai malah membentaknya. Suasana akhirnya menjadi kacau dengan suara tangisan yang terdengar saling menyahut.Takut dengan
Karena kaki wanita ini terluka, dan juga karena perintah Rai untuk mengobatinya. Akhirnya mau tidak mau, Al harus menggendong dan membawa wanita ini ke kamar, sedangkan Iki dan Ika membuntutinya dari belakang dengan wajah khawatir. Sesampainya di kamar, Al langsung menurunkan wanita ini ke atas tempat tidur. Lalu ia pergi mengambil hal-hal yang diperlukan untuk mengobati luka di kakinya. Sedangkan Iki dan Ika tinggal di kamar. "Kak... Iki minta maaf," ucap Iki setelah Al pergi. "Ika juga minta maaf, gara-gara Ika kakak jadi terluka seperti ini," sambung Ika. "Kami janji tidak nakal lagi, tapi jangan bawa kami ke Klan Raltz lagi," tambah Iki. Wanita ini terlihat bingung. Baginya yang seorang manusia, dia sama sekali tidak begitu mengerti mengenai vampir, apalagi Klan Raltz yang mereka sebutkan. Tapi dia tahu, tinggal di tempat asing bukan hal yang menyenangkan. "Bilang Kak Rai jangan marah sama kami. Kakak istrinya Kak
Krreettt. Al membuka pintu dan membawa obat-obatan di tangannya. "Aku hanya menemukan ini. Sisanya kau akali saja," ucapnya lalu meletakkan apa yang dia bawa ke hadapan wanita ini. "Hanya ini??? Kau mencarinya dari tadi dan hanya membawa ini saja, Al?" kata Iki mengomentari Al yang hanya membawa obat merah, kapas, dan juga kain kasa. "Oi! Panggil aku Kak Albert! Kau vampir kecil tidak tahu sopan santun!" omelnya. "Sopan santun itu hanya untuk manusia," balas Iki. "Kau dan dia sama saja, sama-sama arogan!" "Kak Diana apa ini cukup?" tanya Ika mengabaikan keduanya. "Huh? Diana? Siapa Diana?" heran Al. Ika mengarahkan telunjuknya ke Diana, "Namanya Diana Charlotte. Kau tidak tahu itu?" Al terkejut. Bagaimana vampir kembar ini nama wanita ini, sedangkan selama ini dia hanya menutup mulutnya rapat-rapat. Sejak kedatangannya, dia hanya membuka mulut untuk mengatakan hal tidak berguna.