Segala macam pikiran berkecamuk pada diri Bunga. Sekian tahun tak berteu ternyata Yusuf sudah memiliki seorang istri.
Bunga berjalan gontai ke arah pantry. Ia bahkan hampir menabrak salah satu karyawan butik.
"Maaf ... maaf," kata Bunga menyadari kekeliruannya."Tidak apa-apa, Mbak." Salah satu karyawan butik itupun berlalu pergi meninggalkan Bunga yang masih bengong.Mengusap kasar wajahnya, Bunga mencoba mendoktrin pikirannya supaya tetap fokus dalam bekerja.Sudah selama ini tidak bertemu dengan lelaki itu, tentu saja semua sudah berubah. Wajar jika dia sudah menikah. Begitulah pemikiran yang ditanamkan si perempuan untuk menyikapi lelaki yang ditemuinya tadi.
Baru menyelesaikan kopi yang dibuat untuknya, Bunga mendapat pesan dari Shaqina agar segera ke ruangannya.Ibu satu anak itupun menghela napas sebelum masuk.
Dia meletakkan beberapa cangkir kopi yang dibuat tadi di meja.
Hanya saja, tangan Bunga gemetar tatkala melihat cincin yang tersemat di jari manis lelaki yang ditemuinya tadi.
"Say, kenalin. Ini Nyonya Prayoga, beliau alasan kamu harus masuk setiap hari ke butik ini," kata Shaqina memperkenalkan klien yang sempat diceritakan sekilas pada Bunga."Jadi, dia yang selalu membuat desain baju-baju untuk saya?" Si nyonya Prayoga menatap Bunga dari ujung rambut sampai kaki. "Pribadi yang sederhana untuk seorang desainer yang menghasilkan karya-karya bagus seperti yang saya pakai selama ini.""Jaga ucapanmu," ucap seorang lelaki yang sejak tadi fokus pada ponselnya. Bahkan ketika bicara saat ini pun, lelaki itu masih menatap layar, benda pipih tersebut."Apa yang aku katakan adalah kenyataan, Sayang. Coba kamu lihat penampilannya," balas sang nyonya.Bunga meneguhkan hati supaya tak mengeluarkan suara dan memprotes setiap ucapan meremehkan yang dikeluarkan perempuan di depannya."Bisa tidak jangan memandang remeh orang lain. Memuakkan." Si lelaki tiba-tiba saja berdiri dan meninggalkan sang istri."Sayang, kita belum membicarakan tentang gaun untuk anniversary," teriak perempuan dengan kemeja berbahan silk yang dua kancing teratas sengaja dibuka."Makanya, punya mulut direm. Jangan asal njeplak saja. Sudah tahu suamimu tidak suka jika kamu menghina orang lain, masih saja kamu lakukan hal itu," peringat wanita paruh baya yang sempat bertanya pada Bunga tadi.Shaqina menatap sahabatnya dan menggerakkan bibir, berucap untuk sabar menghadapi klien satu itu. Bunga terdiam bak patung, tidak merespon apa pun yang dibicarakan orang di sekitarnya."Oke. Aku tidak akan membicarakan tentang fisik atau apa pun yang ada pada dirimu lagi asal pesanan gaun untuk pesta ulang tahun pernikahanku bagus. Jadi, tunjukkan padaku apa yang sudah kamu gambar."Untuk beberapa saat, Bunga masih belum merespon apa pun hingga sang sahabat harus menepuk pundaknya. Barulah Ibu satu anak itu mengambil rancangan gaun serta jas yang sudah dia siapkan semalam. Menjelaskan garis besar tentang rancangannya, fokus Bunga berkelana ke mana-mana.Cukup lama mereka berdiskusi sampai sang lelaki kembali masuk ruangan dan mengatakan akan kembali ke kantor. Dua perempuan itu diminta menunggu sopir untuk pulang.Hampir satu jam menjelaskan detail desainnya, perempuan itu pamit pulang dan menyetujui apa yang akan dibuat oleh Bunga. Tentu dengan beberapa revisi yang akan dilihat esok hari.Hari pertama bekerja, cukup melelahkan bagi Bunga.Tepat pukul empat sore, perempuan itu pamit pulang. Sesuai perjanjian dengan sahabatnya, Bunga tidak bisa lembur atau pulang dengan jam sama seperti butik tutup."Sampai ketemu besok, Say. Salam buat si ganteng. Kangen, deh. Udah lama tidak bertemu," kata Shaqina."Oke nanti aku sampaikan. Oh, ya, Sha, mungkin besok aku berangkat agak siangan dan seterusnya begitu, tapi jangan khawatir. Aku akan memundurkan jam pulang. Besok, aku harus mendaftarkan Fatih sekolah. Hari-hari selanjutnya, kmu pasti ngertilah.""Oke, Say. Tidak masalah buatku. Terpenting setiap hari kamu harus datang ke butik," jawab Shaqina. Tahu persis bagaimana perjuangan Bunga membesarkan putra semata wayangnya yang sampai saat ini, dia masih belum tahu siapa ayah Fatih.Sebagai sahabat Shaqina tahu bahwa perempuan berjilbab itu tidak mungkin melakukan hal yang melanggar syariat. Bunga adalah sosok perempuan yang cukup taat beragama. Terbukti ketika mereka berdua sama-sama SMA dulu, tidak sekalipun Bunga merespon ungkapan cinta dan ajakan berpacaran beberapa cowok yang mengatakan mencintainya.*****
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah kantor. Seorang lelaki tengah memegangi kepalanya. Sejak meninggalkan butik, pikirannya melanglang buana tak tentu arah. Ancaman demi ancaman dari keluarga besarnya kian membuat kepalanya pening. Seperti saat ini, ada perbincangan serius antara dia dengan papanya."Tidak bisakah aku hidup tenang sesuai keinginanku sendiri. Bahkan setelah aku menuruti keinginan keluarga besar untuk menikahi wanita yang tidak aku cintai, sekarang aku dipaksa harus memiliki anak. Tidakkah Papa merasa ini terlalu berlebihan?" protes lelaki dengan rambut bergelombang yang dicukur cepak dan memakai pomade sehingga dia terlihat begitu rapi."Papa tidak pernah memaksamu, Nak. Keadaan yang harus membuat kita segera merealisasikan keinginan kakek jika tidak ingin sepupumu yang mengambil alih semua ini. Ingat, saham yang dimiliki keluarga kita akan kalah jika dibanding dengan saham dari tantemu dan anak-anaknya. Apalagi, Yudhistira akan menikah sebulan setelah acara ulang tahun pernikahan kalian." Lelaki pemilik nama Purnama tersebut mengembuskan napas lelah.Sama seperti anaknya, dia juga mengalami stress yang luar biasa akibat tekanan dari sang ayah sekaligus dewan penasihat tertinggi di perusahaan. Jafar, ayahnya, selalu mendapat hasutan dari suami adiknya."Biarkan saja dia mengambil alih posisi yang aku jabat sekarang, Pa. Aku tidak keberatan sama sekali. Malah beban pekerjaanku akan sedikit ringan nantinya.""Bukan cuma jabatan yang akan beralih pada sepupumu jika kamu tidak bisa memberikan penerus, Nak. Seluruh harta yang dimiliki eyangmu juga akan berpindah ke tangan Yudhistira. Apakah kamu mau keluarga kita hancur di tangan sepupumu yang tahunya cuma bersenang-senang saja."Braakk ....!Lelaki pemilik nama Yusuf itu meninju meja dengan kepalan tangannya. Sejak umur 28 tahun, kebebasannya sudah terpasung. Dia tak lagi bisa menentukan bagaimana jalan hidupnya sendiri."Aku muak dengan semua ini, Pa," ucap Yusuf."Sebentar lagi, Nak. Tunggu sampai Eyang menuliskan seluruh wasiatnya atas namamu. Tidak lama lagi," ucap Purnama mencoba memberikan ketenangan pada putra semata wayangnya."Bisa gila kalau terus-terusan begini." Yusuf meremas rambutnya sendiri.Purnama mulai panik melihat tingkah putranya. Sigap dia berdiri dan membuka laci yang berada tak jauh dari tempat duduk Yusuf. Mengeluarkan botol obat dan segera meminumkannya pada lelaki itu."Tenang, Nak. Kita pasti bisa melewati semua ini dengan baik."Yusuf menatap Purnama dengan sedih. "Sampai kapan, Pa. Aku sudah capek dan ingin hidup tenang. Ikhlaskan saja jika Eyang ingin mewasiatkan seluruh hartanya pada Yudhistira.""Tidak akan pernah terjadi. Sampai kapan pun, Papa akan mempertahankan semua ini.""Egois," ucap Yusuf sebelum kesadarannya menghilang.Pagi-pagi sekali, Bunga sudah disibukkan dengan Fatih. Bocah kecil yang belum genap berumur lima tahun itu ribut sejak sebuah untuk menyiapkan keperluan sekolahnya. Fatih sangat antusias memulai harinya yang baru."Nda, nanti berangkatnya naik apa?" tanya Fatih."Naik motor, Sayang." Bunga mengambil tas dan memanggil ibunya untuk berangkat."Memangnya Unda sudah beli?" Fatih bahkan sampai mendongak dan memiringkan kepala untuk mendengar jawaban Bunga.Mencubit pelan pipi balita gembul itu, Bunga pun menjawab, "Sudah, dong. Memangnya Fatih nggak tahu? Motornya, kan, kemarin sore dianter sama pihak dealer."Si kecil menggelengkan kepala. "Nenek kok nggak ngasih tahu Fatih kalau Unda beli motor?" Menatap pada neneknya yang sudah rapi dengan gamis batik baru."Fatih kemarin tidur pas motornya datang. Udah, yuk berangkat. Semakin banyak pertanyaan, Bundamu akan semakin lama berangkat kerjanya."Mengangguk patuh, si kecil pun mengikuti langkah bunda dan neneknya ke luar rumah. Selama perjal
Sedikit gemetar, tangan Bunga mulai memencet tombol mesin EDC di depannya. Perempuan itu masih sangat hafal dengan pin yang disebutkan sang pemilik kartu. Suara print out dari mesin kecil itu keluar. Bunga melirik putranya yang tersenyum begitu bahagia ketika dia telah membayar biaya sekolah dengan mudah.Namun, senyum Bunga luntur ketika mengingat seseorang yang memberikan kartu tersebut. Apalagi ketika nominal pembayaran tersebut keluar. Cukup banyak untuk ukuran kebutuhannya sebagai seorang perempuan yang hidup sendiri."Kartu ATM siapa yang kamu berikan pada petugas tadi, Nduk? Kenapa Ibu nggak pernah melihatnya," tanya perempuan paruh baya di sebelah Bunga."Nanti, Bunga akan cerita, Bu. Sekarang, kita pulang karena aku harus kerja. Ada pelanggan butik yang harus aku temui. Dia sangat cerewet sekali. Kasihan jika Shaqina sendirian menghadapinya." Mereka bergegas kembali ke parkiran ketika semua syarat-syarat pendaftaran sekolah sudah diselesaikan. Sesampainya di rumah, Bunga la
Di sisi lain, perempuan Kamila menuju ruangan Purnama.Dia pun masuk, tanpa mengetuk pintu."Papa sudah hubungi Rudy untuk menyelediki masalah yang Mama katakan di telpon tadi, kan?" tanya Kamila tanpa mengucap salam."Mama itu kurang kerjaan banget, sih. Lagian kenapa mesti menghubungi Rudy untuk masalah sepele seperti ini. Memang rekening siapa yang mau Mama retas?""Anakmu, Mama curiga. Sejak kejadian itu," kata Kamila. Pandangannya lurus ke depan, mengenang kejadian enam tahun silam. "Curiga kenapa? Yusuf tidak berbuat macam-macam bahkan berselingkuh dari istrinya saja tidak pernah. Lalu, kenapa Mama mencurigai rekeningnya?" Purnama masih kekeh untuk tidak mengabulkan permintaan sang istri. Menyuruh Rudy untuk meretas rekening seseorang, terlalu beresiko baginya. Jika menyangkut konsumen yang menunggak payment di perusahaan, mungkin Purnama bisa melakukannya. Akan tetapi, ini rekening pribadi seseorang, meskipun milik anaknya sendiri."Papa tidak akan mengerti. Pokoknya, kalau
Pagi-pagi sekali, Bunga sudah menyiapkan bekal untuk Fatih, sedangkan ibunya tengah menyapu. Si kecil sendiri, tengah mandi saat ini.Fatih terbiasa melakukan semua hal sendirian sejak berumur empat tahun. Bocah itu begitu pengertian melihat orang tua serta neneknya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap hari. Hal itu kini cukup meringankan bundanya.Setengah jam kemudian, Fatih keluar dengan dandanan yang sudah rapi. "Unda, aku sudah siap berangkat ke sekolah." Bocah itu memutar-mutar badannya memperlihatkan seragam serta tas baru yang kemarin diberikan pihak sekolah.Bunga memperhatikan si kecil dengan sangat detail, dari ujung kaki hingga kepala. Namun, ketika matanya menatap dasi, seketika tawa menguar."Unda kenapa ketawa?" Mata Fatih menyipit. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Bukannya berhenti, Bunga malah mengeraskan tawa. Fatih mulai mengerucutkan bibir dengan kaki menghentak-hentak. Bunga pun menyadari kesalahannya dan sebisa mungkin menghentikan tawa. "Say
Irsan mendelik mendengar perintah Yusuf. Belum juga hilang rasa terkejut dan kekepoannya, tangan sang sahabat sudah lebih dulu menghapus rekaman CCTV pada jam tersebut. "Kamu kenapa, Suf?" Irsan mulai panik melihat butiran keringat yang bermunculan di wajah sahabatnya. "Ambilkan obatku, San," suruh lelaki dengan kulit kuning langsat. Yusuf menunjuk jas yang tadi dilepas dan ditaruh di sofa.Tanpa banyak pertanyaan, Irsan dengan cepat mengambil Jaz hitam dan merogoh setiap sakunya demi menemukan obat yang dibutuhkan. "San, cepat sedikit," ucap Yusuf. Suaranya terdengar lemah, bergetar seakan seluruh tenaganya habis.Memberikan obat yang dibutuhkan, Irsan mengambilkan sahabatnya air putih. "Apa masih sering terjadi seperti ini?""Sudah lama tidak terjadi, tapi ada satu kondisi yang tidak bisa aku prediksi." Yusuf merebahkan tubuhnya pada sofa dibantu Irsan. "Tolong jangan katakan apa pun jika Papa dan Mama bertanya." Perlahan kesadaran Yusuf menghilang, matanya mulai terpejam. Irsan
"Kenapa terkejut seperti itu, San? Apakah permintaan Tante terlalu berat untukmu?" Irsan menelan ludah, tersenyum kecut ketika tatapan Kamila dirasa terlalu menakutkan. Lalu, lelaki yang masih betah menjomblo di antara ketiga sahabatnya itu menganggukkan kepala. "Boleh, Tan. Silakan saja jik ingin melihat rekaman CCTV.""Bisa kamu tunjukkan rekaman di jam sembilan," pinta Kamila dengan wajah serius."Bisa, Tan." Irsan mulai menghidupkan layar rekaman CCTV di komputer yang ada di mejanya.Kamila mendekat dan mengamati setiap gerakan yang terekam oleh CCTV. Mata awas melihat semua adegan di dalamnya. Namun, tak satu pun yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya. "Putar lebih awal bisa, San. Rekaman sebelum jam yang Tante sebutkan tadi."Irsan kembali mematuhi permintaan Kamila. Dia memutar sejak gerbang sekolah dibuka oleh Satpam. Kamila menatap layar monitor lebih saksama. Beberapa orang tua berdatangan mengantarkan anak mereka untuk mendaftar. Senyum perempuan paruh baya itu terbit.D
Hari berganti, Yusuf dan Kamila berlomba-lomba mencari tahu siapa sebenarnya Bunga dan Fatih. Beberapa kali bahkan perempuan paruh baya itu sengaja mendatangi sekolah Irsan, hanya untuk bertemu dengan Fatih secara diam-diam. Beberapa kali bahkan senngaja membelikan aneka makanan ringan untuk bocah menggemaskan itu. Tiap kali selesai bertemu dengan Fatih, Kamila akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa digambarkShan.Seperti siang ini, Kamila mendatangi kantor sang suami setelah melihat Fatih dan membelikan mainan bocah lucu nan menggemaskan berkulit kuning langsat dengan lesung pipi. Istri Purnama itu bahkan sempat merekam dan mengambil potret ketika Fatih bermain bersama teman-temannya. Ketika tak mendapati sang suami berada di ruangannya, Kamila memutar video rekaman yang didapatnya tadi.Tawa menguar ketika Fatih membagikan makanan yang diberi oleh Kamila pada beberapa sahabatnya. Si kecil bahkan dengan riangnya membuka mainan yang dibawakan dan memainkannya dengan semua sahabat.
Purnama menarik pergelangan sang istri, lalu mengajaknya sedikit menjauh dari riuhnya pesta yang digelar untuk memperingati ulang tahun pernikahan Yusuf."Jaga ucapanmu, jangan sampai Papa murka," bisik Purnama memperingati sang istri.Kamila bergeming. Sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal dengan perkataannya tadi. Bibirnya terbungkam karena otak tengah berpikir. Sementara di belakang keduanya, Jafar mengikuti pasangan tersebut dengan wajah penuh kecewa pada menantunya. "Bawa istrimu menjauh dari pesta ini sebelum orang lain mendegar perkataannya yang tidak mengenakkan," titah sang kepala keluarga yang setiap ucapannya tidak bisa dibantah oleh siapa pun."Iya, Pa," jawab Purnama patuh. Setelah sang pemegang tahta tertinggi di keluarga Prayoga kembali pada Adhisti dan Yusuf. Barulah lelaki paruh baya itu membawa istrinya.Sang pemilik pesta tak menghiraukan perkataan Kamila tadi. Yusuf bahkan langsung disibukkan dengan banyaknya ucapan selamat dari para koleganya. Sama sepe