LOGINLestari menggelengkan kepala dengan panik, air mata kembali mengalir deras. "Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak kenal dia! Aku tidak mencintainya!"
"Cinta?!" Pak RT mendesis sinis. "Cinta tidak akan memberimu masa depan yang terjamin, Tari! Reno punya segalanya! Rumah mewah, mobil bagus, uang tak terbatas! Kau bisa kembali menjadi 'Langit' yang sesungguhnya! Bukan malah mengejar 'Tanah' busuk itu!"
"Dia bukan tanah busuk! Dia lebih tulus dari Reno atau siapa pun yang Ayah kenal!" teriak Lestari. "Aku tidak butuh hartanya! Aku butuh Joko!"
Bu RT menampar pipi Lestari dengan keras. Plak!
Suara tamparan itu memekakkan, bahkan Pak RT pun terkejut. Lestari memegang pipinya, tapi ia tidak menangis lagi. Matanya kini memancarkan rasa sakit yang mendalam, tapi juga api kemarahan yang membara.
"Beraninya kau membantah Ibumu demi pria tidak berguna itu?!" desis Bu RT, napasnya tersengal.
Lestari menatap kedua orang tuanya, seolah-olah mereka adalah orang asing. Semua kenangan tentang keangkuhan dan penolakan Joko tiba-tiba terasa masuk akal. Ini bukan hanya tentang status sosial; ini tentang kontrol.
"Kalian tidak pernah peduli padaku," kata Lestari, suaranya rendah dan penuh kepahitan. "Kalian hanya peduli pada status kalian sendiri. Kalian menjodohkanku tanpa bertanya! Kalian menjebloskanku pada Reno hanya karena uangnya!"
"Itu demi masa depanmu, Nak! Demi nama baik keluarga!" sela Pak RT, mencoba melembutkan suasana.
"Masa depanku adalah keputusanku sendiri!" Lestari berbalik, menatap ke arah jalan setapak tempat Joko menghilang. Air matanya sudah kering, digantikan oleh tekad yang membaja.
"Dengar, Ayah, Ibu," kata Lestari, suaranya dingin, meniru nada bicara Joko. "Aku tidak peduli dengan Reno, dengan properti, atau dengan pertunangan bodoh itu. Aku hanya tahu satu hal."
Lestari menunjuk ke arah Joko pergi. "Pria itu baru saja pergi karena kalian mengusirnya. Dia pergi karena dia pikir aku akan menjadi beban. Tapi dia memberiku satu petunjuk."
Pak RT dan Bu RT menatap Lestari, bingung dengan perubahan sikapnya.
"Petunjuk apa?" tanya Bu RT curiga.
"Dia bilang, dia akan pergi, tapi jika takdir mempertemukan kami lagi, dia tidak akan datang sebagai 'Tanah'. Dia akan datang sebagai seseorang yang bahkan 'Langit' pun akan tunduk," kata Lestari, mengulang kata-kata Joko. "Itu artinya... dia akan kembali. Dia akan kembali dengan kekuatan yang besar. Dan aku tidak akan menunggu di sini, dijodohkan dengan pria lain, hanya karena uang!"
"Kau sudah kehilangan akal!" bentak Pak RT. "Lupakan omong kosong Lelaki Kencana dan Semar Mesem itu! Itu hanya dongeng konyol! Joko itu pergi karena dia kalah, Tari!"
Lestari menggeleng. "Ayah yang salah. Joko tidak pernah kalah. Dia hanya sedang menyusun strategi. Dan aku akan menjadi bagian dari strateginya, bukan bidak kalian."
Pak RT mencengkeram bahu Lestari lagi. "Ingat peringatan Ayahmu ini, Lestari! Kau tidak akan pernah keluar dari rumah ini! Kau akan tetap tinggal, dan kau akan bertunangan dengan Reno! Jangan pernah berpikir untuk mengejar pria gembel itu lagi, atau Ayah akan pastikan hidupnya lebih susah dari sekarang!"
Lestari menatap mata Ayahnya. Ia melihat ancaman yang nyata di sana. Jika ia mencoba kabur sekarang, Joko dalam bahaya. Ia tidak bisa membawa masalah pada Joko.
Lestari menarik napas, matanya berkedip sekali. Ia memalsukan kepasrahan.
"Baiklah, Yah. Aku mengerti," kata Lestari, suaranya melemah. "Aku tidak akan mengejar dia lagi."
Wajah Pak RT dan Bu RT menunjukkan kelegaan yang instan.
"Bagus, Nak. Itu baru putri Ayah," kata Pak RT, pelukannya mengendur.
"Ayo kita pulang. Kita mandi, dan kita lupakan semua kekonyolan ini," ujar Bu RT, menarik Lestari untuk menjauh dari gubuk Joko.
Lestari berjalan bersama orang tuanya, meninggalkan gubuk reot itu. Ia terlihat patuh, namun di dalam hatinya, api yang menyala itu semakin besar.
Joko ingin kembali sebagai 'Penguasa'. Aku akan menunggunya, tapi aku tidak akan tinggal diam. Aku akan memastikan aku sudah berada di level yang sama, sehingga ketika dia kembali, dia akan melihatku bukan sebagai beban, tapi sebagai Ratu yang layak mendampingi Penguasa.
Lestari mengepalkan tangannya di balik punggung. Kepergian Joko tidak membuatnya menyerah. Perjodohan itu malah memberinya motivasi baru. Demi Joko, dan demi membuktikan bahwa ia tidak lagi angkuh. Ia akan menjadi Lestari yang baru, sebelum Joko kembali.
“Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua
Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua
Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian
Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,
Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di
“Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu







