LOGINBRAKKK–
Pintu terbuka dengan kasar. Reina menegakkan punggungnya, tidak beranjak sedikit pun dari belakang kursi. Tugasnya melepas tali sudah selesai.
Seorang laki-laki perawakan tinggi, besar, menoleh dan melebarkan kelopak matanya. “Nyonya! Nona! Apa yang kalian berdua lakukan di sini?”
Dia menutup pintu kemudian berjalan mendekati dua wanita di sudut ruangan. Ruri tidak berani mengangkat wajahnya, senantiasa menunduk dengan pundak gemetar.
“Tempat ini bahaya untuk kalian berdua. Saya akan antar kalian pulang.” Dia berhenti di depan Ruri jarak tiga langkah, mengulurkan tangannya.
Dari arah belakang, tanpa dia sadari Master sudah mendekat dengan tangan kanan siap memukulnya. Gerakan tanpa menimbulkan suara, serta keberadaan yang tidak terasa hingga lawannya bahkan tidak sadar ada orang di belakangnya.
Master mengayunkan tangannya tepat di belakang kepala laki-laki itu. Pukulan yang cukup untuk membuatnya jatuh tidak sadarkan diri. Ruri yang menyadari laki-laki itu tumbang di dekat kakinya, spontan mengangkat kedua kakinya bahkan menggeser tubuhnya.
Pintu kembali terbuka, kali ini suara wanita terdengar.
“Kenapa lama sekali, Pak–” dia berhenti tepat di ambang pintu. Wajahnya terlihat penuh keterkejutan melihat master yang menatapnya dengan sudut matanya, rekan laki-lakinya yang terkapar, gadis remaja yang juga menatapnya, dan korbannya yang menatap ke arah lain.
Master menggerakkan tubuhnya untuk menangkap wanita itu. Bersamaan dengan itu, wanita itu terkena serangan panik dan segera meninggalkan tempat.
“Jangan dikejar, master. Biarkan saja.” Reina menginstruksi sebelum master keluar dari gudang.
Laki-laki paruh baya beruban itu menoleh, menatap nona mudanya yang sedang menenangkan nyonya.
“Kita pulang sekarang. Bawa juga laki-laki itu, kita pikirkan setelah pulang ke rumah.”
-o0o-
Wajah panik Argi terlihat jelas tanpa kacamata kotaknya. Melihat istrinya yang sangat kacau membuatnya ikut merasa sakit. Dia membantu istrinya masuk ke dalam kamar. Semua orang yang menunggu bernapas lega. Kali membantu tuannya memapah Ruri ke dalam kamar, sedangkan Iza bergegas membuatkan sesuatu yang hangat.
Sedangkan, Reina memilih mengantar sampai depan pintu. Begitu pintu tertutup, dia berbalik.
“Oni dan kau, pindahkan barang dari bagasi mobil ke ruangan bawah.”
“Baik.”
Selagi mereka pergi, Reina pindah ke sofa ruang tamu, ditemani master yang berdiri tidak jauh dari sofa. Senantiasa memandang pintu kamar yang tertutup. Argi dan Ruri memilih kamar bawah dan membiarkan Reina menempati lantai dua sepenuhnya.
---Gemuruh di dadaku. Apa ini amarah?
Master melirik sekilas, memperhatikan Reina yang sedang memegang ponsel barunya. “Mereka pasti terkejut, nona. Apa perlu saya ikut membantu?”
“Tidak. Biarkan saja mereka.”
“Baik, nona.” Master mengangguk dengan seulas senyum.
Meskipun masih ada banyak pertanyaan di kepalanya, namun dia juga tidak bisa mengatakannya secara bebas. Dia harus melihat kapan kesempatan bertanya itu datang.
Kali keluar dari kamar, menuju ke dapur yang mana Iza sudah siap dengan segelas teh hangat. Kali pun kembali masuk kamar. Oni dan satu penjaga sudah kembali, tanpa mengatakan apapun.
Reina hanya melirik sekilas, wajah mereka yang tanpa ekspresi. “Kalian sudah mengunci pintunya?”
“Saya bahkan mengikatnya di tiang,” jawab Oni dengan lantang.
Reina yang mendengarnya hanya tersenyum. Dia lalu menoleh ke arah Iza yang keluar dari dapur. “Iza, apa kau punya botol bekas?”
Iza yang diajak bicara mengangkat wajahnya. “Bagaimana dengan ukuran besar? Masih tersisa dua.”
“Boleh, bawa ke sini. Isi dengan air setengah saja,” jawab Reina sambil meletakkan ponselnya.
“Air? Nona akan meminumnya?” Iza mengangkat alisnya bingung.
Reina menggeleng. “Ya? Dua-duanya isi setengah saja.”
Meskipun tidak mengerti, Iza tetap menjalankannya, kembali ke dapur. Tak berselang lama, dia muncul dengan dua botol air. Kemunculannya bersamaan dengan Kali yang keluar kamar dan ikut menunggu di ruang tamu.
“Saya harus taruh di mana, nona?”
“Berikan ke master.” Reina menjawab enteng, sambil menunjuk laki-laki di sisi kanannya.
Master yang tidak mengerti hanya bisa menerimanya dengan wajah bingung. Dia meletakkan botol itu didekat kakinya. Berharap Reina mau menjelaskannya, namun itu tidak terjadi. Dia justru mengatakan hal aneh lainnya.
“Kita akan pergi lagi setelah ini, master. Jadi jangan lupakan botol itu.”
Master mengangkat alisnya bingung. “Kemana, nona?”
Pintu kamar terbuka. Argi keluar, meninggalkan Ruri yang sedang menenangkan diri. Dia menatap Reina yang juga sedang menatapnya, bahkan penghuni rumah lainnya juga menatapnya khawatir. Dia seakan ingin tahu apa yang terjadi pada Ruri, meskipun dia pasti sudah tahu garis besarnya.
Argi mengambil duduk di sofa panjang, menjaga jarak dengan Reina. “Dia bilang pelakunya memakai baju merah dan celana jeans. Wanita rambut keriting yang waktu itu juga ada di sana.”
Reina mengaitkan jari jemarinya, memandang ke bawah. “Apa saja yang bibi terima?”
Argi menarik kepalanya ke belakang sambil memejamkan matanya. Kedua tangannya mengepal, mencoba menahan diri dengan sisa kesabarannya. “Pipinya lebam, pelipis dan bibirnya berdarah, tangan-kakinya biru—”
Dia menahan kalimat terakhirnya. Rangkaian kata yang sangat menyakitkan untuk dikatakan. Dia bahkan sampai meletakkan lengan kirinya menutupi wajahnya.
“Ada bekas merah di lehernya, seperti gigitan seseorang. Pakaiannya juga robek di bagian depan,” sambungnya dengan susah payah.
Mereka yang mendengarnya bisa membayangkan apa yang terjadi pada nyonya mereka. Tatapan prihatin tersorot di mata mereka, bahkan Iza sudah berkaca-kaca.
“Apa bibi mendengar sesuatu yang lain?” Reina bertanya lirih.
“Laki-laki itu bilang kalau dia akan berkumpul dengan yang lainnya malam nanti di tempat biasa mereka berkumpul. Wanita rambut keriting itu juga akan menyusul,” hela Argi. Kembali meluruskan wajahnya, menatap sofa tunggal yang berseberangan dengannya.
Reina tiba-tiba berdiri, menggenggam ponselnya. “Aku akan pergi sekarang. Ayo, master.”
Semua orang secara serempak mengikuti pergerakkannya. Oni bahkan mengerutkan alisnya. Master yang hanya bisa mengikutinya, membawa serta dua botol yang diminta Reina.
---Apa yang mau dia lakukan disaat semua orang sedang bersedih?
Argi ikut menoleh, memperhatikan. “Reina, kau tidak boleh membunuh mereka.”
Reina seketika berhenti. “Apa aku terlihat seperti akan melakukannya?”
“Ya.” Argi menjawab tegas. “Kita baru tinggal di sini dua hari. Tempat ini berbeda dengan sebelumnya. Kau tidak bisa sebebas itu di sini.”
Bahkan tanpa dijelaskan pun mereka yang mendengarnya menyimpulkan hal yang sama. Dan pertanyaan mereka hanyalah satu, siapa itu Reina. Gadis yang terlihat lemah itu, dikhawatirkan membunuh orang oleh orang dewasa yang lebih kuat darinya.
“Yah, aku juga tidak ingin mengotori tanganku dengan darah para sampah. Jadi, jangan khawatir.” Setelah mengatakan itu, Reina kembali berjalan, keluar dari rumah.
Argi menahan napas, beralih menatap master yang bersiap menutup pintu. “Master, tolong jaga dia.”
Master tersenyum penuh arti. “Baik. Sesuai dengan perintah anda, tuan.”
-o0o-
Mobil hitam melesat cepat di jalanan, menyalip banyak kendaraan untuk segera sampai di tempat tujuan. Penumpang yang duduk di tengah, memangku dagunya menatap ke luar jendela. Sorot matanya jauh lebih gelap dibandingkan sebelumnya meskipun dua warna mata yang berbeda itu sangat cantik.
“Kita akan sampai 10 menit lagi, nona.”
Reina hanya berdeham. Teringat akan sesuatu yang sudah disiapkannya, dia mengulurkan tangannya mengambil dua botol air yang diletakkan di bawah jok mobil. Membuka satu botol kemudian menuangkan tiga plastik cabai bubuk, dua bungkus merica bubuk, dan dua bungkus perasan jeruk nipis.
“Master, di mobil ini apa ada semacam tongkat?” Reina menutup botol kemudian mengoyang-goyangnya agar semua bahan tercampur.
Master melirik dari spion tengah, sekilas dia memperhatikan cairan merah menyala yang ada di tangan nona mudanya.
“Tongkat? Sepertinya hanya ada tongkat listrik. Tapi itu terlalu berbahaya, nona.”
“Aku akan memakainya dengan hati-hati. Kau letakkan di mana?”
Dengan satu tangan, Master mengendalikan setir mobil. Dia memakai tangan kanannya membuka dashboard di sampingnya. Tongkat listrik sepanjang 60cm berpindah tangan ke Reina.
“Tolong berhati-hatilah. Tongkat itu sangat berbahaya.” Sekali lagi, master menasehati. Dari matanya, Reina itu gadis yang mudah penasaran akan sesuatu. Tongkat di tangannya pun mulai bersinar redup karena dia menekan tombol listriknya.
Puas dengan barang di tangannya, Reina meletakkan tongkat di sebelah botol dan bersiap untuk tiba di lokasi.
Distrik Gilleo, kawasan terbengkalai yang akan diubah menjadi kawasan pertokoan, saat ini tidak ada kehidupan atau bahkan lalu-lalang kendaraan berat. Kondisi yang sama persis seperti yang dikatakan oleh pemandu tur saat itu. Tempat yang pas untuk bersembunyi dan berkumpul.
Master memarkirkan mobilnya di bawah kanopi sebuah rumah yang tidak berpenghuni. Tanpa menunggu dibukakan pintu, Reina sudah lebih dulu turun. Dia, dua botol, dan satu tongkat listrik dipelukannya, berjalan mendahului memasuki gang.
“Nona, tolong pakai ini.” Master buru-buru mengejar. Dalam dekapannya, dia membawa dua jubah hitam dan sebuah kacamata hitam.
Tanpa bertanya, Reina menerimanya dan memakainya. Dia menukar barang itu dengan botol yang dipegangnya.
“Apapun yang mereka katakan, kau diam saja, Master.”
Tempat yang akan mereka tuju adalah sebuah gudang kosong. Dari deretan rumah-rumah yang akan dihancurkan, ada beberapa gudang milik pemerintah yang masih kosong. Rencananya akan digunakan untuk menyimpan barang-barang proyek.
Dari beberapa gudang yang mereka lewati, Reina berhenti di gudang ke tiga. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan sama sekali. Bahkan satu warga pun tidak nampak, kawasan itu terlihat mati.
Reina mendorong pintu masuk. Layaknya gudang kosong, tidak ada apapun kecuali lampu di tengah ruangan, satu kursi yang entah dari mana dan dua orang dewasa. Satu laki-laki dan satu lagi wanita berambut keriting.
“Wah, lihat. Siapa yang mengunjungi kita hari ini? Bukankah mereka yang kau bicarakan tadi?” suara laki-laki yang tidak asing juga tidak familiar di telinga Reina. Laki-laki dewasa yang memakai jeans mengkilap dan kaos merah.
---Di masa depan, aku akan menjaga ucapanku.
“Mendengar namanya saja aku sudah merasa bersalah.”Celi menundukkan kepalanya, pipi kanannya lebam. Setelah membiarkan Reina masuk, gadis itu benar-benar menamparnya dengan keras. Namun, Celi tidak memiliki keberanian untuk membalasnya.“Apa kau tidak mau kirim pesan?” Reina yang duduk di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit lab yang tinggi dan lampu gantung yang cantik.“Dia akan lebih kecewa kalau aku masih hidup,” sesal Celi. Dia semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Aku pergi begitu saja meninggalkannya dengan nenek. Aku...bukan ibu yang bertanggung jawab.”Huff...Reina berdiri, melangkah pergi. “Aku akan kembali lagi besok.”Membahas tentang Yoga -anak Celi- justru membuka luka lamanya lagi. Wanita itu terlihat banyak menyimpan luka masa lalu bahkan setelah belasan tahun pergi dari kota terkutuk itu.---Maaf, Yoga.-o0o-Reina mencoba menyelesaikan misi itu dengan sedikit bantuan dari Alistair. Dia memanfaatkan pria itu untuk memberitahunya arah. Meskipun begitu,
Mau dicoba berapa kali pun, Celi masih tidak ingin membukakan pintu untuknya. Perkembangan terakhir, Celi sudah mau bicara walaupun dari intercom yang dipasangnya di dekat pintu.“Kau tidak perlu ke sini lagi, Reina. Kehidupanmu sudah lebih baik, jadi berhenti mencari tahu tentang masa lalumu.”Reina yang berdiri di dekat pintu, berbalik membelakangi intercom. Dia memandang halaman hijau di depannya. “Kalau kau hidup, berarti dia juga masih hidup, kan? Kenapa kau tidak mengirimku pesan?”“...”“Aku tidak datang untuk menyalahkanmu. Aku justru bersyukur kalian masih hidup. Itu saja, aku pergi.”Celi tidak membalas apapun. Dia membiarkan Reina pergi seperti sebelumnya. Meskipun Reina tidak bilang kalau dia tidak dendam, namun efek dari masa lalu membuatnya berpikir kalau Reina masih menyimpan dendam padanya.---Reina, harusnya aku yang bicara seperti itu.-o0o-Selesai dengan misi timnya, Reina mencoba untuk menyelesaikan misi yang hanya muncul di ipadnya itu. namun, karena keterbatasan
Aku belum tahu ini.Reina termenung di depan TV, mengabaikan siaran di depannya. Setelah menyerahkan kotak perban ke gedung dewan pengawas, Reina memutuskan untuk pulang. Dia masih terkejut dengan kemunculan Celi yang dulu pernah merawatnya dan saat pulang dia tidak menemukan Argi untuk menjawab pertanyaannya.Ponsel di sebelahnya diambil dan langsung mencari nama ‘Celi’ di daftar pencarian otomatis. Cukup sulit menemukan artikel dengan nama itu kalau pun ada hanya ada satu artikel dan hanya ada satu kalimat yang membahas tentangnya.[Seorang peneliti sekaligus dosen, Celi, berhasil menciptakan sebuah perban yang dapat mengobati luka pada orang-orang yang tidak bisa menerima kekuatan penyembuhan.]“Master, apa kau tahu orang yang namanya Celi?”Master yang sedang membantu merapikan susunan kotak berhenti sejenak sebelum menjawab. “Celi? Saya rasa saya baru mendengarnya.”“Baiklah.”Master mengangguk dan kembali ke kegiatannya.Reina melanjutkan scroll media sosial, mencari nama yang s
Tersangka segera diamankan begitu TKP terungkap. Terbukti di dalam rumah terdapat tiga wanita dengan keadaan memprihatikan. Luka lebam dan luka kering terlihat jelas di tubuh mereka.Zhao dan Ken mengelilingi TKP sedangkan Reina dilarang mendekat karena bau alkohol yang terlalalu menyengat. Dia terlalu muda untuk mencium bau alkohol.Reina ditinggal di dalam mobil sendirian sambil menunggu yang lainnya selesai. Sekali lagi Reina membaca misi yang hanya muncul di ipadnya. Tanpa perlu diperbaruhi, misi itu sudah berganti warna dari putih menjadi abu-abu. Sedangkan misi yang sudah lewat tiga bulan akan berwarna merah.Hampir semua distrik memiliki misi masing-masing, lalu misi yang diselesaikan hari ini juga terhubung dengan satu misi yang lainnya. Namun misi itu berada jauh dalam jangkauannya.“Kita akan pindah tempat.”-o0o-“Akhir-akhir ini banyak sekali pesanan perban dari gedung dewan, ya.”Seorang wanita dengan jas putih memeluk keranjang berisikan gelas ukur yang baru saja kering.
Zhao memandang Reina sekilas sebelum mengalihkan wajahnya.Tiba di lokasi, mereka diminta untuk menangani kasus wanita hilang. Penyelidikan sudah dilakukan dan belum ada informasi lebih lanjut dari pihak ketiga. Dilaporkan sekitar 5 wanita menghilang dalam tiga bulan terakhir. Banyak pihak yang melaporkan adanya aktivitas aneh di pinggiran Distrik Kristal. Dalam laporan mengatakan kalau ada laki-laki yang baru pindah di sebuah rumah, dia dicurigai menjadi orang terakhir yang berkomunikasi dengan korban. Namun para tetangga tidak mendapati apapun ketika mendekati rumahnya.Mobil terus bergerak pelan dijalanan perumahan. Semua rumah terlihat sama dengan cat putih keruh dan garasi tunggal. Tidak ada aktivitas apapun, mengingat kompleks perumahan selalu dihuni oleh para pekerja. Jalanan sepi, tidak ada satu orang pun keluar rumah.“Bagaimana cara kita menemukan pelakunya, pak?” Ken memarkirkan mobilnya di bawah pohon yang rindang.Mereka tidak diijinkan turun oleh Pin, mengingat mereka ha
Sidang itu ditutup setelah penjelasan tentang ipad yang harus dibawa Reina. Gadis yang menerima ipad hanya bisa mengangguk sambil berusaha menerima semua penjelasan itu.“Kau masih bingung?” Gavin membuka pembicaraan setelah beberapa saat mereka meninggalkan ruang sidang. Dia berjalan bersampingan dengan Reina yang diam memeluk ipad itu.---Memangnya ipad apa itu?Reina menoleh, tersenyum. “Saya akan pelajari malam nanti. Bagaimana dengan tim baru saya?”“Kau pasti pernah bertemu dengannya. Namanya Ken. Kau kenal dia, kan? Kau akan satu tim dengannya.” Gavin mengantar Reina ke lobby gedung. “Untuk hari ini pulanglah, besok kau bisa mulai bekerja lagi. Tapi kali ini kau hanya bisa mengambil kerja paruh waktu hari sabtu-minggu.”“Baik, terima kasih.”Begitu Gavin pergi, Reina pun ikut pergi. Tujuannya adalah Kafe Kita. Masih ada hari ini untuk ijin berhenti bekerja. 15 menit perjalanan, Reina tiba di depan Kafe Kita yang selalu ramai.Reina masuk barengan dengan pengunjung lainnya. Dia