Bik Esih tergopoh-gopoh membuka pintu karena bel pintu terus-terusan berbunyi dan terpaksa meninggalkan Aina sendirian di kamar dalam keadaan pingsan.
"Nyo-nyonya?""Kenapa lama sekali, Bik? Di mana Aina?" Ummi Widuri Tempak gusar.Wanita berhijab itu tidak tenang sejak semalam. Bayangan wajah putri semata wayangnya terus emmbayang di pelupuk mata hingga terpaksa dia datang tanpa memberi tahu suaminya."Non Aina di atas, Nyonya." Sikap Bik Esih yang mencurigakan membuat Ummi Widuri segera berlari menuju kamar terdekat.Dia pikir putrinya akan memilih tinggal di lantai satu mengingat sedang hamil muda. Ternyata semua kamar di lantai satu kosong. Saking paniknya, dia sampai lupa menanyakan pada Bik Esih di mana kamar putrinya."Nyonya, Non Aina ada di kamar atas!" ucap Bik Esih yang tiba-tiba muncul dari dapur membawa baskom berisi air dan kain kecil.Tepat saat Ummi Widuri menapakkan kakinya di anak tangga pertama, seorang bidan masuk diiringi Mang Asep."Sayang, kamu kenapa, Nak?" Ummi Widuri langsung menubruk tubuh putrinya yang tergolek lemah di atas ranjang. Matanya tertutup dengan bibir pucat dan wajah lebih tirus dari saat terakhir kali bertemu."Mohon maaf, izinkan saya periksa dulu," sela bidan Andini.Ummi Widuri terpaksa menyingkir walaupun tidak rela. Ia menatap nanar pada putri semata wayangnya yang terlihat semakin buruk setelah insiden itu. Sebagai ibu, dia merasa sangat sedih telah mengasingkan putrinya dalam kondisi seperti ini.Harusnya dia berpikir jika Aina juga terpuruk dan terkejut dengan kehamilannya. Gadis itu harus kehilangan masa depannya dan terpaksa menerima kehamilan yang diinginkan. Namun karena egois, justru dirinya menyetujui sang suami untuk membuang putrinya."Putri saya kenapa, Bu Bidan? Kenapa dia sampai pingsan?" tanya Ummi Widuri di sela-sela Isak tangisnya.Bidan Andini menghela napas panjang sebelum berbicara. Gurat kesedihan tercetak jelas di wajah wanita satu anak itu. Beberapa kali mengecek kondisi Aina, dia sangat tahu jika gadis ini menderita. Dia juga sudah tahu ceritanya dari Aina langsung sehingga dia menaruh simpati."Aina kekurangan nutrisi. Sepertinya dia juga mengalami hiper emesis sehingga kekurangan cairan. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit sekarang untuk mendapat penanganan. Puskesma sini tidak bisa rawat inap, jadi harus ke rumah sakit.""Lakukan yang terbaik, Bu Bidan," ucap Ummi Widuri.Atas saran Bidan Andini, kini Aina sudah dibawa di rumah sakit untuk mengecek kondisi kandungannya."Kandungannya cukup lemah. Saya harap Mbak Aina bersedia untuk bedrest di ruang sakit dulu." Dukter kandungan yang memeriksa kondisi Aina memberi saran."Apapun yang terbaik, Dok.""Baiklah, karena Mbak Aina mengalami mual muntah yang cukup parah, saya akan memberikan nutris melalui infus saja dulu. Tapi perlahan harus tetap mencoba untuk mekan, ya?""Insyaallah, Dokter. Terima kasih," ucap Aina lembut.Ummi Widuri terlihat sibuk menerima telepon dari suaminya sehingga tidak terlalu jelas mendengar saran dari dokter. Beberapa detik kemudian wajah wanita paruh baya itu terlihat puas."Iya, Bi. Maafkan Ummi. Tapi ini Aina masuk rumah sakit, Bi." Terdengar Ummi Widuri seperti membantah suaminya."Apapun alasannya, Abi sudah melarang Ummi menemui Aina. Pulang sekarang atau Abi sendiri yang akan menyeret Ummi pulang?" tegas Abi Hanif. Mendadak senyum di wajah Ummi Widuri luntur. Ada ketakutan tercetak jelas di wajah wanita yang selalu patuh pada suaminya itu. Sebagai istri, dia tahu betul arti kalimat ancaman suaminya barusan. Salahnya memang yang pergi tanpa pamit padahal dia jelas paham bahwa ketika seorang wanita bersuami pergi tidak pamit suamiya lantas suamiya tidak ridlo dengan kepergiannya, maka dia akan dilaknat oleh malaikat sampai kembali.Buru-buru Ummi Widuri mendekati putrinya yang bergeming menatap dirinya. Jelas sekali terlihat kesedihan pada gadis bercadar itu. Sorot matanya seperti mengatakan kalau dia butuh dukungan. Namun sebagai gadis yang dididik dengan ilmu agama yang kental, dia juga tahu kalau Umminya tak bisa membantah perintah suaminya."Maafkan Ummi, Nak. Ummi nggak bisa menemanimu di sini. Ikuti apa saran dokter, Ummi akan mendoakan mu selalu." Ummi Widuri mencium kening Aina lalu pergi setelah mengucap salam.Aian menatap pintu yang sudah tertutup dengan derai air mata. Rasa sedih yang terus meraja memicu cairan bening itu untuk terus mengalir tanpa diminta. Entah harus menyalahkan siapa atas kehamilannya ini. Aina sendiri bingung."Non, jangan menangis terus, Non. Kasihan dedek bayinya ikutan sedih di dalam sini." Bik Esih mengelus-elus perut Aina dengan lembut."Pantaskah Ai mendapat ini semua, Bik? Ai selalu berusaha patuh sama Abi dan Ummi. Tapi ... Kenapa Abi tega memperlakukan Ai seperti ini?" Lagi dan lagi air mata itu terus bercucuran."Jangan bicara seperti itu, Non. Ada Bibik dan Mamang yang akan selalu menjaga Non. Lebih baik Non fokus pada kesehatan Non agar bayi ini lahir dengan sehat. Dia anugerah dari Allah yang tidak bisa ditolak, Non. Lebih baik bersyukur dari pada terus meratapinya. Bibik yakin pasti ada hikmah dari semua ini," nasehat Bik Esih membuat Aina berangsur merasa lebih baik.Setidaknya dengan adanya Bik Esih dan Mang Asep gadis itu merasa memiliki keluarga baru. Walaupun faktanya keluarga yang selama ini begitu menyayanginya lebih memilih nama baik daripada dirinya."Terima kasih, Bik."Tiga hari setelah dirawat, Aina sudah diperbolehkan pulang. Gadis itu didorong menghinakan kursi roda oleh perawat. Sedangkan Bik Esih membawa barang-barang milik nona mudanya di belakang. Saat sampai di depan pintu, perawat membantu Aina berdiri untuk berpindah ke mobil. Namun tiba-tiba Aina merasakan ketenangan yang luar biasa ketika mencium aroma parfum seorang pria yang baru saja melewatinya masuk rumah sakit. Entah dapat dorongan dari mana Aina menoleh dan menatap pria itu yang juga menatapnya.Aina masih terbayang wajah pria yang membuat jantungnya berdetak ketika di pintu rumah sakit tadi. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi ibu tunggal bagi anaknya itu meraba dada kirinya. Detak jantung Aina tak biasa. Rasa mual yang semula sering menyiksa, mendadak hilang. Bahkan dia menginginkan makan sesuatu hanya dengan mengingat aroma yang ditinggalkan pria tak dikenal itu."Mang Asep, nanti tolong berhenti di rumah makan seafood, ya. Tiba-tiba Aina ingin makan cumi krispi," ucap Aina."Siap, Non. Laksanakan!" jawab Mang Asep sembari menyetir. Bik Esih tersenyum karena akhirnya Aina mau minta makan setelah tiga bulan ini hampir tidak ada makanan yang benar-benar masuk ke lambungnya. Karena setiap kali mencoba makan, detik itu juga langsung dimuntahkan. Mobil berbelok ke sebuah restoran seafood. Aina turun ditemani Bik Esih. Entah dapat dorongan dari mana, Aina ingin sekali makan di tempat."Bik, Ai mau makan di sini. Bibik temenin Ai makan, ya?" Bik Esih mengangguk. Apapun yang
"Hati-hati!"Suara bariton dari pria bertubuh tegap itu masuk ke rungi Aina. Spontan ia segera menegakkan tubuhnya karena merasakan sentuhan dari seorang pria tak dikenal. "Terima kasih," ujar Aina lalu membungkuk sekejap dan memilih pergi tanpa menoleh lagi. Sementara pria yang barusan menolongnya menatap kepergian Aina dan kedua tangannya yang masih di udara bergantian. Ada getaran aneh yang menjalar di sekujur tubuh pria itu. Malam hari Aina tampak gelisah dalam tidurnya. Bayangan seorang pria yang menggendong bayi mungil hadir dalam mimpinya. Lalu pria tersebut tersenyum pada Aina."Astaghfirullah!" Aina terbangun. "Ternyata aku mimpi," gumam Aina.Memikirkan apa yang ada dalam mimpinya barusan membuat jantung Aina berdetak kencang. Bayi dan pria itu, kenapa seperti nyata? Aina menatap jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Gegas Aina bangun dan ke kamar mandi. Tak berselang lama gadis itu keluar dengan wajah yang sudah segar.Aina berdiri di atas sajadah. Me
"Siapkan operasi, sekarang!" perintah dokter. "Baik, Dok."Aina yang mendengar hanya bisa pasrah. Tak peduli apapun caranya, yang penting bayi dan kandungannya bisa lahir dengan selamat. Sembari berdoa dalam hati, ia memasrahkan urusannya ini pada Allah. "Keluarga Nyonya Ainun!" Seorang perawat memanggil.Mang Asep dan Bik Esih segera mendekat. "Kami, Sus. Apa bayinya sudah lahir?" tanya Bik Esih dengan tatapan cemas."Belum. Bayinya terlilit tali pusat dan membutuhkan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan dari pihak keluarga. Apa suaminya sudah datang?" tanya perawat itu.Bik Esih dan suaminya saling pandang. Mereka menelan ludahnya yang sama-sama terasa susah. Bik Esih meminta pendapat suamiya memalui tatapan mata."Suaminya sedang di luar negeri, Sus. Tidak memungkinkan untuk datang sekarang," ucap Mang Asep beralasan. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Aina belum menikah. Karena itu akan membuat citra Aina yang berhijab menjadi buruk."Kalau begitu, apakah Bapak dan Ibu ini o
Aina tersenyum menatap wajah Bintang, putranya yang tengah terlelap. Ada perasaan asing yangvtak bisa digambarkan. Jemari lentik wanita itu terulur untuk mengelus pipi putranya yang sudah terlihat gembil. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Mama, Sayang. Selamanya kamu akan menjadi bintang dalam hidup Mama," gumam Aina. Aina kembali tersenyum. Wajah Bintang memang tidak mirip dengan Aina. Hidungnya sangat mancung dengan mata tajam. Bahkan di usianya yang baru 3 tahun, alisnya sudah tumbuh lebat dan indah. Bibirnya bocah itu berwarna merah alami. Sekilas memang mirip anak-anak Korea. Bintang mengoletkan tubuhnya merasa terusik dengan perlakuan Aina. Buku matanya yang panjang mengibas-ngibas hingga mata berwarna hazl itu terbuka."Mama?" Suara khas anak kecil membuyarkan lamunan Aina. "Eh, bintangnya Mama. Kok bangun? Kamu terganggu ya, Nak?" Aina mengangkat tubuh Bintang yang terasa agak berat dan memangkunya."Haus, Mama," ucap Bintang serak. Aina mengulurkan tangannya dan mera
"Sayang, kamu nggak papa, Nak?" Aina segera membawa pergi Bintang. Meninggalkan seorang pria asing yang hanya bisa diam terpaku melihat kepergian Aina sambil menggendong putranya."Mama, itu tadi papanya Bintang, ya?" tanya Bintang polos.Aina menghentikan langkahnya. Lalu menatap mata jernih Bintang yang berkaca-kaca. Ada rasa nyeri tiba-tiba menyeruak dalam dada Aina. Hal yang paling ditakutkan Aina adalah ketika Bintang membahas papanya. "Bukan, Sayang. Papanya Bintang kan sudah di surga. Itu tadi hanya orang asing yang ngaku-ngaku jadi papa Bintang. Lain kali kalau ada orang asing yang tidak dikenal ngajakin Bintang, tolak aja ya, Sayang. Takutnya kalau orang itu mau menculik Bintang."Bocah kecil itu mengangguk. Bintang memang cerdas. Bahkan cara dia bicara dan memahami perkataan Mamanya melebihi usianya. Akhirnya, Aina membawa Bintang pulang padahal mereka baru datang. Rencananya untuk bermain terpaksa dia urungkan karena kedatangan pria asing yang entah siapa namanya itu."Say
Dokter Rizal manggut-manggut mendengar penjelasan Fatan. "Aku mengerti. Nanti segera kuhubungi secepatnya kalau sudah dapat informasinya. Tapi ... ngomong-ngomong, kenapa baru sekarang? Ini sudah terlalu lama dan dokter kandungannya sudah ganti."Fatan mengusap wajahnya. "Entahlah. Baru kepikiran." Hanya itu jawaban Fatan karena dia masih belum yakin. Dia juga perlu berhati-hati menyelidiki masalah ini mengingat ini menyangkut nama baik seseorang. "Ok. Kuserahkan urusan ini sama kamu. Jangan mengecewakan aku!" Fatan berdiri dan menepuk pundak sahabatnya. Lalu pergi tanpa pamit.Bagi dokter Rizal hal itu sudah biasa. Sikap Fatan memang sedikit arogan dan bossi, jadi dia tidak terlalu memikirkannya. Padahal adiknya bekerja sebagai perawat di rumah sakit ini, tapi dia malah meminta bantuan pada sahabatnya. Mungkin karena kedudukan dan koneksi dokter Rizal yang lebih tinggi.Di Villa, Aina sedang sibuk di ruang kerjanya. Sejak Bintang berumur 3 tahun, Aina mulai merintis sekolah gartis
Terus memandangi wajah putra semata wayangnya yang tengah terlelap di atas ranjang pasien. Panasnya sudah mulai turun namun mulut bocah itu masih terus meracau memanggil-manggil papanya.Aina hanya bisa menitikkan air mata setiap kali mulut mungil Bintang menyebut papa. Andai Dia Tahu siapa bapaknya Bintang tidak peduli mau seperti apa reaksi orang itu dia pasti akan membawanya ke mari saat itu juga demi buah hatinya."Papa, Papa, Bintang mau ikut Papa," racau Bintang terus menerus.Aina semakin sakit mendengar racauan Bintang. Air matanya semakin deras membanjiri cadarnya yang semakin basah. "Sayang, Bintangnya mama ada Mama di sini, nak. Mama selalu ada di samping Bintang." Aina tak kuasa menahan sakit hingga nafasnya tersengal-sengal. Dalam hati ia terus berdoa memohon kepada sang pencipta agar putranya diberi kesembuhan. Dia juga tidak berharap banyak tentang laki-laki yang membuat bintang hadir ke dunia ini. Tanpa Aina sadari Laura berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka me
Laura menemui seseorang yang bisa dipercaya untuk mencarikan data pasien 6 tahun yang lalu. Awalnya dia mengalami kesulitan mengingat tidak semua orang memiliki wewenang untuk mengakses data pasien. Akhirnya Laura menemui dokter Rizal. Gadis itu berpikir dengan meminta bantuan dokter Rizal dia akan bisa memperoleh informasi terkait data pasien dokter kandungan 6 tahun yang lalu."Boleh saya tahu kenapa kamu mencari data itu?" tanya dokter Rizal.Laura tampak berpikir menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan tujuannya ataukah tidak. Namun jika tidak dia tidak yakin dokter Rizal bisa membantu."Begini dok ada teman saya yang tiba-tiba hamil setelah datang dari dokter kandungan 6 tahun lalu. Dia bilang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun dan saya juga percaya itu karena dia adalah gadis yang baik. Selama ini dia selalu menjunjung tinggi nilai akhlak dan selalu menutup auratnya. Dia tidak pernah berpacaran karena dalam keluarganya berpacaran itu hukumnya haram." Laura men