Share

Putra Tersembunyi sang Presdir Mandul
Putra Tersembunyi sang Presdir Mandul
Author: pramudining

1. Kejutan Hari Pertama

"Bapakmu itu panutan kami, jika sampai anak gadisnya hamil tanpa adanya suami sungguh sangat memalukan!"

"Betul itu! Untuk apa dia mengajarkan norma serta syariat pada anak-anak kami jika mendidik anaknya sendiri menjadi baik tidak bisa?" timpal salah satu tetangga yang malam itu berada di rumah Bunga dengan seluruh warga termasuk ketua RT.

Berbondong-bondong para tetangga menyerang Bunga yang saat itu tengah hamil delapan bulan agar keluar dari desanya.

Kehamilan anak guru gaji itu merupakan aib bagi warga desa yang masih menjunjung tinggi adat dan norma.

Mereka bahkan tak segan menyeret Bunga beserta orang tuanya untuk segera meninggalkan desa--tempat kelahirannya--tanpa mau mendengar penjelasan sama sekali.

"Unda, cantik banget, sih. Mau ke mana?" tanya seorang bocah lima tahun yang membuat Bunga tersadar dari lamunan.

Enam tahun berlalu dari kejadian buruk itu dan Bunga bersyukur karena mempertahankan Fatih saat dia dimaki banyak orang.

Karena anaknya itu pula, sosok Bunga Annisa Rukmantara yang mandiri dan kuat muncul. 

Perempuan berhijab itu pun tersenyum. "Sayang, kamu lupa apa yang Bunda katakan semalam. Besok, Fatih sudah mendaftar sekolah dan semua itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Jadi, hari ini bunda harus datang ke kantornya Tante Shaqina jika ingin uang yang cukup banyak untuk biaya sekolah. Bunda nggak bisa bekerja dari rumah lagi," ucapnya sembari mengelus puncak kepala sang putra.

"Oh," ucap Fatih, "Terus aku ke sekolahnya sama siapa, Unda?"

"Sama Nenek, Sayang. Unda yang antar, pulangnya juga Unda yang jemput. Tapi, yang nemeni di sekolah nenek."

"Hmm." Tangan Fatih bersedekap dengan mata berputar seperti orang dewasa yang sedang memikirkan masalah berat. "Oke, deh."

"Anak baik dan pintar. Sore nanti pengen dibawain apa?" Mengelus rambut, satu-satunya buah hati yang paling berharga dalam hidup Bunga.

"Fatih nggak minta apa pun, Nda. Unda pulang tepat waktu sudah cukup, kok."

Bunga kembali terenyuh dengan sikap dewasa putranya. Mencium sekali lagi  sebelum berangkat. Selesai menutup mahkota kepalanya, perempuan itu memanggil sang ibu.

"Ya, Nak," sahut wanita dengan keriput yang mulai jelas terlihat. Meski enam tahun ini hidupnya selalu diliputi kesedihan sejak kematian sang suami, dia tetap menampilkan senyum terbaik di depan putri semata wayangnya.

"Bunga mau berangkat sekarang, Bu. Semua uang untuk keperluan Fatih ada di laci. Ibu ambil saja misal dia mau minta jajan. Bunga usahakan pulang nggak terlalu sore," kata perempuan berjilbab yang kini siap berangkat bekerja.

"Iya, Nduk. Kamu hati-hati, ya. Jangan buat kesalahan pas mendesain baju pesanan pelanggan-pelanggan butiknya Shaqina." Tangannya terulur supaya dicium putri semata wayangnya.

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu.

"Sepertinya, taksi online yang Bunga pesan sudah datang. Aku berangkat dulu, ya, Bu." Mencium pipi sang ibu kanan dan kiri. Setelahnya, Bunga meninggalkan rumah kontrakannya.

Tepat pukul delapan, Bunga sudah sampai di depan sebuah butik dengan brand nama pemiliknya sendiri. Langkah perempuan itu mantap memasuki butik. Beberapa pegawai yang berjaga di depan menyapa dan tersenyum.

"Assalamualaikum, Mbak. Tumben, nih. Pagi-pagi sudah ke butik?" kata salah satu karyawan dengan rambut lurus, panjang sebahu.

Bunga tersenyum dan menjawab. "Big boss minta aku datang tiap hari sekarang, Mbak. Kalau nggak dituruti bisa kena PHK aku."

"Ehem."

Suara dehaman terdengar di belakang Bunga.

"Orang yang dimaksud sudah ada di sini. Jangan berani-beraninya menggosip, ya." Jilbab pashmina modern yang dililitkan ke bagian leher serta setelan tunik dan kulot tampak elegan dipakai oleh wanita itu.

Shaqina, sahabat Bunga ketika SMA dulu sekaligus perempuan yang telah membantu kesulitan-kesulitannya selama beberapa tahun ke belakang, tampak merengut.

"Cantik banget big bos satu ini," ucap Bunga. Mendekat dan merangkul sang sahabat agar tidak marah.

"Karyawan tidak boleh merayu bosnya, ya." Shaqina pura-pura marah.

"Oke, aku nggak akan merayu Bu Bos lagi," ucap Bunga. Kemudian dia menjabat tangan sahabatnya dan mencium pipi kanan kiri. Salah satu karyawan yang menyapa Bunga tadi tersenyum melihat keakraban keduanya. Dalam hati, memuji sifat baik dan ramah si bos cantik.

"Ke ruanganku, ya," pinta Shaqina.

Menganggukkan kepala, Bunga segera mengikuti langkah sahabatnya. Sesampainya di sebuah ruangan bernuansa baby pink dengan taburan bunga di dindingnya, Shaqina meletakkan tasnya sembarangan. Duduk bersandar dengan kaki Kakan menimpa kaki kiri, dia menghela napas lelah.

"Kenapa, Bu?" tanya Bunga penasaran.

"Capek tau ngurus pelanggan satu ini."

"Siapa, sih?" Bunga meletakkan tangan kanannya di dagu atas meja. "Perempuan yang waktu itu pesen gaun untuk acara ulang tahun pernikahannya?"

"Aku nggak tahu. Kan, selama ini aku belum pernah bertemu dengan para pelanggan yang memesan gaun di butik ini. Kamu lupa, kalau aku bekerja di balik layar?"

Shaqina menepuk keningnya sendiri. "Sorry, aku lupa karena baru mendapat telpon dari pelanggan itu."

"Banyak-banyak istighfar, deh. Supaya sabarmu ditambah untuk menghadapinya."

"Oke, Sayang. Kamu memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkan tentang kebaikan." Shaqina mencolek dagu sahabat itu.

"Idih, geli," kata Bunga, "udah ah, galaunya. Ruanganku di mana, nih?"

Sekali lagi, Shaqina menepuk keningnya. Saking gugup dan khawatir memikirkan pertemuan dengan pelanggan butiknya yang cerewet itu.

"Ruangannya di sini aja, sih. Kita berbagi aja. Aku tidak bisa jauh-jauh darimu."

Bunga mengamati ruangan Shaqina sekarang. Hanya, ada satu meja dan kursi untuk bekerja.

"Tenang, bentar lagi ada yang ngirim meja supaya kamu nyaman kerjanya dan menghasilkan desain baju yang disukai para pelangganku." Seperti mengerti kebingungan sahabatnya gadis berjilbab itu berkata demikian.

"Oke, deh. Sekarang, apa yang harus aku kerjakan?" kata Bunga.

Tidak mungkin dia berdiam diri di butik, sedangkan niatnya adalah bekerja, kan?

"Kita tunggu pelanggan itu. Setelahnya baru kerjakan pesanan yang diminta olehnya. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini."

"Baiklah. Aku ke pantry dulu, mau bikin kopi. Kamu mau?" Bunga berdiri dan membenarkan gamisnya.

"Boleh, deh."

Tangan Bunga sudah mencapai gagang pintu, tetapi sebuah ketukan menginterupsinya.

Segera saja, perempuan berjilbab itu memutar kenop setelah menengok pada Shaqina.

Pintu terbuka, wajah perempuan berambut panjang hampir sepinggang dengan model bergelombang di bagian bawah terlihat. Bunga menatap takjub perempuan di depannya itu. Kulit putih bersih dengan body mirip model papa atas membuat Bunga mendongakkan kepala ketika akan menyapa.

"Boleh saya masuk?" tanya perempuan yang belum dikenal oleh Bunga itu dengan nada meremehkan.

"Hello? Ditanya, kok bukannya jawab malah bengong?" ketusnya lagi.

"Boleh, Bu. Si--silakan," jawab Bunga terbata.

Ia pun menggeser posisi supaya perempuan itu masuk.

Hanya saja, jantung Bunga berlompatan melihat sosok di belakang perempuan itu--Yusuf.

Mantan suaminya ada di sana!

Anehnya, pria itu berjalan melewatinya begitu saja mengikuti perempuan tadi, seolah tak mengenal Bunga.

Kala mereka melewati Bunga, dia pun mematung.

Berbagai perasaan berkumpul menjadi satu.

"Di mana menantu saya tadi?" 

Pertanyaan wanita paruh baya yang baru masuk ke butik menyadarkan Bunga dari lamunan.

Jari jempolnya otomatis menunjuk ruangan Shaqina. 

Kali ini, segala potongan puzzle tiba-tiba tersusun. 

"Jadi, dia sudah punya istri lagi?" gumam Bunga tanpa sadar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status