MasukSetelah kejadian itu, Joko memutuskan pergi ke kota. Baginya, buat apa bertahan di desa yang bahkan tidak menghormatinya sama sekali. Pun perjalanan ke kota, dia dapat dari uang sisa tabungan kakeknya, berbekal uang seadanya dan naik bis, akhirnya dia tiba di terminal kota. Perutnya lapar karena seharian belum makan. Saat melihat sebuah warteg kecil, Joko masuk ke dalamnya.
"Ayo, Nak, masuk! Silakan duduk!" sambut ibu pemilik warung dengan suara ramah dan penuh semangat. Ia bergegas mengambil lap dan mengelap meja yang sebenarnya sudah bersih. "Mau makan apa, Nak? Pilih saja, semuanya baru matang."
Joko meletakkan ranselnya dan menunjuk beberapa lauk di etalase. "Nasi rames, Bu. Pakai orek tempe, tumis kangkung, sama ayam goreng."
"Siap!" jawab si ibu dengan sigap. Ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi panas yang mengepul, lalu dengan cekatan menambahkan lauk-pauk pilihan Joko. Saat hendak memberikan piring itu, ia berhenti sejenak. "Ini, Ibu tambahkan telur balado gratis, ya. Biar makannya lebih bertenaga," katanya sambil meletakkan sebutir telur merah merona di atas nasi Joko.
Joko tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Terima kasih banyak, Bu."
Ia duduk dan mulai makan. Lapar yang menggerogoti membuatnya makan dengan sangat lahap. Dan di suapan pertama, ia langsung tahu ada yang aneh. Ayam gorengnya gurih dan renyah, bumbunya meresap sampai ke tulang. Orek tempenya manis dan sedikit pedas, pas di lidah. Bahkan tumis kangkungnya masih segar dan renyah.
Ini... ini enak sekali. Jauh lebih enak dari makanan mana pun yang pernah ia cicipi.
Sambil terus mengunyah, matanya berkeliling. Warung ini bersih, tidak ada lalat, dan pemiliknya sangat ramah. Ia lalu melirik ke warteg sebelah yang masih saja riuh rendah. Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya.
Masakannya seenak ini, tempatnya bersih, ibunya baik. Tapi kenapa sepi sekali?
Joko menghabiskan suapan terakhirnya dengan perasaan puas sekaligus bingung yang luar biasa. Ia mendorong piringnya yang kini licin tandas, lalu meneguk es teh manisnya.
Di seberang meja, si ibu pemilik warteg memperhatikannya dengan senyum tipis, tampak senang melihat masakannya dinikmati sedemikian rupa.
"Bu," panggil Joko, suaranya kini lebih santai.
"Iya, Nak? Mau nambah?" tawar si ibu, siap berdiri.
"Oh, tidak, Bu. Sudah kenyang sekali, terima kasih," tolak Joko halus. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menurunkan nada suaranya seolah sedang membicarakan sebuah rahasia. "Saya cuma heran, Bu."
"Heran kenapa, Nak?"
"Masakan Ibu ini... jujur saja, enak sekali. Salah satu yang paling enak pernah saya makan," puji Joko tulus. "Tapi..."
Joko berhenti sejenak, melirik ke arah warteg sebelah yang masih ramai. "Tapi kok... sepi, ya?"
Senyum di wajah si ibu langsung memudar, digantikan oleh gurat kesedihan yang dalam. Ia menghela napas panjang, seolah mengangkat beban berat dari dadanya. "Panjang ceritanya, Nak," jawabnya pelan.
Melihat perubahan raut wajah itu, Joko merasa tidak enak. Namun, instingnya atau mungkin pengaruh dari pusaka di sakunya mendorongnya untuk bertanya lebih jauh.
Ada sesuatu yang salah di sini, dan ia merasakannya.
"Kalau Ibu tidak keberatan cerita, saya mau dengar," kata Joko. Nada suaranya berubah, tidak lagi seperti pelanggan yang penasaran, tapi lebih seperti seorang penyidik yang tenang. "Sejak kapan warung ini jadi sepi begini, Bu? Apa baru-baru ini?"
Si ibu menatap Joko, sedikit terkejut dengan nada pertanyaan yang lugas itu. Tapi di mata pemuda di hadapannya, ia tidak melihat rasa ingin tahu yang usil, melainkan sebuah ketulusan yang aneh.
"Sudah hampir sebulan ini, Nak," jawab si ibu, suaranya sedikit bergetar. "Dulu, warung Ibu ini yang paling ramai di sini. Warung sebelah itu malah baru buka beberapa bulan lalu."
"Sebulan?" ulang Joko, keningnya berkerut dalam. "Apa ada yang berubah sebulan ini? Mungkin resepnya? Atau harganya naik?"
Si ibu menggeleng cepat. "Tidak ada, Nak. Semuanya masih sama. Resep ini resep warisan dari ibu saya, tidak pernah saya ubah. Harganya pun tidak pernah saya naikkan. Saya malah bingung, pelanggan-pelanggan lama yang sudah bertahun-tahun makan di sini, tiba-tiba berhenti datang. Semuanya pindah ke sebelah."
"Semuanya?" tanya Joko lagi, matanya menatap tajam. "Tanpa alasan? Apa Ibu pernah coba bertanya ke salah satu pelanggan lama?"
Si ibu menunduk, memainkan ujung celemeknya yang sudah usang. "Pernah. Waktu itu saya bertemu Pak Tono, sopir angkot yang sudah langganan lima tahun. Saya tanya, 'Pak Tono, kok sudah jarang mampir?'. Dia cuma bilang, 'Maaf, Bu. Rasanya sudah beda, enakan di sebelah sekarang'. Padahal hari itu saya masak dengan bumbu yang sama persis seperti biasa."
Joko terdiam, otaknya bekerja keras.
Cerita ini tidak masuk akal.
Persaingan bisnis itu biasa, tapi pelanggan yang pindah serempak dalam waktu singkat dengan alasan rasa yang tiba-tiba berubah... itu sangat ganjil.
"Sebelum warung sebelah buka, apa ada kejadian aneh, Bu?" tanya Joko lagi, pertanyaannya semakin spesifik, seperti sedang menginterogasi seorang saksi. "Mungkin ada yang datang menawarkan sesuatu? Atau ada orang yang tidak suka dengan warung Ibu?"
Si ibu tampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat. Lalu, matanya sedikit melebar. "Ah... ada, Nak. Tapi Ibu tidak tahu apakah ini ada hubungannya..."
mulainya pelan. "Tapi sekitar sebulan yang lalu, hal-hal aneh mulai terjadi. Awalnya, hampir setiap tengah malam, selalu terdengar suara ribut-ribut di atap seng warung Ibu."
"Ribut-ribut seperti apa, Bu?" tanya Joko, suaranya tetap tenang.
"Seperti... seperti suara kucing berkelahi," jawab si ibu, sedikit bergidik. "Tapi aneh, Nak. Suaranya itu melengking sekali, lebih seram dari suara kucing biasa. Terkadang seperti suara bayi menangis, lalu berubah jadi geraman marah. Suami Ibu sampai pernah naik untuk memeriksa, tapi tidak ada apa-apa di atas sana. Tidak ada kucing, tidak ada apa pun."
Joko diam, membiarkan si ibu melanjutkan.
"Lalu... beberapa hari setelah itu," lanjut si ibu, suaranya semakin pelan.
"Setiap pagi saat Ibu mau buka warung, Ibu selalu menemukan tanah segenggam tepat di depan pintu. Padahal lantai warung ini kan keramik, Nak. Semalaman pintu dikunci rapat. Dari mana datangnya tanah itu? Warnanya agak gelap, seperti tanah dari kuburan. Setiap hari Ibu bersihkan, besok paginya selalu ada lagi di tempat yang sama."
Joko tidak berkedip, otaknya merekam setiap detail dengan saksama.
Si ibu menghela napas berat, seolah menceritakan aib. "Dan yang paling membuat Ibu hampir menyerah... sekitar dua minggu lalu. Pagi-pagi, saat Ibu sedang menata lauk, Ibu mencium bau busuk yang sangat menyengat. Setelah dicari-cari, ternyata ada bangkai tikus di sudut warung, dekat rak piring. Padahal warung ini selalu Ibu bersihkan, tidak mungkin ada tikus bisa masuk dan mati di sana tanpa ketahuan."
Setelah menyelesaikan ceritanya, si ibu menatap Joko dengan raut wajah pasrah. "Ibu sudah coba panggil orang pintar, katanya warung ini 'panas'. Tapi ya... tetap saja begini. Mungkin memang sudah bukan rezeki Ibu lagi," tutupnya dengan lirih.
Joko terdiam lama. Ia tidak menanggapi keluhan si ibu. Pikirannya seolah terbang, menyusun kepingan-kepingan puzzle yang baru saja diberikan kepadanya.
Kucing berkelahi di atap, tanah kuburan di depan pintu, bangkai binatang yang muncul. Dan tiba-tiba... Pandangan Joko mulai menyingkap sesuatu yang aneh. Sosok gelap, hitam, tinggi besar, juga bertaring, tepat di samping meja tempatnya makan!
“Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua
Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua
Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian
Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,
Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di
“Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu







