Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.
Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.
BLESHH!
Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru saja dipukul godam. Pandangannya mengabur, lalu kembali fokus dengan kejernihan yang mengerikan.
"AAAA!"
Joko berteriak kaget, matanya terbelalak ngeri. Refleks, ia mendorong tubuhnya ke belakang, namun karena sedang duduk, ia justru terpelanting dari bangkunya.
BRAKK!
Ia jatuh terjengkang dengan keras ke lantai keramik.
"Nak! Ya Allah, Nak kenapa?!"
pekik si ibu, terlonjak dari kursinya. Ia panik setengah mati melihat pelanggan satu-satunya itu tiba-tiba jatuh seperti terserang ayan. Ia bergegas menghampiri Joko yang tergeletak di lantai. "Kamu kenapa, Nak? Sakit? Kejang-kejang?"
Namun Joko tidak mendengar pertanyaan si ibu. Ia tergeletak di lantai, napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Matanya tidak menatap si ibu, melainkan berkeliling dengan liar ke seluruh penjuru warung dengan ekspresi teror murni.
Karena apa yang ia lihat sekarang bukanlah warung bersih yang sepi.
Dunia yang dilihatnya telah berubah. Warung itu kini penuh sesak, bukan oleh manusia, tapi oleh makhluk-makhluk kelabu berasap yang wujudnya mengerikan. Di atas meja etalase, sesosok makhluk bungkuk dengan mata merah menyala sedang menjilati kaca, meninggalkan jejak energi hitam yang busuk. Di setiap kursi kosong, duduk makhluk-makhluk kurus kering dengan wajah cekung dan tatapan kosong, memancarkan hawa dingin yang membuat bulu kuduk meremang.
Dan yang paling membuat perutnya mual, di atas dispenser nasi yang seharusnya mengepulkan uap hangat, kini bertengger sesosok makhluk hitam legam, gundul, dan bertaring, yang seolah meniupkan hawa dingin dan basi ke dalam nasi itu.
Iya. Para hantu telah memenuhi warung itu. Mereka adalah sumber dari "hawa panas" yang membuat pelanggan enggan masuk. Joko bisa melihatnya dengan sangat jelas, sementara si ibu yang baik hati berlutut di sampingnya, mencoba membantunya berdiri, tangannya menembus begitu saja salah satu sosok kelabu yang berdiri di dekat mereka.
Joko mendorong pelan tangan si ibu, matanya masih menatap liar ke sekeliling ruangan yang bagi si ibu terlihat kosong. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"I-itu... di sana..." gagap Joko, menunjuk dengan jari gemetar ke arah dispenser nasi, di mana makhluk hitam legam itu bertengger. Tentu saja, si ibu tidak melihat apa-apa. "Bu... warung Ibu... warung Ibu kena sihir!"
Wajah si ibu yang tadinya panik berubah menjadi syok total, bercampur dengan kebingungan dan sedikit rasa takut pada Joko. "Sihir? A-apa maksudmu, Nak? Kamu jangan mengigau! Kamu sakit?"
"Saya tidak mengigau, Bu!" seru Joko, suaranya sedikit meninggi karena frustrasi dan teror. Ia sadar sekarang. Inilah alasannya bisa masuk ke warung ini tanpa masalah. Energi dari pusaka di dalam dirinya melindunginya dari aura busuk yang membuat orang lain mual dan enggan masuk. "Saya melihatnya! Mereka ada di mana-mana!"
Si ibu hanya bisa menggelengkan kepala, mundur selangkah. Ia mulai berpikir anak ini mungkin sudah gila.
Melihat keputusasaan di wajah si ibu, dan merasakan amarah melihat makhluk-makhluk itu menodai tempat ini, sebuah keberanian yang aneh muncul di hati Joko, menekan rasa takutnya. Ia berusaha bangkit, menatap si ibu dengan sungguh-sungguh. "Saya tidak tahu bagaimana caranya, Bu... tapi saya akan berusaha membantu sebisanya!"
Saat kalimat itu terucap sebuah janji, sebuah deklarasi perang suasana di dalam warung seketika berubah.
Makhluk-makhluk kelabu itu berhenti dari aktivitas jahat mereka. Serentak, kepala-kepala mereka yang mengerikan menoleh ke arah Joko. Mata-mata mereka yang kosong kini seolah menyala dengan kebencian. Mereka sadar. Pemuda ini bisa melihat mereka. Dan kini, ia menjadi ancaman.
Dengan desisan tanpa suara yang hanya bisa didengar oleh batin Joko, makhluk-makhluk itu mulai bergerak, meluncur dari kursi, meja, dan langit-langit, bersiap untuk menerjang dan merobek jiwa yang berani mengusik mereka.
Joko merasakan gelombang teror yang luar biasa, membuatnya nyaris lumpuh. Ia terpojok. Dalam kepanikan murni, ia mengangkat tangannya ke depan sebagai tameng, mulutnya terbuka hendak berteriak.
Namun yang keluar bukanlah teriakan.
"Sirna, sirna, dadi awu! Bali menyang asalmu!"
Sebuah mantra. Bukan bahasa Indonesia, bukan pula bahasa Jawa yang ia kenal. Kata-kata itu terasa kuno, bergetar, dan penuh dengan kekuatan yang agung. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, seolah ada jiwa lain yang lebih tua dan bijaksana mengambil alih lidahnya untuk sesaat. Ia sendiri tidak tahu apa arti dari apa yang baru saja ia ucapkan.
Saat mantra itu dirapalkan, keris di saku Joko memancarkan cahaya keemasan yang menembus kain jaketnya. Udara di sekitar Joko bergetar.
Makhluk-makhluk yang sedang menerjang itu berhenti seketika, seolah menabrak dinding tak kasat mata. Mereka mulai menjerit, jeritan melengking tanpa suara yang merobek batin Joko. Lalu, dari tubuh mereka, muncul percikan api keemasan.
Dalam sekejap, api itu membesar, membakar wujud asap mereka. Jeritan mereka semakin menjadi-jadi saat tubuh-tubuh astral itu hangus terbakar, berubah menjadi debu keemasan yang kemudian lenyap di udara.
Dalam hitungan detik, semua selesai. Seluruh makhluk itu musnah.
Keheningan total menyelimuti warung. Hawa dingin yang menekan dan rasa mual yang busuk seketika hilang, digantikan oleh udara yang terasa bersih dan ringan. Joko masih berdiri dengan tangan terjulur, napasnya memburu, menatap ke sekeliling warung yang kini benar-benar kosong.
"A-apa... apa yang barusan aku lakukan?" bisiknya pada diri sendiri, sama terkejutnya dengan apa yang baru saja terjadi.
Wanita paruh baya itu mengerjapkan matanya. Perasaan lega yang luar biasa tiba-tiba menyelimutinya, membuat air matanya hampir menetes.
Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia bangkit berdiri. Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke dispensernya, menuangkan segelas air putih, dan menyodorkannya pada Joko.
"Di-diminum dulu, Nak... biar tenang," ucapnya dengan suara terbata, tatapannya pada Joko kini bercampur antara rasa takut, bingung, dan secercah kekaguman yang luar biasa.
Joko menerima gelas itu dengan tangan yang juga masih sedikit gemetar. Ia meneguknya hingga habis, air dingin itu seolah menjernihkan pikirannya yang masih kacau oleh kejadian barusan.
Setelah keheningan sesaat, si ibu memberanikan diri untuk bertanya. Suaranya terdengar seperti bisikan.
"Nak... tadi itu... apa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa... kenapa warung ini tiba-tiba terasa... berbeda?"
Joko menatap si ibu. Ia melihat ketakutan dan harapan di mata wanita itu. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa ia baru saja memusnahkan segerombolan makhluk gaib dengan mantra yang bahkan ia sendiri tidak tahu asalnya dari mana?
Ia memilih jawaban yang paling sederhana dan menenangkan. Ia menatap lurus ke mata si ibu dengan tatapan yang dewasa, tatapan yang membuat si ibu merasa aman.
"Ada 'gangguan' di sini, Bu," kata Joko pelan. "Tapi mereka sudah pergi. Yang penting, warung Ibu sekarang sudah aman."
Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua
Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany
Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru
Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s
Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b
Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me