Share

BAB 5

Penulis: Inspirasi Kopi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 00:13:12

Joko menatap Lestari, mencoba membaca kebohongan di matanya. Namun, ia hanya menemukan keputusasaan yang tulus, diperkuat oleh pengaruh halus pusaka yang ia bawa.

"Aku tidak butuh ucapan Lestari," ujar Joko, suaranya tetap skeptis. "Aku butuh pembuktian. Kamu akan menemaniku besok, seharian penuh. Kamu harus membantuku membereskan gubuk ini dan menjual beberapa barang Kakekku yang tidak terpakai di pasar desa. Kamu harus melayaniku tanpa keluhan. Tanpa gengsi. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu bisa menjadi 'Tanah', sama sepertiku."

"Aku setuju," jawab Lestari tanpa ragu. "Aku akan melakukannya. Aku akan datang besok pagi, sebelum matahari terbit, dan melakukan semua yang kau minta."

Joko memicingkan mata, bibirnya terangkat sedikit, menciptakan senyum penuh misteri yang membuat jantung Lestari berdebar lebih kencang.

"Jika kamu benar-benar melakukan semua itu, tanpa keluhan sedikit pun," kata Joko, suaranya kini melunak, seolah memberikan secercah harapan. "Aku akan menunda keberangkatanku. Aku akan tinggal di sini lebih lama. Aku akan memberimu kesempatan untuk menjelaskan semua kebingunganmu ini."

Lestari membelalakkan mata. Harapan yang tiba-tiba datang membanjiri perasaannya, melenyapkan semua rasa malu dan harga dirinya yang tersisa.

"Joko! Kau... kau serius?" tanya Lestari, suaranya naik beberapa oktaf.

"Ya," jawab Joko. "Aku akan menunda perjalananku. Selama kamu membuktikan bahwa kamu tidak lagi meremehkanku."

Wajah Lestari seketika bersinar. Kebahagiaan itu begitu murni dan meledak-ledak. Ia sudah merasa lelah dan dingin, tapi janji itu memberinya energi tak terbatas.

"JOKO!"

Tanpa sadar, Lestari melompat berdiri, kedua tangannya refleks melingkari leher Joko. Ia memeluknya erat-erat. Tubuhnya yang dingin dan wangi menempel ke tubuh Joko yang kurus.

Joko terkesiap, tubuhnya mengeras kaget. Itu adalah sentuhan paling intim yang pernah ia terima dari seorang gadis, apalagi Lestari. Getaran energi pusaka itu berdenyut kuat, menanggapi kontak fisik ini. Lestari merasakan sengatan hangat yang sama, membuat pelukannya semakin erat.

"Astaga, Joko! Terima kasih! Terima kasih banyak!" bisik Lestari di telinga Joko, suaranya penuh haru. "Aku tahu aku bisa! Aku janji, aku akan membuktikan semuanya!"

Joko membutuhkan beberapa detik untuk memproses pelukan yang tiba-tiba dan kebahagiaan Lestari yang meluap-luap. Ia melepaskan tangan Lestari dari lehernya dengan gerakan yang halus namun tegas.

"Lepaskan aku, Lestari," kata Joko, suaranya sedikit serak. Ia merasakan aroma parfum mahal dan udara dingin rambut Lestari membanjiri indranya. Ia harus tetap fokus.

Lestari segera melepaskan pelukannya, wajahnya merona malu karena tindakannya yang impulsif. Ia tidak menyadari betapa putus asanya ia sampai harus melompat memeluk Joko.

"Maaf! Maafkan aku! Aku... aku hanya terlalu senang!" Lestari mundur selangkah, menundukkan kepala. "Aku tidak bermaksud lancang."

"Lancang atau tidak, kendalikan dirimu," kata Joko, kembali ke nada dinginnya. "Kebahagiaanmu tidak ada hubungannya dengan keputusanku. Aku menunda kepergianku hanya untuk melihat sejauh mana omong kosong yang kamu ucapkan itu bisa dipertanggungjawabkan."

Joko berjalan ke pintu, membukanya. Gerimis di luar sudah reda.

"Besok pagi, sebelum matahari terbit. Kamu tahu persis apa yang harus kamu lakukan," kata Joko. "Sekarang, kamu boleh pulang. Aku perlu waktu sendiri."

Lestari tersenyum lebar. Senyum itu berbeda. Ada cahaya, ada kepolosan, dan ada rasa haru yang tulus, seolah semua keangkuhan yang menutupi hatinya telah runtuh.

"Aku akan datang, Joko! Tepat waktu!"

Lestari mengambil payungnya, berbalik, dan dengan langkah ringan, ia berjalan meninggalkan gubuk. Ia tidak lagi peduli pada genangan air di jalan, atau pada tatapan aneh tetangga yang mungkin melihatnya keluar dari gubuk Joko. Ia hanya peduli pada kenyataan bahwa ia telah mendapatkan satu hari, dan ia akan menggunakan satu hari itu untuk mendapatkan hati Joko kembali.

Saat Lestari menghilang di balik tikungan, Joko menutup pintu. Ia bersandar di pintu kayu, menarik napas panjang. Bau parfum Lestari masih tertinggal di udara gubuknya.

Ia menyentuh bagian lehernya yang baru saja disentuh Lestari. Ia merasakan denyutan Keris Semar Mesem yang kuat di balik bajunya.

Tepat pukul 05.00, ketukan di pintu terdengar.

Joko membuka pintu. Di ambang, berdiri Lestari. Kali ini ia tidak memakai pakaian mahal seperti biasa, melainkan kaus oblong dan celana jins yang tampak sudah usang, lengkap dengan sepatu kets yang terlihat lebih cocok untuk kerja bakti daripada berkencan.

Di tangannya, Lestari membawa tas jinjing kecil dan sebuah bungkusan berisi nasi. Wajahnya berseri-seri, tapi matanya terlihat lelah.

"Selamat pagi, Joko," sapa Lestari, suaranya pelan. "Aku datang. Tepat waktu. Dan aku tidak mengeluh. Sama sekali."

Joko menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia terkejut, namun berhasil menyembunyikannya. Lestari benar-benar menanggalkan gengsinya.

"Aku juga membawakan sarapan," lanjut Lestari, menyodorkan bungkusan nasi itu. "Aku bangun jam empat pagi, membuatnya sendiri. Cuma nasi goreng, tapi kuharap kamu suka."

Joko hanya diam menatap bungkusan itu. Perutnya berbunyi pelan.

"Masuk," kata Joko, suaranya datar. Ia berjalan ke dalam tanpa menoleh, membiarkan Lestari masuk.

Lestari masuk, matanya bersinar bahagia. Ia meletakkan sarapan itu di dipan.

"Jadi, apa tugasku, Bos?" tanya Lestari, ia bahkan menggunakan panggilan itu dengan senyum tulus. "Aku siap bersih-bersih, mencuci, atau menjual barang-barang Kakekmu. Katakan saja."

Joko berbalik, menatap Lestari dengan tatapan yang sangat heran. Perasaan benci dan dendam yang harusnya menyala di hatinya kini terasa tumpul, digantikan oleh kebingungan akan ketulusan Lestari.

"Lestari, apa kamu sudah gila?" tanya Joko.

Lestari mengerutkan kening. "Kenapa? Apa aku terlambat? Atau pakaianku tidak sopan?"

"Bukan itu," jawab Joko, menghela napas panjang. "Kamu datang ke sini sepagi ini, dengan membawa sarapan, dan sekarang kamu mau bersih-bersih gubukku? Apa kamu lupa kalau ini adalah Desa Suka Makmur? Kalau warga melihat kembang desa, putri Pak Lurah, berada di gubuk reotku sebelum matahari terbit, apa yang akan mereka pikirkan?"

Lestari tersentak, raut wajahnya berubah dari bersemangat menjadi cemas.

"Ah... aku tidak memikirkan itu," bisik Lestari. "Aku hanya... aku hanya ingin membuktikan janjiku padamu."

"Pembuktianmu akan memakan reputasi kita berdua, dan membuat Kakekku tidak tenang di alam sana," kata Joko, nadanya serius. Ia mendekati Lestari. "Dengarkan aku. Perjanjian kita... tidak bisa seperti ini."

"Maksudmu... kau membatalkannya?" tanya Lestari, suaranya tercekat. Mata yang bersinar tadi langsung berkaca-kaca.

"Tidak. Aku tidak membatalkannya," jawab Joko cepat. Ia melihat seberapa rapuh gadis itu sekarang. "Tapi kita ubah caranya. Aku tidak mau namaku dan nama Kakekku hancur karena fitnah. Aku tidak ingin kamu kehilangan segalanya hanya karena aku."

"Aku tidak peduli kehilangan apa pun, Joko! Aku hanya tidak mau kehilanganmu!" desak Lestari.

"Omong kosong," potong Joko. "Aku akan tetap pergi. Tapi aku akan tinggal lebih lama di desa ini. Dan kamu tidak perlu datang ke sini setiap pagi."

"Lalu bagaimana aku bisa membuktikan diriku padamu?" Lestari maju, menggenggam lengan baju Joko.

"Begini," kata Joko, matanya memancarkan perhitungan. "Tantanganmu adalah bertahan dan membuktikan ketulusanmu. Bukan dengan datang ke gubuk ini, tapi dengan menemuiku di tempat yang lebih aman. Kamu tetap harus menemaniku. Tapi hanya di luar pandangan warga. Dan kamu harus membantuku, tapi dengan cara yang tidak mencolok."

Joko menunjuk ke nasi goreng Lestari. "Ini... aku akan memakannya. Ini sudah cukup untuk hari ini. Tapi untuk tugasmu hari ini, aku mau kamu melakukan satu hal."

Lestari menatap Joko penuh harap. "Apa? Katakan!"

"Aku harus mencuci beberapa baju Kakek yang terakhir kali dipakai. Aku mau kamu... pergi ke Sungai Ciliwung mini di belakang desa, cuci baju-baju ini, dan pastikan tidak ada seorang pun yang melihatmu," kata Joko, memberikan tantangan yang sangat merendahkan bagi Lestari.

Lestari, yang seumur hidupnya hanya mengenal mesin cuci, menelan ludah. Tapi ia mengangguk cepat.

"Baiklah. Aku akan melakukannya. Sendirian. Di belakang desa," kata Lestari, ia mengambil tas jinjingnya. "Aku akan kembali setelah selesai. Sampai jumpa."

Lestari berbalik dan berlari keluar.

Joko hanya bisa menggelengkan kepala. Ia menatap bungkusan nasi goreng itu, lalu tersenyum tipis. Kerja yang bagus, Semar Mesem. Gadis angkuh itu kini mencuci pakaian almarhum Kakekku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 181

    “Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   Bab 180

    Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 179

    Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 178 Kkeuatan Baru

    Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   Bab 177

    Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 176

    “Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status