Share

BAB 5 Cahaya Kilat

last update Last Updated: 2025-10-03 00:13:12

Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!"

"Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.

Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.

Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."

Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu menyatu ke dalam tubuh Joko seperti uap hangat, tanpa suara dan tanpa sensasi.

Bagi mata si jambret yang dipenuhi amarah, atau bahkan bagi Joko yang tengah fokus pada lawannya, tidak ada yang aneh. Namun, di dalam dirinya, sesuatu telah berubah. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa sedikit melambat. Setiap gerakan, setiap suara bising terminal, kini terasa lebih jernih dan terprediksi.

Ancaman itu nyata. Joko tahu ia harus menyelesaikan ini dengan cepat.

Sambil pura-pura menempelkan ponsel ke telinga, si jambret tiba-tiba menerjang maju, mencoba merebut kembali tas di tangan Joko. Namun, gerakannya terasa lambat di mata Joko. Dengan mudah, Joko melangkah ke samping, membuat terjangan si jambret meleset dan ia nyaris tersungkur.

"Bajingan!" umpat si jambret. Ia bangkit dan melayangkan pukulan liar ke arah wajah Joko.

Orang-orang di kerumunan tersentak, namun mereka tetap diam, hanya menonton. Joko tidak mundur. Ia hanya mengangkat tangannya, menangkap kepalan tangan si jambret dengan mudah. Si jambret terbelalak, merasakan pukulannya seolah menghantam dinding baja.

"Mau coba lagi?" tanya Joko, cengkeramannya menguat, membuat si jambret meringis kesakitan.

Dengan putus asa, si jambret mencoba menendang tulang kering Joko. Joko melepaskan genggamannya, melangkah mundur sedikit untuk menghindari tendangan itu, lalu maju dengan cepat. Dengan satu gerakan tangan yang tak terduga, ia memukul titik di bahu si jambret.

KRAK!

Bukan suara tulang patah, tapi lebih seperti sendi yang tergeser. Si jambret menjerit kesakitan, lengannya lemas seketika, tak bisa digerakkan. Ia menatap Joko dengan ngeri, tak mengerti kekuatan macam apa yang dimiliki bocah kurus di hadapannya ini.

Tepat pada saat itu, beberapa satpam terminal akhirnya tiba, menerobos kerumunan. Tak lama kemudian, wanita yang menjadi korban tadi tiba dengan napas terengah-engah, wajahnya pucat pasi. Ia melihat si jambret yang mengerang kesakitan di tanah, para satpam yang mulai mengamankannya, dan Joko yang berdiri tenang sambil memegang tasnya.

"Tas saya..." ucapnya dengan suara bergetar.

Wanita itu mengulurkan tangannya untuk mengambil tas, namun gerakannya terhenti saat pandangannya tak sengaja bertemu dengan mata Joko. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa sunyi. Jantungnya berdebar kencang. Tatapan mata pemuda di hadapannya itu terasa begitu dalam, tenang, namun menyimpan kekuatan misterius yang menariknya. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, seolah-olah mereka pernah bertemu di waktu yang lain.

Joko mengerutkan keningnya. "Mbak? Ini tasnya," ujarnya sambil menyodorkan tas itu sekali lagi.

Aneh, kenapa wanita ini hanya diam mematung? batin Joko. Ia merasa suasana menjadi sedikit canggung. Para satpam sudah menyeret si jambret yang terus mengumpat.

Melihat wanita itu tak kunjung merespons, Joko kehilangan kesabarannya. Ia meletakkan tas itu dengan hati-hati ke tangan wanita tersebut yang masih terulur kaku. Tanpa berkata-kata lagi, Joko membalikkan badannya dan melangkah pergi dari kerumunan.

Saat punggung Joko berbalik, wanita itu seolah tersentak dari lamunannya. "Tunggu!" ia ingin berteriak, ingin memanggil pemuda itu, setidaknya untuk menanyakan namanya. Namun, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap punggung tegap itu yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang di antara lalu lalang orang, meninggalkan sejuta pertanyaan di benaknya.

Sementara itu, Joko yang berjalan menjauh merasakan keanehan menjalari tubuhnya. Perutnya yang tadi keroncongan hebat kini terasa diam, rasa laparnya lenyap begitu saja. Pikirannya berputar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Kejadian di terminal kabupaten semalam, lalu barusan... tubuhnya bergerak sendiri, kekuatannya muncul tanpa ia minta. Rasanya seperti ada orang lain di dalam dirinya. Ia menghela napas, memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Tujuannya sekarang lebih penting.

Ia mengeluarkan secarik kertas lusuh dari sakunya, lalu mendekati pangkalan ojek yang mangkal tak jauh dari sana. Matanya tertuju pada seorang bapak paruh baya berkulit legam yang tampak paling senior.

Di sisi lain, si bapak tukang ojek sebut saja Mang Jaka sudah mengamati Joko sejak tadi. 'Anak kampung, ransel butut, muka bingung. Mangsa empuk,' batinnya, seulas senyum licik tipis terukir di bibirnya.

"Permisi, Pak. Mau tanya, kalau alamat ini, ke arah mana ya?" tanya Joko, menyodorkan kertas dari Bu Lasmi.

Mang Jaka melirik kertas itu sekilas. "Oh, Cilandak!" serunya dengan nada sok ramah. "Tahu, tahu sekali saya, Mas. Itu daerah perkantoran elite. Lumayan jauh dari sini, jalannya juga suka macet parah."

Joko mengangguk. "Kira-kira berapa ongkosnya, Pak?"

Mang Jaka memasang wajah berpikir serius, padahal angka sudah siap di ujung lidahnya. "Kalau ke sana, normalnya sih seratus ribu, Mas. Tapi karena Masnya ini kelihatan baik, saya kasih harga teman saja, tujuh puluh lima ribu. Gimana?"

Joko mengerutkan kening. Ia memang baru pertama kali ke Jakarta, tapi ia tidak bodoh. "Waduh, mahal banget, Pak. Uang saya tidak sebanyak itu. Dua puluh ribu ya, Pak?" tawar Joko.

Mang Jaka tertawa keras, seolah baru mendengar lelucon paling lucu sedunia. "Hahaha! Adek, Adek! Baru pertama kali ke Jakarta, ya?" ejeknya, nadanya merendahkan. "Dua puluh ribu itu cuma cukup buat beli teh botol dua sama gorengan! Ini ke Cilandak, bukan ke ujung jalan! Kalau nggak percaya, tanya saja yang lain!"

Tentu saja tukang ojek lain akan memberikan harga yang sama tingginya. Itu sudah menjadi kode etik tak tertulis di antara mereka.

"Saya cuma punya uang segitu, Pak," kata Joko, masih mencoba sabar.

"Ya itu derita Adek, bukan derita saya," sahut Mang Jaka ketus. "Lima puluh ribu, harga pas! Mau atau tidak?"

Rasa lelah, bingung, dan kini kesal mulai bergejolak di dalam diri Joko. Bayangan para pencopet dan jambret yang ia hadapi melintas di benaknya, lalu sekarang ia harus berdebat dengan tukang ojek yang jelas-jelas ingin memerasnya.

'Dasar tukang palak. Sudah tahu orang susah, masih saja mau diperas,' umpat Joko dalam hati.

Saat umpatan itu melintas, rasa panas yang familiar dari pusaka di sakunya seolah menjalar ke seluruh tubuhnya. Tanpa ia sadari, raut wajahnya berubah. Ia berhenti bicara. Ia hanya diam dan menatap lurus ke mata Mang Jaka. Tatapannya tidak lagi seperti anak kampung yang kebingungan, melainkan tenang, dalam, dan seolah menelanjangi semua niat busuk di hati Mang Jaka.

Seketika, tawa mengejek di wajah Mang Jaka membeku. Jantungnya berdebar tanpa alasan. Di hadapan tatapan mata pemuda itu, ia merasa kecil, seolah semua kebohongan dan niat culasnya terlihat jelas. Tenggorokannya mendadak kering.

"Ta... tapi kan memang jauh, Mas..." katanya, suaranya goyah, mencoba membela diri dari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.

Joko masih diam, tatapannya tak bergeser sedikit pun.

Keringat dingin mulai membasahi pelipis Mang Jaka. Ia merasa sangat aneh. Kenapa ia jadi takut begini? Ini hanya anak muda biasa. Tapi aura di sekeliling pemuda ini terasa berbeda, membuatnya tak berani macam-macam.

"A-atau... atau terserah Masnya saja lah mau kasih berapa," ucapnya pada akhirnya, menyerah total. Harga dirinya sebagai preman pangkalan ojek luntur begitu saja.

Barulah Joko tersenyum tipis, senyum yang entah kenapa membuat Mang Jaka semakin merinding. "Dua puluh ribu ya, Pak. Saya baru sampai, belum ada uang pecah," kata Joko dengan suara tenang.

"Oh, iya, iya, boleh, Mas! Dua puluh ribu saja! Siap! Ayo, silakan naik!" jawab Mang Jaka dengan sigap, seolah mendapatkan sebuah kehormatan. Ia menyalakan mesin motornya dengan tergesa-gesa, masih diliputi perasaan bingung dan ngeri atas dirinya sendiri yang begitu mudahnya takluk hanya dengan sebuah tatapan mata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 10 Belum Usai

    Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 9 Balasan

    Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 8 Akan Saya Usahakan

    Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 7 Pertolongan Itu Datang

    Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 6 Penghinaan

    Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 5 Cahaya Kilat

    Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status