LOGINRitual itu berlanjut selama empat hari. Setiap pagi, Lestari datang sangat pagi, memberikan makanan yang ia buat sendiri—nasi, lauk sederhana, atau bubur—kepada Joko. Mereka hanya berbicara sebentar di ambang pintu, berhati-hati agar tidak ada yang melihat.
Setelah itu, Lestari akan melaksanakan "tugas" yang diberikan Joko. Mulai dari mencuci baju di sungai tersembunyi, membantu Joko menjual beberapa perabotan tua di pasar desa yang jauh dari keramaian, hingga membantu Joko membersihkan halaman gubuk pada malam hari. Semua Lestari lakukan tanpa mengeluh.
Joko sedang memperbaiki engsel pintu yang miring saat ia mendengar suara ribut di luar. Bukan suara keramaian biasa, melainkan teriakan marah yang familiar.
Gubrak!
Pintu gubuknya didorong terbuka dengan keras.
Berdiri di ambang pintu, adalah Lestari, wajahnya pucat pasi, matanya memerah menahan tangis. Di belakangnya, berdiri Ayah dan Ibunya. Pak RT, ayah Lestari, tampak marah dengan wajah memerah. Namun, yang paling menakutkan adalah Bu RT.
Bu RT, yang biasanya anggun dan tenang, kini berdiri seperti banteng yang siap menyeruduk, matanya memancarkan api kemarahan.
"JOKO! KELUAR KAMU, ANAK TIDAK TAHU DIRI!" teriak Bu RT, suaranya memecah keheningan sore itu.
Joko meletakkan palunya. Ia berjalan ke pintu, mempertahankan ketenangan yang baru ia miliki.
"Selamat sore, Bu RT, Pak RT," sapa Joko, nadanya sopan tapi datar. Ia menatap Lestari yang hanya bisa menunduk.
"Jangan sok sopan, kamu anak haram!" bentak Bu RT. "Aku sudah tahu semua yang kau lakukan! Kau menggunakan jimat apa sehingga putriku yang pintar dan cantik ini mau datang ke gubukmu setiap hari seperti pembantu?!"
Pak RT, meski sama marahnya, berusaha lebih tenang. "Joko. Jelaskan. Apa yang terjadi antara kamu dan Lestari? Kenapa anakku rela datang ke tempat ini pagi-pagi, bahkan membawakan makanan untukmu?"
Joko menatap Lestari. "Lestari, jelaskan pada orang tuamu. Aku tidak punya apa-apa untuk disembunyikan."
Lestari mengangkat kepalanya, air matanya menetes. "Ayah... Ibu... aku yang mau. Joko tidak memaksaku. Aku... aku mencintai Joko."
"Cinta?!" Bu RT tertawa sinis, tawa yang sama tajamnya dengan tawa Lestari dua hari lalu. "Cinta apa yang kau bawa, hah?! Cinta pada kemiskinan?! Kamu mau makan apa dengan bocah lulusan SMP ini?! Cinta tidak bisa membayar uang kuliahmu!"
"Aku tidak peduli dengan uang, Bu!" balas Lestari, memberanikan diri. "Aku hanya peduli pada ketulusan! Joko orang baik! Aku hanya ingin bersamanya!"
"Ketulusan?! Ketulusan yang mana, Nak?! Bocah ini yang kau tolak mati-matian, sekarang tiba-tiba kau puja?! Dia pasti menggunakan guna-guna!" Bu RT menuding wajah Joko. "Aku tahu, kamu pasti pakai ilmu hitam! Semar Mesem, atau apa pun itu, kan?! Kau mau membuat anakku jatuh miskin dan menjadi gila!"
Joko menghela napas. Ia tidak terkejut dengan tuduhan itu.
"Bu RT," kata Joko, suaranya tenang, membuat Bu RT sedikit terdiam karena kontrasnya dengan kemarahan mereka. "Saya tidak menggunakan apa pun. Saya hanya meminta Lestari untuk membuktikan omongannya. Lestari yang datang kepada saya, meminta kesempatan. Lestari yang rela menjadi 'Tanah' selama beberapa hari, hanya untuk membuktikan ia tidak lagi angkuh."
"JANGAN BOHONG!" teriak Bu RT. "Aku tahu kamu anak tidak punya sopan santun! Kau pikir aku bodoh?! Kamu ingin balas dendam karena Lestari menolakmu, kan?! Kau ingin mempermalukan putriku! Kau ingin membuat kami sekeluarga malu di desa ini!"
Pak RT melangkah maju. "Joko, ini adalah peringatan keras. Jauhi putriku. Aku bisa saja membiayai kamu sekolah di kota, tapi jangan pernah sentuh Lestari lagi. Kami tidak akan membiarkan anak tunggal kami menikah dengan orang yang bahkan tidak punya modal untuk membeli sandal baru!"
"Pak RT," kata Joko, matanya kini menatap lurus ke mata Pak RT. Tidak ada rasa takut, hanya ketenangan yang dingin. "Saya menghormati Anda sebagai ketua RT. Tapi Anda salah. Saya sudah memutuskan untuk pergi dari desa ini. Saya hanya menunda kepergian saya karena Lestari memohon dan ingin membuktikan diri. Saya tidak pernah meminta apa-apa dari putri Anda selain kejujuran, yang gagal ia tunjukkan saat saya memberikan bunga kamboja padanya."
"Omong kosong! Kau mencoba memutarbalikkan fakta!" seru Bu RT. Ia maju, tangannya terangkat, seolah ingin menampar Joko.
Tiba-tiba, Lestari berteriak dan menghalangi Ibunya.
"JANGAN! JANGAN SENTUH JOKO, BU!" teriak Lestari. "Aku yang salah! Aku yang merendahkan dia! Dia hanya memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku!"
Bu RT menatap putrinya dengan tatapan jijik. "Tari, kau sudah gila! Kau sudah tidak waras! Kenapa kau membela gembel ini?! Kau mau merusak masa depanmu?!"
"Masa depanku ada di tanganku sendiri, Bu!" balas Lestari, wajahnya basah oleh air mata.
Joko melihat semua drama ini. Ia menyadari satu hal: Pusaka Semar Mesem telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Lestari kini berada di bawah kendalinya, siap melawan siapa pun demi dirinya.
"Pak RT, Bu RT," kata Joko, suaranya mengakhiri perdebatan itu. "Saya tidak akan mengganggu Lestari lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga. Anda tidak perlu khawatir putri Anda akan dirusak oleh 'Tanah' seburuk saya."
Joko berjalan ke dalam gubuk, mengambil ranselnya, dan kembali ke ambang pintu.
"Lestari, terima kasih atas sarapan dan bantuannya," kata Joko, ia bahkan tidak menatap Lestari. "Janjiku sudah selesai. Aku akan pergi."
"Joko! Jangan!" teriak Lestari. Ia mencoba meraih lengan Joko, tetapi Joko menghindar dengan gerakan cepat.
"Perpisahan, Lestari," kata Joko. Ia melangkah keluar dari gubuk, melewati Pak RT dan Bu RT yang terpaku.
Bu RT berteriak histeris, "PUTRIKU! KAU KENA GUNA-GUNA! JANGAN PERGI, JOKO! KEMBALIKAN PUTRIKU!"
Joko tidak menoleh. Ia berjalan cepat meninggalkan gubuk reot itu, meninggalkan Lestari yang meraung putus asa dalam pelukan Ibunya.
Selesai, batin Joko. Ujian kekuatan pertama selesai. Aku bukan lagi Joko yang dulu.
Joko sudah menghilang di balik keremangan sore. Di depan gubuk reot yang kini terasa kosong, teriakan histeris Bu RT perlahan mereda, berganti dengan isak tangis yang tertahan.
Pak RT, dengan wajah masih merah karena marah dan malu, mencengkeram lengan Lestari. Cengkeraman itu begitu kuat hingga Lestari meringis kesakitan.
"Cukup, Tari!" bentak Pak RT, suaranya parau. Ia menarik Lestari dengan kasar, menjauhkannya dari pintu gubuk Joko.
"Lepaskan aku, Yah!" rintih Lestari, mencoba meronta. "Aku harus menyusulnya! Aku harus jelaskan! Dia tidak boleh pergi!"
"Tidak boleh?!" Bu RT kembali menjerit, kini dengan nada penuh kebencian. "Kau sudah gila, Nak! Kau mengejar pengemis yang bahkan tidak sudi melihatmu! Sadarlah! Dia sudah pergi! Dia tidak butuh kamu!"
Pak RT menggoyangkan tubuh Lestari dengan keras. "Dengar baik-baik, Lestari! Kau sudah dijodohkan! Jangan pernah mengejar pria itu lagi!"
Kata-kata 'kau sudah dijodohkan' bagaikan palu godam yang menghantam sisa-sisa kesadaran Lestari. Matanya yang basah terbelalak.
"Dijodohkan? Apa maksud Ayah?" tanya Lestari, suaranya gemetar. "Siapa? Kapan?"
"Dengan Reno!" jawab Bu RT cepat, nadanya kembali angkuh. "Reno Adiwijaya! Anak pengusaha properti di kota! Ayahmu sudah menyepakati semuanya! Pertunangan akan diadakan bulan depan!"
“Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua
Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua
Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian
Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,
Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di
“Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu







