Home / Urban / Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru! / BAB 7 Pertolongan Itu Datang

Share

BAB 7 Pertolongan Itu Datang

last update Last Updated: 2025-10-03 00:13:58

Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.

Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja  warteg.

Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.

Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya seorang ibu paruh baya, sang pemilik, yang duduk di belakang etalase kaca, menatap kosong ke jalanan dengan raut wajah sedih.

Joko berhenti sejenak. Logikanya berkata, tempat yang ramai pasti lebih enak. Tapi hatinya yang masih kalut dan lelah berdebat dengan orang lain berkata sebaliknya. Ia tidak butuh antre, tidak butuh berdesak-desakan. Ia hanya butuh makan dengan tenang.

Akhirnya, ia melangkahkan kakinya menuju "Warteg Sedap Rasa" yang sepi.

Melihat pintu warungnya didorong terbuka dan seorang pelanggan masuk, wajah si ibu pemilik warteg seketika berubah. Raut sedihnya lenyap, digantikan oleh senyum tulus yang begitu lebar dan penuh kelegaan.

"Ayo, Nak, masuk! Silakan duduk!" sambutnya dengan suara ramah dan penuh semangat. Ia bergegas mengambil lap dan mengelap meja yang sebenarnya sudah bersih. "Mau makan apa, Nak? Pilih saja, semuanya baru matang."

Joko meletakkan ranselnya dan menunjuk beberapa lauk di etalase. "Nasi rames, Bu. Pakai orek tempe, tumis kangkung, sama ayam goreng."

"Siap!" jawab si ibu dengan sigap. Ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi panas yang mengepul, lalu dengan cekatan menambahkan lauk-pauk pilihan Joko. Saat hendak memberikan piring itu, ia berhenti sejenak. "Ini, Ibu tambahkan telur balado gratis, ya. Biar makannya lebih bertenaga," katanya sambil meletakkan sebutir telur merah merona di atas nasi Joko.

Joko tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Terima kasih banyak, Bu."

Ia duduk dan mulai makan. Lapar yang menggerogoti membuatnya makan dengan sangat lahap. Dan di suapan pertama, ia langsung tahu ada yang aneh. Ayam gorengnya gurih dan renyah, bumbunya meresap sampai ke tulang. Orek tempenya manis dan sedikit pedas, pas di lidah. Bahkan tumis kangkungnya masih segar dan renyah.

Ini... ini enak sekali. Jauh lebih enak dari makanan mana pun yang pernah ia cicipi.

Sambil terus mengunyah, matanya berkeliling. Warung ini bersih, tidak ada lalat, dan pemiliknya sangat ramah. Ia lalu melirik ke warteg sebelah yang masih saja riuh rendah. Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya.

Masakannya seenak ini, tempatnya bersih, ibunya baik. Tapi kenapa sepi sekali?

Joko menghabiskan suapan terakhirnya dengan perasaan puas sekaligus bingung yang luar biasa. Ia mendorong piringnya yang kini licin tandas, lalu meneguk es teh manisnya. Di seberang meja, si ibu pemilik warteg memperhatikannya dengan senyum tipis, tampak senang melihat masakannya dinikmati sedemikian rupa.

"Bu," panggil Joko, suaranya kini lebih santai.

"Iya, Nak? Mau nambah?" tawar si ibu, siap berdiri.

"Oh, tidak, Bu. Sudah kenyang sekali, terima kasih," tolak Joko halus. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menurunkan nada suaranya seolah sedang membicarakan sebuah rahasia. "Saya cuma heran, Bu."

"Heran kenapa, Nak?"

"Masakan Ibu ini... jujur saja, enak sekali. Salah satu yang paling enak pernah saya makan," puji Joko tulus. "Tapi..."

Joko berhenti sejenak, melirik ke arah warteg sebelah yang masih ramai. "Tapi kok... sepi, ya?"

Senyum di wajah si ibu langsung memudar, digantikan oleh gurat kesedihan yang dalam. Ia menghela napas panjang, seolah mengangkat beban berat dari dadanya. "Panjang ceritanya, Nak," jawabnya pelan.

Melihat perubahan raut wajah itu, Joko merasa tidak enak. Namun, instingnya atau mungkin pengaruh dari pusaka di sakunya mendorongnya untuk bertanya lebih jauh. Ada sesuatu yang salah di sini, dan ia merasakannya.

"Kalau Ibu tidak keberatan cerita, saya mau dengar," kata Joko. Nada suaranya berubah, tidak lagi seperti pelanggan yang penasaran, tapi lebih seperti seorang penyidik yang tenang. "Sejak kapan warung ini jadi sepi begini, Bu? Apa baru-baru ini?"

Si ibu menatap Joko, sedikit terkejut dengan nada pertanyaan yang lugas itu. Tapi di mata pemuda di hadapannya, ia tidak melihat rasa ingin tahu yang usil, melainkan sebuah ketulusan yang aneh.

"Sudah hampir sebulan ini, Nak," jawab si ibu, suaranya sedikit bergetar. "Dulu, warung Ibu ini yang paling ramai di sini. Warung sebelah itu malah baru buka beberapa bulan lalu."

"Sebulan?" ulang Joko, keningnya berkerut dalam. "Apa ada yang berubah sebulan ini? Mungkin resepnya? Atau harganya naik?"

Si ibu menggeleng cepat. "Tidak ada, Nak. Semuanya masih sama. Resep ini resep warisan dari ibu saya, tidak pernah saya ubah. Harganya pun tidak pernah saya naikkan. Saya malah bingung, pelanggan-pelanggan lama yang sudah bertahun-tahun makan di sini, tiba-tiba berhenti datang. Semuanya pindah ke sebelah."

"Semuanya?" tanya Joko lagi, matanya menatap tajam. "Tanpa alasan? Apa Ibu pernah coba bertanya ke salah satu pelanggan lama?"

Si ibu menunduk, memainkan ujung celemeknya yang sudah usang. "Pernah. Waktu itu saya bertemu Pak Tono, sopir angkot yang sudah langganan lima tahun. Saya tanya, 'Pak Tono, kok sudah jarang mampir?'. Dia cuma bilang, 'Maaf, Bu. Rasanya sudah beda, enakan di sebelah sekarang'. Padahal hari itu saya masak dengan bumbu yang sama persis seperti biasa."

Joko terdiam, otaknya bekerja keras. Cerita ini tidak masuk akal. Persaingan bisnis itu biasa, tapi pelanggan yang pindah serempak dalam waktu singkat dengan alasan rasa yang tiba-tiba berubah... itu sangat ganjil.

"Sebelum warung sebelah buka, apa ada kejadian aneh, Bu?" tanya Joko lagi, pertanyaannya semakin spesifik, seperti sedang menginterogasi seorang saksi. "Mungkin ada yang datang menawarkan sesuatu? Atau ada orang yang tidak suka dengan warung Ibu?"

Si ibu tampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat. Lalu, matanya sedikit melebar. "Ah... ada, Nak. Tapi Ibu tidak tahu apakah ini ada hubungannya..."

mulainya pelan. "Tapi sekitar sebulan yang lalu, hal-hal aneh mulai terjadi. Awalnya, hampir setiap tengah malam, selalu terdengar suara ribut-ribut di atap seng warung Ibu."

"Ribut-ribut seperti apa, Bu?" tanya Joko, suaranya tetap tenang.

"Seperti... seperti suara kucing berkelahi," jawab si ibu, sedikit bergidik. "Tapi aneh, Nak. Suaranya itu melengking sekali, lebih seram dari suara kucing biasa. Terkadang seperti suara bayi menangis, lalu berubah jadi geraman marah. Suami Ibu sampai pernah naik untuk memeriksa, tapi tidak ada apa-apa di atas sana. Tidak ada kucing, tidak ada apa pun."

Joko diam, membiarkan si ibu melanjutkan.

"Lalu... beberapa hari setelah itu," lanjut si ibu, suaranya semakin pelan. "Setiap pagi saat Ibu mau buka warung, Ibu selalu menemukan tanah segenggam tepat di depan pintu. Padahal lantai warung ini kan keramik, Nak. Semalaman pintu dikunci rapat. Dari mana datangnya tanah itu? Warnanya agak gelap, seperti tanah dari kuburan. Setiap hari Ibu bersihkan, besok paginya selalu ada lagi di tempat yang sama."

Joko tidak berkedip, otaknya merekam setiap detail dengan saksama.

Si ibu menghela napas berat, seolah menceritakan aib. "Dan yang paling membuat Ibu hampir menyerah... sekitar dua minggu lalu. Pagi-pagi, saat Ibu sedang menata lauk, Ibu mencium bau busuk yang sangat menyengat. Setelah dicari-cari, ternyata ada bangkai tikus di sudut warung, dekat rak piring. Padahal warung ini selalu Ibu bersihkan, tidak mungkin ada tikus bisa masuk dan mati di sana tanpa ketahuan."

Setelah menyelesaikan ceritanya, si ibu menatap Joko dengan raut wajah pasrah. "Ibu sudah coba panggil orang pintar, katanya warung ini 'panas'. Tapi ya... tetap saja begini. Mungkin memang sudah bukan rezeki Ibu lagi," tutupnya dengan lirih.

Joko terdiam lama. Ia tidak menanggapi keluhan si ibu. Pikirannya seolah terbang, menyusun kepingan-kepingan puzzle yang baru saja diberikan kepadanya. Kucing berkelahi di atap, tanah kuburan di depan pintu, bangkai binatang yang muncul tiba-tiba...

Ia bukan orang pintar, ia bahkan tidak pernah percaya hal-hal seperti itu sebelumnya. Namun, saat mendengar cerita si ibu, sebuah pemahaman aneh mengalir begitu saja ke dalam benaknya, sejelas air sungai. Seolah ada suara lain yang membisikkan jawaban kepadanya. Ini bukan kesialan biasa. Ini bukan persaingan bisnis yang sehat.

Ini adalah perbuatan jahat. Seseorang dengan sengaja telah "menutup" warung ini menggunakan cara-cara kotor.

Tangannya tanpa sadar meraba saku jaketnya, merasakan bentuk dingin dari keris pusaka di dalamnya. Benda itu terasa sedikit hangat, seolah ikut bereaksi terhadap cerita si ibu. Joko mengangkat wajahnya, menatap si ibu yang tampak putus asa, lalu melirik ke warteg sebelah yang ramai dan penuh tawa. Amarah yang berbeda kini mulai menyala di dalam dirinya. Bukan amarah karena dihina, tapi amarah karena melihat ketidakadilan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 10 Belum Usai

    Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 9 Balasan

    Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 8 Akan Saya Usahakan

    Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 7 Pertolongan Itu Datang

    Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 6 Penghinaan

    Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 5 Cahaya Kilat

    Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status