Share

2. Ancaman

Segala macam pikiran berkecamuk pada diri Bunga. Sekian tahun tak berteu ternyata Yusuf sudah memiliki seorang istri.

Bunga berjalan gontai ke arah pantry. Ia bahkan hampir menabrak salah satu karyawan butik.

"Maaf ... maaf," kata Bunga menyadari kekeliruannya.

"Tidak apa-apa, Mbak." Salah satu karyawan butik itupun berlalu pergi meninggalkan Bunga yang masih bengong.

Mengusap kasar wajahnya, Bunga mencoba mendoktrin pikirannya supaya tetap fokus dalam bekerja.

Sudah selama ini tidak bertemu dengan lelaki itu, tentu saja semua sudah berubah. Wajar jika dia sudah menikah. Begitulah pemikiran yang ditanamkan si perempuan untuk menyikapi lelaki yang ditemuinya tadi.

Baru menyelesaikan kopi yang dibuat untuknya, Bunga mendapat pesan dari Shaqina agar segera ke ruangannya.

Ibu satu anak itupun menghela napas sebelum masuk.

Dia meletakkan beberapa cangkir kopi yang dibuat tadi di meja.

Hanya saja, tangan Bunga gemetar tatkala melihat cincin yang tersemat di jari manis lelaki yang ditemuinya tadi.

"Say, kenalin. Ini Nyonya Prayoga, beliau alasan kamu harus masuk setiap hari ke butik ini," kata Shaqina memperkenalkan klien yang sempat diceritakan sekilas pada Bunga.

"Jadi, dia yang selalu membuat desain baju-baju untuk saya?" Si nyonya Prayoga menatap Bunga dari ujung rambut sampai kaki. "Pribadi yang sederhana untuk seorang desainer yang menghasilkan karya-karya bagus seperti yang saya pakai selama ini."

"Jaga ucapanmu," ucap seorang lelaki yang sejak tadi fokus pada ponselnya. Bahkan ketika bicara saat ini pun, lelaki itu masih menatap layar, benda pipih tersebut.

"Apa yang aku katakan adalah kenyataan, Sayang. Coba kamu lihat penampilannya," balas sang nyonya.

Bunga meneguhkan hati supaya tak mengeluarkan suara dan memprotes setiap ucapan meremehkan yang dikeluarkan perempuan di depannya.

"Bisa tidak jangan memandang remeh orang lain. Memuakkan." Si lelaki tiba-tiba saja berdiri dan meninggalkan sang istri.

"Sayang, kita belum membicarakan tentang gaun untuk anniversary," teriak perempuan dengan kemeja berbahan silk yang dua kancing teratas sengaja dibuka.

"Makanya, punya mulut direm. Jangan asal njeplak saja. Sudah tahu suamimu tidak suka jika kamu menghina orang lain, masih saja kamu lakukan hal itu," peringat wanita paruh baya yang sempat bertanya pada Bunga tadi.

Shaqina menatap sahabatnya dan menggerakkan bibir, berucap untuk sabar menghadapi klien satu itu. Bunga terdiam bak patung, tidak merespon apa pun yang dibicarakan orang di sekitarnya.

"Oke. Aku tidak akan membicarakan tentang fisik atau apa pun yang ada pada dirimu lagi asal pesanan gaun untuk pesta ulang tahun pernikahanku bagus. Jadi, tunjukkan padaku apa yang sudah kamu gambar."

Untuk beberapa saat, Bunga masih belum merespon apa pun hingga sang sahabat harus menepuk pundaknya. Barulah Ibu satu anak itu mengambil rancangan gaun serta jas yang sudah dia siapkan semalam. Menjelaskan garis besar tentang rancangannya, fokus Bunga berkelana ke mana-mana.

Cukup lama mereka berdiskusi sampai sang lelaki kembali masuk ruangan dan mengatakan akan kembali ke kantor. Dua perempuan itu diminta menunggu sopir untuk pulang.

Hampir satu jam menjelaskan detail desainnya, perempuan itu pamit pulang dan menyetujui apa yang akan dibuat oleh Bunga. Tentu dengan beberapa revisi yang akan dilihat esok hari.

Hari pertama bekerja, cukup melelahkan bagi Bunga.

Tepat pukul empat sore, perempuan itu pamit pulang. Sesuai perjanjian dengan sahabatnya, Bunga tidak bisa lembur atau pulang dengan jam sama seperti butik tutup.

"Sampai ketemu besok, Say. Salam buat si ganteng. Kangen, deh. Udah lama tidak bertemu," kata Shaqina.

"Oke nanti aku sampaikan. Oh, ya, Sha, mungkin besok aku berangkat agak siangan dan seterusnya begitu, tapi jangan khawatir. Aku akan memundurkan jam pulang. Besok, aku harus mendaftarkan Fatih sekolah. Hari-hari selanjutnya, kmu pasti ngertilah."

"Oke, Say. Tidak masalah buatku. Terpenting setiap hari kamu harus datang ke butik," jawab Shaqina. Tahu persis bagaimana perjuangan Bunga membesarkan putra semata wayangnya yang sampai saat ini, dia masih belum tahu siapa ayah Fatih.

Sebagai sahabat Shaqina tahu bahwa perempuan berjilbab itu tidak mungkin melakukan hal yang melanggar syariat. Bunga adalah sosok perempuan yang cukup taat beragama. Terbukti ketika mereka berdua sama-sama SMA dulu, tidak sekalipun Bunga merespon ungkapan cinta dan ajakan berpacaran beberapa cowok yang mengatakan mencintainya.

*****

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah kantor. Seorang lelaki tengah memegangi kepalanya. Sejak meninggalkan butik, pikirannya melanglang buana tak tentu arah. Ancaman demi ancaman dari keluarga besarnya kian membuat kepalanya pening. Seperti saat ini, ada perbincangan serius antara dia dengan papanya.

"Tidak bisakah aku hidup tenang sesuai keinginanku sendiri. Bahkan setelah aku menuruti keinginan keluarga besar untuk menikahi wanita yang tidak aku cintai, sekarang aku dipaksa harus memiliki anak. Tidakkah Papa merasa ini terlalu berlebihan?" protes lelaki dengan rambut bergelombang yang dicukur cepak dan memakai pomade sehingga dia terlihat begitu rapi.

"Papa tidak pernah memaksamu, Nak.  Keadaan yang harus membuat kita segera merealisasikan keinginan kakek jika tidak ingin sepupumu yang mengambil alih semua ini. Ingat, saham yang dimiliki keluarga kita akan kalah jika dibanding dengan saham dari tantemu dan anak-anaknya. Apalagi, Yudhistira akan menikah sebulan setelah acara ulang tahun pernikahan kalian." Lelaki pemilik nama Purnama tersebut mengembuskan napas lelah.

Sama seperti anaknya, dia juga mengalami stress yang luar biasa akibat tekanan dari sang ayah sekaligus dewan penasihat tertinggi di perusahaan. Jafar, ayahnya, selalu mendapat hasutan dari suami adiknya.

"Biarkan saja dia mengambil alih posisi yang aku jabat sekarang, Pa. Aku tidak keberatan sama sekali. Malah beban pekerjaanku akan sedikit ringan nantinya."

"Bukan cuma jabatan yang akan beralih pada sepupumu jika kamu tidak bisa memberikan penerus, Nak. Seluruh harta yang dimiliki eyangmu juga akan berpindah ke tangan Yudhistira. Apakah kamu mau keluarga kita hancur di tangan sepupumu yang tahunya cuma bersenang-senang saja."

Braakk ....!

Lelaki pemilik nama Yusuf itu meninju meja dengan kepalan tangannya. Sejak umur 28 tahun, kebebasannya sudah terpasung. Dia tak lagi bisa menentukan bagaimana jalan hidupnya sendiri.

"Aku muak dengan semua ini, Pa," ucap Yusuf.

"Sebentar lagi, Nak. Tunggu sampai Eyang menuliskan seluruh wasiatnya atas namamu. Tidak lama lagi," ucap Purnama mencoba memberikan ketenangan pada putra semata wayangnya.

"Bisa gila kalau terus-terusan begini." Yusuf meremas rambutnya sendiri.

Purnama mulai panik melihat tingkah putranya. Sigap dia berdiri dan membuka laci yang berada tak jauh dari tempat duduk Yusuf. Mengeluarkan botol obat dan segera meminumkannya pada lelaki itu.

"Tenang, Nak. Kita pasti bisa melewati semua ini dengan baik."

Yusuf menatap Purnama dengan sedih. "Sampai kapan, Pa. Aku sudah capek dan ingin hidup tenang. Ikhlaskan saja jika Eyang ingin mewasiatkan seluruh hartanya pada Yudhistira."

"Tidak akan pernah terjadi. Sampai kapan pun, Papa akan mempertahankan semua ini."

"Egois," ucap Yusuf sebelum kesadarannya menghilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status