"Siapkan operasi, sekarang!" perintah dokter. "Baik, Dok."Aina yang mendengar hanya bisa pasrah. Tak peduli apapun caranya, yang penting bayi dan kandungannya bisa lahir dengan selamat. Sembari berdoa dalam hati, ia memasrahkan urusannya ini pada Allah. "Keluarga Nyonya Ainun!" Seorang perawat memanggil.Mang Asep dan Bik Esih segera mendekat. "Kami, Sus. Apa bayinya sudah lahir?" tanya Bik Esih dengan tatapan cemas."Belum. Bayinya terlilit tali pusat dan membutuhkan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan dari pihak keluarga. Apa suaminya sudah datang?" tanya perawat itu.Bik Esih dan suaminya saling pandang. Mereka menelan ludahnya yang sama-sama terasa susah. Bik Esih meminta pendapat suamiya memalui tatapan mata."Suaminya sedang di luar negeri, Sus. Tidak memungkinkan untuk datang sekarang," ucap Mang Asep beralasan. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Aina belum menikah. Karena itu akan membuat citra Aina yang berhijab menjadi buruk."Kalau begitu, apakah Bapak dan Ibu ini o
Aina tersenyum menatap wajah Bintang, putranya yang tengah terlelap. Ada perasaan asing yangvtak bisa digambarkan. Jemari lentik wanita itu terulur untuk mengelus pipi putranya yang sudah terlihat gembil. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Mama, Sayang. Selamanya kamu akan menjadi bintang dalam hidup Mama," gumam Aina. Aina kembali tersenyum. Wajah Bintang memang tidak mirip dengan Aina. Hidungnya sangat mancung dengan mata tajam. Bahkan di usianya yang baru 3 tahun, alisnya sudah tumbuh lebat dan indah. Bibirnya bocah itu berwarna merah alami. Sekilas memang mirip anak-anak Korea. Bintang mengoletkan tubuhnya merasa terusik dengan perlakuan Aina. Buku matanya yang panjang mengibas-ngibas hingga mata berwarna hazl itu terbuka."Mama?" Suara khas anak kecil membuyarkan lamunan Aina. "Eh, bintangnya Mama. Kok bangun? Kamu terganggu ya, Nak?" Aina mengangkat tubuh Bintang yang terasa agak berat dan memangkunya."Haus, Mama," ucap Bintang serak. Aina mengulurkan tangannya dan mera
"Sayang, kamu nggak papa, Nak?" Aina segera membawa pergi Bintang. Meninggalkan seorang pria asing yang hanya bisa diam terpaku melihat kepergian Aina sambil menggendong putranya."Mama, itu tadi papanya Bintang, ya?" tanya Bintang polos.Aina menghentikan langkahnya. Lalu menatap mata jernih Bintang yang berkaca-kaca. Ada rasa nyeri tiba-tiba menyeruak dalam dada Aina. Hal yang paling ditakutkan Aina adalah ketika Bintang membahas papanya. "Bukan, Sayang. Papanya Bintang kan sudah di surga. Itu tadi hanya orang asing yang ngaku-ngaku jadi papa Bintang. Lain kali kalau ada orang asing yang tidak dikenal ngajakin Bintang, tolak aja ya, Sayang. Takutnya kalau orang itu mau menculik Bintang."Bocah kecil itu mengangguk. Bintang memang cerdas. Bahkan cara dia bicara dan memahami perkataan Mamanya melebihi usianya. Akhirnya, Aina membawa Bintang pulang padahal mereka baru datang. Rencananya untuk bermain terpaksa dia urungkan karena kedatangan pria asing yang entah siapa namanya itu."Say
Dokter Rizal manggut-manggut mendengar penjelasan Fatan. "Aku mengerti. Nanti segera kuhubungi secepatnya kalau sudah dapat informasinya. Tapi ... ngomong-ngomong, kenapa baru sekarang? Ini sudah terlalu lama dan dokter kandungannya sudah ganti."Fatan mengusap wajahnya. "Entahlah. Baru kepikiran." Hanya itu jawaban Fatan karena dia masih belum yakin. Dia juga perlu berhati-hati menyelidiki masalah ini mengingat ini menyangkut nama baik seseorang. "Ok. Kuserahkan urusan ini sama kamu. Jangan mengecewakan aku!" Fatan berdiri dan menepuk pundak sahabatnya. Lalu pergi tanpa pamit.Bagi dokter Rizal hal itu sudah biasa. Sikap Fatan memang sedikit arogan dan bossi, jadi dia tidak terlalu memikirkannya. Padahal adiknya bekerja sebagai perawat di rumah sakit ini, tapi dia malah meminta bantuan pada sahabatnya. Mungkin karena kedudukan dan koneksi dokter Rizal yang lebih tinggi.Di Villa, Aina sedang sibuk di ruang kerjanya. Sejak Bintang berumur 3 tahun, Aina mulai merintis sekolah gartis
Terus memandangi wajah putra semata wayangnya yang tengah terlelap di atas ranjang pasien. Panasnya sudah mulai turun namun mulut bocah itu masih terus meracau memanggil-manggil papanya.Aina hanya bisa menitikkan air mata setiap kali mulut mungil Bintang menyebut papa. Andai Dia Tahu siapa bapaknya Bintang tidak peduli mau seperti apa reaksi orang itu dia pasti akan membawanya ke mari saat itu juga demi buah hatinya."Papa, Papa, Bintang mau ikut Papa," racau Bintang terus menerus.Aina semakin sakit mendengar racauan Bintang. Air matanya semakin deras membanjiri cadarnya yang semakin basah. "Sayang, Bintangnya mama ada Mama di sini, nak. Mama selalu ada di samping Bintang." Aina tak kuasa menahan sakit hingga nafasnya tersengal-sengal. Dalam hati ia terus berdoa memohon kepada sang pencipta agar putranya diberi kesembuhan. Dia juga tidak berharap banyak tentang laki-laki yang membuat bintang hadir ke dunia ini. Tanpa Aina sadari Laura berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka me
Laura menemui seseorang yang bisa dipercaya untuk mencarikan data pasien 6 tahun yang lalu. Awalnya dia mengalami kesulitan mengingat tidak semua orang memiliki wewenang untuk mengakses data pasien. Akhirnya Laura menemui dokter Rizal. Gadis itu berpikir dengan meminta bantuan dokter Rizal dia akan bisa memperoleh informasi terkait data pasien dokter kandungan 6 tahun yang lalu."Boleh saya tahu kenapa kamu mencari data itu?" tanya dokter Rizal.Laura tampak berpikir menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan tujuannya ataukah tidak. Namun jika tidak dia tidak yakin dokter Rizal bisa membantu."Begini dok ada teman saya yang tiba-tiba hamil setelah datang dari dokter kandungan 6 tahun lalu. Dia bilang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun dan saya juga percaya itu karena dia adalah gadis yang baik. Selama ini dia selalu menjunjung tinggi nilai akhlak dan selalu menutup auratnya. Dia tidak pernah berpacaran karena dalam keluarganya berpacaran itu hukumnya haram." Laura men
Aina segera menyelesaikan proses pembayaran di kasir lalu mendekati putranya yang hampir saja berlari menuju pintu, tempat di mana sosok pria berdiri di sana sambil menatapnya.Wanita bercadar itu tak suka putranya memanggil Papa pada sembarang orang. Terlebih orang itu adalah orang yang sama yang pernah membawa Bintang waktu di taman bermain."Sayang, Bintangnya Mama Kita pulang, yuk! Bintang 'kan harus banyak istirahat. Ingat pesan dokter, kan?" Aina bercangkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Bintang. Ia menatap Bintang tepat pada manik matanya seolah berkata turuti keinginan mama karena mama tidak ingin kehilangan Bintang. Kesedihan tercetak jelas di mata Aina.Bintang mengangguk lalu merangkul leher mamanya. Beberapa detik kemudian tubuh mungil bintang terangkat hingga bocah itu memiliki kegirangan. Melupakan sosok yang masih berdiri kaku menatapnya sejak tadi.Aina berjalan melewati sosok pria asing di depan pintu tanpa menyapanya. Namun saat dirinya mau masuk ke dalam mobil
Fatan pulang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bahagia, sedih, juga kecewa menjadi satu. Bahagia karena akhirnya dia memiliki seorang Putra walaupun belum jelas keberadaannya. Sedih karena ternyata putranya tidak lahir dari rahim istrinya. Kecewa ternyata istrinya tidak melakukan program yang selama ini mereka rencanakan.Sepanjang jalan Fathan terus memikirkan bagaimana wajah anaknya. Sudah sebesar apa dia? Tinggal di mana sekarang? Dan bagaimana kehidupannya? Berbagai pertanyaan berkelindan di dalam otaknya memaksa Fathan untuk terus berpikir. Tiba-tiba bayangan anak kecil yang bernama Bintang muncul dalam benaknya.Dalam hati kecil Fathan berharap Bintang lah yang menjadi anaknya. Namun ia segera menepis pemikiran itu karena rasanya tak mungkin wanita bercadar itu adalah ibu dari anaknya. Akan mengerahkan mobilnya menuju kediaman orang tuanya. Dia sudah bertanya pada dokter Rizal tentang jadwal adiknya. Kebetulan hari ini Laura mendapat shift malam sehingga ia harus cepat-cepa