Share

BAB 6 Penghinaan

last update Last Updated: 2025-10-03 00:13:34

Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.

Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.

'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting.

"Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih."

"Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.

Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa begitu jauh dari jangkauan. Sementara di sebelah kirinya, terhampar pemandangan yang kontras sebuah area konstruksi yang luas, bising oleh deru mesin molen dan dentuman palu, dipenuhi debu dan rangka-rangka besi yang mencuat ke angkasa. Dua dunia yang berbeda, hanya dipisahkan oleh sebaris trotoar.

Ia merogoh sakunya dan kembali menatap kertas pemberian Bu Lasmi. Tulisan tangan di sana rapi dan jelas 

Bapak Suhendar Mandor Proyek Pembangunan Gedung Adhi Graha, Cilandak.

Matanya beralih ke plang besar di depan gerbang proyek. Tertulis di sana dengan huruf kapital besar "PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG ADHI GRAHA TOWER II". Ini tempatnya.

Dengan langkah yang sedikit ragu namun mantap, Joko berjalan menuju gerbang seng yang tinggi. Di depan gerbang, seorang satpam berwajah sangar dengan seragam biru dongker yang sedikit kusam berdiri mengawasi. Ia menatap Joko dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan curiga.

"Mau ke mana, Dek? Cari rongsokan, ya? Bukan di sini tempatnya," tegur si satpam dengan nada ketus, jelas menganggap Joko sebagai pemulung.

Joko berhenti, tidak tersinggung oleh sapaan itu. Ia sudah terbiasa. "Permisi, Pak. Saya mau bertemu dengan Bapak Suhendar," katanya dengan tenang.

Si satpam tertawa kecil. "Pak Mandor? Hah, ada urusan apa anak kecil kayak kamu cari Pak Mandor? Beliau sibuk."

"Saya disuruh oleh Ibu Lasmi, Pak," jawab Joko, sambil menunjukkan kertas di tangannya seolah itu adalah surat mandat.

Nama "Ibu Lasmi" membuat raut wajah si satpam sedikit berubah. Ia menatap Joko lagi, kali ini lebih teliti. "Bu Lasmi? Istrinya Pak Mandor?" tanyanya, nada suaranya tidak lagi seketus tadi. Ia masih ragu, menatap penampilan Joko yang dekil. "Kamu siapanya Bu Lasmi?"

"Saya yang tadi menolong beliau di terminal," jawab Joko jujur.

Si satpam terdiam sejenak. Ia teringat tadi pagi Pak Suhendar sempat bercerita dengan heboh bahwa istrinya nyaris menjadi korban copet jika tidak ditolong seorang pemuda pemberani. Mungkinkah anak ini orangnya? Penampilannya tidak meyakinkan, tapi tatapan matanya... tenang dan tidak ada raut takut sama sekali.

"Hhh... Ya sudah, kamu tunggu sini. Jangan ke mana-mana. Biar saya panggilkan beliau," kata si satpam pada akhirnya, memutuskan untuk tidak mengambil risiko. Ia berbalik dan berjalan masuk ke dalam area proyek, meninggalkan Joko yang menunggu dengan jantung yang mulai berdebar.

Joko menunggu di depan gerbang seng yang panas, jantungnya berdebar menanti kepastian. Tak lama, suara langkah kaki berat di atas kerikil terdengar mendekat. Si satpam kembali, dan di belakangnya berjalan seorang pria yang membuat Joko refleks menegakkan punggungnya. Pria itu berperawakan tinggi dan sangat kekar, lengannya yang legam dipenuhi otot-otot keras yang terbentuk dari kerja bertahun-tahun. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata tajam yang biasa digunakan untuk memberi perintah, bukan bertanya. Itulah Pak Suhendar.

Ia berhenti tepat di depan Joko, sementara si satpam berdiri di belakangnya. Tanpa senyum, tanpa basa-basi, Pak Suhendar memandang Joko dari atas ke bawah. Pandangannya seperti mesin pemindai, menilai setiap detail dari penampilan Joko yang lusuh kaus pudar, celana berdebu, dan ransel butut. Sebuah tatapan yang membuat Joko merasa kecil dan tidak berharga.

Joko menunggu di depan gerbang seng yang panas, jantungnya berdebar menanti kepastian. Tak lama, si satpam kembali, diikuti oleh seorang pria berperawakan tinggi dan sangat kekar. Itulah Pak Suhendar.

Ia berhenti tepat di depan Joko. Tanpa senyum, Pak Suhendar memandang Joko dari atas ke bawah. Pandangannya seperti mesin pemindai, menilai setiap detail dari penampilan Joko yang lusuh. Sebuah tatapan merendahkan yang membuat Joko merasa kecil.

"Jadi," suara Pak Suhendar terdengar berat dan dalam. "Kamu ini yang katanya menolong istri saya di terminal?"

Kata "katanya" terdengar penuh keraguan. Joko hanya bisa mengangguk pelan.

Melihat anggukan itu, Pak Suhendar tertawa sinis. Tawa pendek yang lebih menghina daripada makian. "Hah, sudah kuduga. Begini ini kelakuan anak kampung kalau baru pertama ke kota. Berbuat baik sedikit, langsung datang nagih, berharap balas budi dan minta kerjaan."

Joko tersentak, kata-kata itu terasa seperti tamparan.

Pak Suhendar melanjutkan, tatapannya kini meneliti tubuh Joko dengan cemoohan yang jelas. "Lagian, lihat badanmu itu. Ceking begitu, kerempeng kayak kurang gizi," katanya sambil menunjuk dengan dagunya. "Kamu pikir kerja di sini itu main kelereng? Angkat satu sak semen saja kamu bisa patah pinggang! Yang ada malah merepotkan orang nanti."

Ia kemudian merogoh dompet kulitnya yang tebal, menarik lima lembar uang seratus ribuan.

"Ini," katanya, menyodorkan uang itu dengan kasar ke depan wajah Joko. "Ambilah. Terima kasih sudah menolong istri saya."

Joko menatap uang itu, lalu menatap wajah Pak Suhendar yang angkuh.

Pak Suhendar melanjutkan dengan nada final, seolah mengusir lalat. "Pakai uang itu untuk makan yang banyak biar badanmu itu ada isinya, lalu cari ongkos pulang ke kampungmu. Di sini bukan tempat untuk anak manja sepertimu. Mengerti?"

Duar...

Setiap kata adalah paku yang ditancapkan ke dalam hati Joko. Dihina karena asal-usulnya sebagai anak kampung, direndahkan karena fisiknya yang kurus. Rasa sakit yang tajam dan akrab menusuknya dalam-dalam. Ini adalah gema dari penghinaan Lestari, diucapkan dengan cara yang berbeda namun dengan racun yang sama.

Tangan di sisi tubuhnya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengatup keras menahan amarah yang mendidih. Uang merah di tangan Pak Suhendar itu seolah mengejeknya, membakar matanya. Untuk sesaat, ia ingin berteriak, ingin membuktikan bahwa pria di hadapannya ini salah besar. Tapi tenggorokannya tercekat, hanya rasa panas yang membakar dadanya.

Tangan di sisi tubuhnya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah yang mendidih terasa panas di dadanya, mengancam akan meledak. Pak Suhendar masih menyodorkan uang itu, wajahnya angkuh, menunggu Joko untuk mengambilnya seperti anjing yang menerima lemparan tulang. Si satpam di belakangnya hanya menatap dengan kasihan.

Namun, di tengah amukan batin itu, Joko menarik napas dalam-dalam. Panas di dadanya ia paksa turun, berubah menjadi es yang dingin dan tajam. Perlahan, kepalan tangannya mengendur. Ia mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Pak Suhendar yang merendahkan itu, bukan dengan tatapan memohon, tapi dengan tatapan yang tenang dan tak tergoyahkan.

"Terima kasih," ucap Joko.

Hanya dua kata itu. Suaranya datar, tanpa emosi, tanpa nada terima kasih sedikit pun. Lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dingin daripada sebuah ucapan syukur. 'Terima kasih sudah menunjukkan wajah aslimu,' batinnya menggerutu. 'Terima kasih sudah mengingatkanku lagi kenapa aku harus menjadi kuat.'

Setelah mengucapkan dua kata itu, Joko tidak menunggu jawaban. Ia tidak menyentuh uang itu seujung kuku pun. Ia hanya membalikkan badannya dengan tenang dan melangkah pergi, meninggalkan Pak Suhendar yang masih termangu dengan tangan terjulur memegang uang.

Pak Suhendar dan si satpam hanya bisa menatap punggung kurus itu menjauh dengan tatapan tak percaya.

"Bocah aneh," gumam Pak Suhendar, menurunkan tangannya dengan canggung. Ia merasa sedikit dipermalukan. "Sombong sekali! Dikasih uang malah tidak mau!"

"Saya juga bingung, Pak," sahut si satpam. "Tapi tatapannya itu, lho... bikin merinding."

Joko tidak mendengar percakapan mereka. Ia berjalan dengan langkah cepat, setiap hentakan kakinya di atas trotoar adalah pelampiasan amarah. Kata-kata Pak Suhendar terus terngiang di kepalanya, berulang-ulang seperti kaset rusak. 'Anak kampung... ceking... pulang saja ke kampungmu!'

Giginya bergemeletuk menahan geram. "Lihat saja," desisnya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. "Lihat saja, tua bangka sombong. Suatu saat nanti, bukan aku yang akan datang mencarimu. Tapi kamu, dan orang-orang sepertimu, yang akan datang menunduk di hadapanku."

Penghinaan itu tidak mematahkannya. Sebaliknya, penghinaan itu menjadi bahan bakar. Api yang tadinya hanya berupa harapan kini berkobar menjadi api ambisi yang membara. Ia tidak lagi hanya mencari kerja. Kini, ia mencari kekuatan dan kehormatan. Dan ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia akan mendapatkan keduanya, tak peduli apa pun caranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 10 Belum Usai

    Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 9 Balasan

    Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 8 Akan Saya Usahakan

    Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 7 Pertolongan Itu Datang

    Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 6 Penghinaan

    Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 5 Cahaya Kilat

    Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status