LOGINAcara makan siang berlangsung selama 15 menit, setelah itu semua orang kembali ke kereta dan melanjutkan perjalanan. Distrik berikutnya adalah Distrik Latti.
“Distrik ini menjadi sentra wisata kain tenun.”
Setiap rumah pasti memiliki alat tenun masing-masing. Juga, mereka memiliki halaman depan atau belakang yang luas yang diperuntukkan untuk menjemur kain-kain hasil tenunan mereka.
“Jika kalian membutuhkan kain tenun, kalian bisa membelinya di distrik ini. Hampir semua orang bisa menenun. Kalian juga bisa belajar di sini. Distrik ini dinamakan Distrik Latti.”
Bahkan siang yang cerah pun tidak mengurangi semangat ibu-ibu yang sedang mengangkat kain jemuran mereka.
20 menit disuguhkan halaman rumah warga yang luas, Distrik Latti pun berlalu. Kini kereta tur memasuki Distrik Gilleo, pusat kota yang dibanggakan sebagai Distrik Kumuh. Meskipun pada dasarnya, DK terbagi menjadi 8 bagian.
“Kita akan ke pusat kota. Kalian harus tahu kalau pusat kota dipisahkan dengan Sungai Joa yang luas.”
Jalanan yang lebar menjadi jalan utama menuju ke pusat kota. Dari jarak sekilo, mereka sudah bisa melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit. Hologram pun menyala di luar gedung. Kontras yang terlihat jelas dengan distrik lainnya.
Memasuki distrik disambut oleh banner hologram selamat datang. Masih dengan semua kendaraan umum dan tidak ada kendaraan pribadi, Distrik Gilleo menjadi distrik paling sibuk. Semua penumpang bisa melihatnya, aktivitas di dalam distrik.
Kendaraan patroli polisi, bus yang mengantar karyawan, gerombolan peneliti berjas putih yang berjalan di pinggir jalan, beberapa kafetaria yang ramai. Distrik yang terasa sangat hidup.
“Di depan kita adalah gedung Departemen Pengawas Distrik Kumuh (DPDK). Semua orang menganggap pekerjaan mereka adalah yang paling terberat di Distrik Kumuh karena mereka harus selalu merespon panggilan darurat dari siapapun. Jika diantara kalian mengalami kejadian mengerikan atau melihat tindakan kejahatan kalian bisa melapor ke mereka dengan menghubungi ke 88-99-00.”
Bangunan yang menjulang tinggi dengan lantai mencapai 50, jumlah karyawan yang bekerja di sana pun lebih dari 200 orang. Tidak semuanya petugas lapangan, karena masih ada petugas kantor yang bertugas memantau seluruh distrik.
Satu mobil patroli melintas membawa lima orang di dalamnya, berjalan berlawanan dengan kereta tur. Reina hanya menatap mereka, memperhatikan warna seragam hitam mereka.
Kereta tur terus berjalan, melewati beberapa fasilitas lainnya. Lab penelitian yang besar, rumah sakit yang menjulang tinggi, pos polisi di setiap sudut, beberapa gedung perkantoran.
“Di sudut distrik ini masih dalam tahap perbaikan, kemungkinan kita bisa menikmati seluruhnya adalah tiga bulan lagi. Kalian bisa memantaunya lewat aplikasi Distrik Kumuh.”
Butuh waktu 15 menit untuk mengelilingi Distrik Gilleo hingga akhirnya kereta keluar dan kembali melintasi jembatan menuju distrik Kristal.
Tur pun selesai.
“Ah benarkah? Aku akan segera kesana. Dia pasti cantik, kan?”
Banyak suara di sekitar Reina, namun yang paling dominan suara laki-laki yang merusak suasana makan siangnya. Pria itu berjalan menjauh bersama satu teman prianya. Dari tempat pemberhentian, mereka berjalan ke kiri, terus lurus mengikuti jalan raya.
Reina menggelengkan kepalanya pelan, mengingatkan pada dirinya sendiri.
---Jangan mulai. Kita hanya akan hidup damai di tempat ini.
“Kemana kita selanjutnya?” suara Iza menginstruksi.
“Paman memintaku untuk membeli hape. Apa kau punya toko rekomendasi?” Reina berjalan di samping Iza, memperhatikan jalan gang perumahan yang luas.
Iza tersenyum. “Saya punya. Kita akan langsung ke sana?”
“Ya.”
-o0o-
Begitu selesai membeli ponsel baru, mereka pulang. Keadaan yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya, rumah kacau. Hanya ada satu pelayan yang mondar mandir di depan rumah, Kali.
“Ibu? Kenapa di depan pintu?” Iza yang tidak tahu apapun malah ikut khawatir. Sedangkan wanita paruh baya itu secara tiba-tiba bersujud di bawah kaki Reina.
“Maaf! Maaf, Nona! Maafkan kami! Mohon beri kami ampunan!” pekiknya dengan keringat dingin. Dia bergeming ketika Iza mencoba membuatnya kembali berdiri. Kali masih kukuh bersujud.
---Apalagi ini?
Reina ikut berjongkok, memegang pundak wanita itu. “Angkat kepalamu, Bi. Katakan apa yang terjadi.”
Dengan berderai air mata dan tubuh yang bergetar, Kali memberanikan diri menatap wajah tuannya. “Nyonya diculik, nona,” lirihnya.
“Iza, bawa ibumu masuk. Kita bicarakan di dalam.”
.
.
---Aku lupa, fakta kalau aku tidak sendirian di tempat ini. Dan, juga...
Kali menjelaskan kalau Ruri diculik oleh beberapa orang yang membawa mobil. Kejadiannya setengah jam yang lalu. Sebelumnya, Ruri memang ingin berkeliling sebentar di luar gerbang, namun dia tiba-tiba di dekati oleh seorang wanita berambut keriting. Rekan wanita itu mengendap-endap di belakang Ruri kemudian menutup hidungnya dengan sapu tangan.
Begitulah Ruri dibawa kabur oleh para penculiknya.
“Oni dan Master sedang mengejar mereka. Sekali lagi, maaf.” Kali berlutut di depan Reina yang duduk di sofa. Bahkan Iza ikut berlutut di sampingnya.
Sekarang adalah jam 1 siang. Jika mereka tidak mampir ke toko, mungkin Ruri tidak akan diculik. Lalu, siapa orang yang berani melakukannya?
“Apa paman sudah dihubungi?”
Kali mengangguk. “Sudah, Nona. Beliau mengatakan akan membantu dari tempat kerja karna beliau baru diijinkan pulang jam 2 siang nanti.”
“Iza, tuliskan nomor paman ke hapeku.” Reina menyodorkan ponsel barunya. “Dan, kau, Bibi, minta mereka yang mencari untuk pulang sekarang.”
“Baik.” Mereka berdua menjawab bersamaan.
Iza dengan cekatan menuliskan nomor hape Argi lalu mengembalikan ponsel ke Reina. Dia juga segera membantu menghubungi Oni saat Kali menghubungi Master.
Reina hanya mengirim pesan singkat pada Argi dengan mengatakan: Serahkan padaku, paman. Aku pastikan bibi sudah kembali saat kau pulang nanti.
.
Semua orang berkumpul kecuali Argi. Masing-masing dari mereka yang mencari tidak mendapatkan banyak informasi.
“Mobil yang membawanya berwarna putih, Nona,” ucap Oni. “Jika anda tidak meminta kami kembali, kami pasti bisa menemukannya,” sambungnya dengan sengaja.
Iza yang ada di dekatnya, menampar pundak laki-laki itu dengan keras, mencoba memperingatkannya untuk menjaga kalimatnya. Namun yang didapatinya hanya tatapan tidak suka dari Oni.
“Mau kalian lanjutkan sekalipun, kalian tidak akan bisa menemukannya.” Reina mengadahkan tangannya. “Master, berikan padaku.”
Master yang berlutut di depannya menyerahkan sebuah gelang berwarna merah. “Saya rasa itu milik wanita yang mengajak nyonya bicara. Gelang itu terjatuh di dekat lokasi kejadian.”
“Nona, kita harus melacaknya dengan cctv. Mereka pasti belum jauh.” Oni kembali menyahut. Dia dengan keoptimisannya dan kelogisannya, bertekad untuk menemukan tuannya.
“Tidak.” Reina berdiri, mengantongi ponsel dan gelang itu bersamaan. “Master, ikut aku. Kita jemput bibiku.”
.
Master membawa mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia masih belum yakin dengan tujuan nona mudanya itu. Yang bisa dibilang tidak mungkin mereka bisa menemukannya di sana.
“Nona, saya rasa mungkin bukan di sana tempatnya, karena terlalu jauh.” Sesekali menatap spion tengah, memeriksa Reina yang duduk di belakang menatap ke luar jendela.
“Kita akan tahu saat sudah ada di sana.” Reina menjawab acuh. Dia hanya memandang pemandangan yang terus berganti di luar mobil.
Master pun tidak bertanya lagi. Fokus pada jalanan di depannya. Distrik Tama masih 20 menit lagi untuk tiba di sana. Entah apa yang akan menunggu mereka di sana, master tetap akan menjalankan tugasnya.
“Master, saat kejadian itu kemana perginya dua penjaga rumah?”
“Satu orang bersama tuan dan satunya bersama–” ucapan itu tertahan.
Semua orang terlalu panik karena nyonya mereka menghilang, namun mereka tidak menyadari satu orang lagi yang juga tidak terlihat.
“Aku berharap dia tidak terlibat, tapi sepertinya itu mustahil. Bibiku bicara dengan seorang wanita berambut keriting, lalu ada seseorang lagi yang membiusnya. Menurutmu kenapa dia berani bicara dengan orang asing?”
“...Karena orang yang dikenal ada di dekatnya,” lirih master.
Reina mengangguk. “Kalau di tempat yang kita kunjungi nanti, dia ada di sana atau bahkan dia bersandiwara seperti korban, abaikan saja, master.”
Melirik sekilas ke arah spion kiri sebelum membelokkan mobil ke jalanan yang lebih kecil. “Apa anda merasa simpati? Bukankah anda terlalu baik, Nona?”
Reina justru tertawa pelan. Otot-otot tegangnya mulai sedikit longgar, dia bisa kembali dengan senyum yang diperlihatkannya sepanjang hari. Master yang melihatnya ikut tersenyum. Anak muda selalu terlihat semakin muda ketika mereka tersenyum.
“Aku tidak sebaik itu, master.”
-o0o-
Dua orang berdiri di depan sebuah gudang yang ada di belakang deretan gedung tinggi. Tidak ada orang yang berjaga atau melintas, bangunannya pun tidak terlihat terawat dengan baik.
Master memegang gagang pintu lalu mendobraknya. Suara pekikan tertahan terdengar samar dari dalam gudang yang gelap.
“Bibi, apa kau di dalam?” Reina berdiri di ambang pintu.
“Reina...Jangan ke sini! Kembalilah!”
Reina menyenggol master dengan sikunya, memintanya masuk lebih dulu. Master menyalakan saklar lampu yang ada di dekat pintu. Satu lampu yang ada di sudut ruangan menyala temaram lalu di ujung ruangan, diantara tumpukan kardus di kanan kiri tembok, seorang wanita duduk dengan keadaan tubuh terikat di kursi dan baju yang basah.
Keadaannya sangat kacau, seakan dia baru saja diguyur air seember. Kedua tangannya terikat ke belakang, kedua kakinya diikat ke kursi kursi.
Reina bergegas mendekat, sedangkan master kembali menutup pintu gudang. Dia mendekat, memperhatikan bibinya yang sudah berantakan.
“Pergilah. Mereka bisa menangkapmu,” isaknya.
Tidak semua orang mendapatkan simpati darinya, tapi beda lagi kalau Ruri. Wanita yang hampir mirip dengan ibunya.
“Bibi, tenanglah.” Dia lebih dulu melepas tali di kedua kaki Ruri. Dia tidak peduli meskipun Ruri menyuruhnya untuk pergi. Berganti melepas tali di belakang kursi yang sudah membekas biru pada kedua tangan itu.
Suara samar terdengar dari luar gudang. Suara dengan nada yang berbeda. Reina mengisyaratkan untuk master bersembunyi di belakang pintu. Master yang paham, mengangguk.
Reina sedikit membungkukkan punggungnya, berbisik. “Bibi, jangan bicara, ok?”
Ruri menatap dengan ekspresi takut dan hanya bisa mengangguk.
BRAKKK–
“Mendengar namanya saja aku sudah merasa bersalah.”Celi menundukkan kepalanya, pipi kanannya lebam. Setelah membiarkan Reina masuk, gadis itu benar-benar menamparnya dengan keras. Namun, Celi tidak memiliki keberanian untuk membalasnya.“Apa kau tidak mau kirim pesan?” Reina yang duduk di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit lab yang tinggi dan lampu gantung yang cantik.“Dia akan lebih kecewa kalau aku masih hidup,” sesal Celi. Dia semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Aku pergi begitu saja meninggalkannya dengan nenek. Aku...bukan ibu yang bertanggung jawab.”Huff...Reina berdiri, melangkah pergi. “Aku akan kembali lagi besok.”Membahas tentang Yoga -anak Celi- justru membuka luka lamanya lagi. Wanita itu terlihat banyak menyimpan luka masa lalu bahkan setelah belasan tahun pergi dari kota terkutuk itu.---Maaf, Yoga.-o0o-Reina mencoba menyelesaikan misi itu dengan sedikit bantuan dari Alistair. Dia memanfaatkan pria itu untuk memberitahunya arah. Meskipun begitu,
Mau dicoba berapa kali pun, Celi masih tidak ingin membukakan pintu untuknya. Perkembangan terakhir, Celi sudah mau bicara walaupun dari intercom yang dipasangnya di dekat pintu.“Kau tidak perlu ke sini lagi, Reina. Kehidupanmu sudah lebih baik, jadi berhenti mencari tahu tentang masa lalumu.”Reina yang berdiri di dekat pintu, berbalik membelakangi intercom. Dia memandang halaman hijau di depannya. “Kalau kau hidup, berarti dia juga masih hidup, kan? Kenapa kau tidak mengirimku pesan?”“...”“Aku tidak datang untuk menyalahkanmu. Aku justru bersyukur kalian masih hidup. Itu saja, aku pergi.”Celi tidak membalas apapun. Dia membiarkan Reina pergi seperti sebelumnya. Meskipun Reina tidak bilang kalau dia tidak dendam, namun efek dari masa lalu membuatnya berpikir kalau Reina masih menyimpan dendam padanya.---Reina, harusnya aku yang bicara seperti itu.-o0o-Selesai dengan misi timnya, Reina mencoba untuk menyelesaikan misi yang hanya muncul di ipadnya itu. namun, karena keterbatasan
Aku belum tahu ini.Reina termenung di depan TV, mengabaikan siaran di depannya. Setelah menyerahkan kotak perban ke gedung dewan pengawas, Reina memutuskan untuk pulang. Dia masih terkejut dengan kemunculan Celi yang dulu pernah merawatnya dan saat pulang dia tidak menemukan Argi untuk menjawab pertanyaannya.Ponsel di sebelahnya diambil dan langsung mencari nama ‘Celi’ di daftar pencarian otomatis. Cukup sulit menemukan artikel dengan nama itu kalau pun ada hanya ada satu artikel dan hanya ada satu kalimat yang membahas tentangnya.[Seorang peneliti sekaligus dosen, Celi, berhasil menciptakan sebuah perban yang dapat mengobati luka pada orang-orang yang tidak bisa menerima kekuatan penyembuhan.]“Master, apa kau tahu orang yang namanya Celi?”Master yang sedang membantu merapikan susunan kotak berhenti sejenak sebelum menjawab. “Celi? Saya rasa saya baru mendengarnya.”“Baiklah.”Master mengangguk dan kembali ke kegiatannya.Reina melanjutkan scroll media sosial, mencari nama yang s
Tersangka segera diamankan begitu TKP terungkap. Terbukti di dalam rumah terdapat tiga wanita dengan keadaan memprihatikan. Luka lebam dan luka kering terlihat jelas di tubuh mereka.Zhao dan Ken mengelilingi TKP sedangkan Reina dilarang mendekat karena bau alkohol yang terlalalu menyengat. Dia terlalu muda untuk mencium bau alkohol.Reina ditinggal di dalam mobil sendirian sambil menunggu yang lainnya selesai. Sekali lagi Reina membaca misi yang hanya muncul di ipadnya. Tanpa perlu diperbaruhi, misi itu sudah berganti warna dari putih menjadi abu-abu. Sedangkan misi yang sudah lewat tiga bulan akan berwarna merah.Hampir semua distrik memiliki misi masing-masing, lalu misi yang diselesaikan hari ini juga terhubung dengan satu misi yang lainnya. Namun misi itu berada jauh dalam jangkauannya.“Kita akan pindah tempat.”-o0o-“Akhir-akhir ini banyak sekali pesanan perban dari gedung dewan, ya.”Seorang wanita dengan jas putih memeluk keranjang berisikan gelas ukur yang baru saja kering.
Zhao memandang Reina sekilas sebelum mengalihkan wajahnya.Tiba di lokasi, mereka diminta untuk menangani kasus wanita hilang. Penyelidikan sudah dilakukan dan belum ada informasi lebih lanjut dari pihak ketiga. Dilaporkan sekitar 5 wanita menghilang dalam tiga bulan terakhir. Banyak pihak yang melaporkan adanya aktivitas aneh di pinggiran Distrik Kristal. Dalam laporan mengatakan kalau ada laki-laki yang baru pindah di sebuah rumah, dia dicurigai menjadi orang terakhir yang berkomunikasi dengan korban. Namun para tetangga tidak mendapati apapun ketika mendekati rumahnya.Mobil terus bergerak pelan dijalanan perumahan. Semua rumah terlihat sama dengan cat putih keruh dan garasi tunggal. Tidak ada aktivitas apapun, mengingat kompleks perumahan selalu dihuni oleh para pekerja. Jalanan sepi, tidak ada satu orang pun keluar rumah.“Bagaimana cara kita menemukan pelakunya, pak?” Ken memarkirkan mobilnya di bawah pohon yang rindang.Mereka tidak diijinkan turun oleh Pin, mengingat mereka ha
Sidang itu ditutup setelah penjelasan tentang ipad yang harus dibawa Reina. Gadis yang menerima ipad hanya bisa mengangguk sambil berusaha menerima semua penjelasan itu.“Kau masih bingung?” Gavin membuka pembicaraan setelah beberapa saat mereka meninggalkan ruang sidang. Dia berjalan bersampingan dengan Reina yang diam memeluk ipad itu.---Memangnya ipad apa itu?Reina menoleh, tersenyum. “Saya akan pelajari malam nanti. Bagaimana dengan tim baru saya?”“Kau pasti pernah bertemu dengannya. Namanya Ken. Kau kenal dia, kan? Kau akan satu tim dengannya.” Gavin mengantar Reina ke lobby gedung. “Untuk hari ini pulanglah, besok kau bisa mulai bekerja lagi. Tapi kali ini kau hanya bisa mengambil kerja paruh waktu hari sabtu-minggu.”“Baik, terima kasih.”Begitu Gavin pergi, Reina pun ikut pergi. Tujuannya adalah Kafe Kita. Masih ada hari ini untuk ijin berhenti bekerja. 15 menit perjalanan, Reina tiba di depan Kafe Kita yang selalu ramai.Reina masuk barengan dengan pengunjung lainnya. Dia